Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Sederet Tanda Tanya di Ruang Saleh

Pameran terlengkap lukisan Raden Saleh disajikan di National Gallery Singapore. Diangkat sebagai "cahaya besar" abad ke-19.

28 Januari 2018 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DI HADAPAN selembar lukisan Raden Saleh (1811-1880), beberapa orang kelihatan berbisik-bisik. Tangan mereka menunjuk-nunjuk ke label yang menuliskan judul lukisan. "Titel lukisan ini Javanese Landscape with Borobudur. Rasanya aneh, dan saya rasa ini salah," kata seorang di antaranya.

Lukisan Saleh yang jadi "perkara" itu bergambar pemandangan senjakala di sebuah wilayah yang kosong dan lengang. Agak di kejauhan, tampak seorang lelaki Jawa berserban sedang menuntun kudanya. Di atas kuda itu, duduk perempuan yang sedang memeluk bayinya. Beberapa puluh meter di depannya, dua ekor harimau besar merunduk, bersembunyi, dan siap memangsa keluarga tersebut.

Di mana Borobudurnya? Jawaban pun menggeliat bangun ketika mereka melihat ada gambaran siluet berbentuk seperti bukit bertetumbuhan nun di latar belakang. Siluet itu berada persis di bawah matahari yang hampir tenggelam. Maka, ketika merasa menemukan jawaban, para pengunjung itu tersenyum lebar. "Jangan-jangan dugaan kita benar," mereka berbisik.

Lukisan tersebut terpajang di National Gallery Singapore bersama lebih dari 50 karya Saleh lain sejak 16 November 2017 sampai 11 Maret 2018. Dihitung dari jumlahnya, dan disimak dari materi karya yang dipertunjukkan, pergelaran ini merupakan paket paling lengkap dalam sejarah pameran Perintis Seni Lukis Modern Indonesia itu. Berbagai obyek dan tema lukisannya, dari sosok manusia, satwa, tetumbuhan, gelombang laut, potret keluarga, drama perburuan, pemandangan alam, sampai "sketsa politik", ditampilkan dengan sangat apik.

Jajaran karya Saleh merupakan bagian penting dari pergelaran "Century of Light", yang mengetengahkan tiga cahaya yang kebetulan semburat pada era yang sama dan mewarnai abad ke-19. Cahaya Eropa diwakili pameran "Colours of Impressionism: Masterpieces from the Musee d'Orsay", yang menghadirkan lukisan Cezanne, Monet, Renoir, Sisley, dan lain-lain. Cahaya Asia diwakili Raden Saleh dan maestro Filipina, Juan Luna. Bagi saya, penampilan lukisan-lukisan Saleh paling atraktif. Apalagi, ketika ditelaah, betapa karya Saleh tak henti memantik pertanyaan di ruang pameran.

Misalnya, mengapa figur-figur dalam lukisan potret karya Saleh lebih sering berproporsi pendek. Padahal yang digambarkan adalah orang-orang Eropa. Simak saja lukisan sosok Van den Bosch. Sang gubernur jenderal ini digambarkan sedang berdiri gagah di sebuah ruangan dengan latar belakang Gunung Salak.

Dalam lukisan, wajah Bosch yang ganteng tampak ditopang tubuh yang terlihat pendek, lantaran penggambaran posisi dada terlalu dekat dengan perut. Bandingkan dengan lukisan Johan Caspar Muller Kruseman, yang menggambarkan Bosch dalam posisi sama, bahkan dengan setting dan latar belakang yang persis. Bosch dalam karya Kruseman bertubuh orang Eropa yang tercitra jangkung.

Memendeknya proporsi orang-orang Eropa itu juga tampak pada Portrait of JC Baud and Family, lukisan yang dipinjam dari Rijksdienst voor het Cultureel Erfgoed, Belanda. Lukisan berukuran sedepa ini memotret Baud beserta istri dan delapan anaknya berada dalam sebuah ruang, dengan keelokan warna, detail draperi busana, dan keapikan penggambaran skin tone orang Eropa.

Lukisan ini juga mengetengahkan tubuh-tubuh yang pendek. Dan lantaran menyentuh banyak figur, "kecebolan" itu begitu terasa. Lalu para penonton pameran yang kritis mencoba mencari alasannya. Lalu jawaban sedikit ditemukan dalam teks yang terlukis di label penjelasan: lukisan itu adalah karya Saleh ketika baru memperdalam melukis sosok manusia dari Cornelis Kruseman pada awal 1830. Maka tersimpul bahwa kependekan proporsi itu adalah hasil dari "kesalahan".

Benarkah demikian? Jawaban lain muncul, yang lantas membawa kebingungan baru.

