Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Sedianya dokumentasi yang bagus

Ikranagara mementaskan "agung" di tim. dianggap lakonnya bercorak bali, namun penonton dikecewakan karena yang disuguhkan tidak menarik. pertunjukan ini tidak menyentuh batin.

10 Juli 1976 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

AGUNG Karya: Ikranagara Sutradara: Ikranagara Produksi: Teater (Siapa) Saja *** INGIN menikmati pertunjukan Ikranagara? Orang ditawari pertama kali untuk menerima "keindahan pentas". Level-level yang disusun menurut selera yang manis, panggung yang dibikin ramai kalau perlu dengan lampu-lampu, dan gerak-gerak para pemain yang eksplosif dan mau-gagah. Bukan berarti Ikranagara tak punya ambisi untuk membawakan sesuatu yang lebih dari itu