Dalam pameran, terpajang sketsa Saleh yang menggambar penangkapan Pangeran Diponegoro. Dalam sketsa yang dibuat pada 1857 itu, tubuh-tubuh para Belanda digambarkan keren, normal, dan jangkung sehingga orang percaya bahwa lukisan "londo cebol" Saleh pada 25 tahun sebelumnya adalah hasil studi yang menyimpan kesalahan. Namun pemakluman itu terpangkas kembali ketika penonton menyaksikan reproduksi lukisan cat minyak Saleh, Penangkapan Diponegoro. Dalam lukisan yang digarap berdasarkan sketsa tersebut, para Belanda, termasuk Jenderal H.M. de Kock, kembali bertubuh pendek.

Sampai-sampai ada yang menduga: jangan-jangan Saleh sengaja memendekkan tubuh itu sebagai karikatur ihwal petinggi Belanda yang dianggap cekak roso (dangkal rasa), walaupun semua orang tahu Raden Saleh hampir selalu "cinta Belanda" karena sepanjang hidupnya difasilitasi pemerintah Hindia Belanda. (Lukisan aktual Penangkapan Diponegoro tidak tertampilkan lantaran Istana Presiden Indonesia, sebagai pemilik, belum berkenan meminjamkan.)

Tanda tanya lain yang menyeruak dalam pameran itu adalah soal tahun kelahiran Saleh yang tidak diketahui. Walhasil, pameran ini menulis tahun lahir Saleh 1811 (?)disertai tanda tanya. Mereka yang suka meneliti akan mempertanyakan bagaimana seorang ningrat seperti Saleh, yang lahir dari kalangan terpelajar dan muncul pada masa dokumentasi mulai diperhatikan, tidak mempunyai kepastian tahun lahir yang cermat dicatat, sehingga ada yang menyebutkan 1805, 1807, dan 1815. Beruntut dengan itu, lantaran tahun lahirnya saja tidak tercatat, tanggal dan bulannya pun mustahil diketahui.

"Ini kesalahan keluarga Saleh, orang Jawa, Hindia Belanda, pemerintah Belanda, penulis sejarah, atau para art historian Indonesia?" Pertanyaan ini bergema di National Gallery Singapore.

Tapi, bahwa karya-karya Saleh istimewa, para penonton pameran sangatlah menyadari. Sederet lukisan Saleh yang menggambarkan perburuan manusia terhadap hewan-hewan liar menarik perhatian. Adegan-adegan dramatis dan chaos yang digambarkan terasa rinci dan hidup. Gaya neoklasik yang ditawarkan hadir bak tableau, atau gambar yang dibekukan. Sebuah model seni lukis yang mengajak orang membayangkan gerak apa yang terjadi sebelumnya dan kejadian apa yang muncul dalam gerakan berikutnya. Lukisan Arab Horseman Attacked by a Lion selalu membuat pengunjung menghentikan langkah.

Kesukaan Saleh pada tema ini diawali rasa kedekatannya dengan hewan-hewan liar. Dan rasa tersebut dimulai ketika ia berkenalan dengan Piere Henri Martin, penjinak hewan-hewan sirkus. Hal ini mendorong Saleh bertualang ke Aljazair untuk mengamati wajah, sosok, dan karakter berbagai hewan. Hasilnya adalah berbagai lukisan yang menggambarkan wajah singa, harimau, dan ular. Obyek-obyek galak itu ia transformasikan menjadi sosok yang cantik.

Lukisan pemandangan Saleh yang merekam alam Jawa dan Eropa juga dihadirkan. Termasuk lukisan bertema gelombang lautan. Pada sesi ini, lukisan Saleh disandingkan dengan karya gurunya semasa di Hindia Belanda, A.A.J. Payen. Harus diakui, lukisan Saleh kadang lebih menarik ketimbang lukisan Payen yang cenderung diromantisasi.

Yang semakin membuat pameran ini memikat adalah dimunculkannya belasan lukisan mini Saleh. Kerincian penggarapannya mempesona, sehingga bidang yang sebesar dua jengkal tangan itu menjadi layar tontonan mengasyikkan. Uniknya, beberapa dari lukisan mini tersebut adalah hasil repainting (tiruan persis) dari karya pelukis Jerman mazhab Dusseldorf. Lukisan itu kebanyakan dikerjakan di studio Saleh di Salatiga.

Dari sini, muncul pertanyaan lagi: mengapa pelukis sekelas Saleh harus membuat lukisan tiruan? Jawaban Saleh: untuk mengelabui para petinggi keraton di Jawa, seperti Susuhunan dari Surakarta! Syahdan, para pangeran yang Barat-minded itu suka meminjam lukisan Eropa koleksi Saleh, tapi tidak pernah mengembalikan. Agar dia tidak merugi, yang dipinjamkan adalah lukisan tiruannya saja. Padahal lukisan Saleh tak kalah mahal. Menurut Bertram, pemerhati Raden Saleh, studio Raden Saleh di Salatiga adalah bengkel seni lukis tiruan pertama di Jawa.

Agus Dermawan T., Pengamat Seni Dan Budaya

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
Ā© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus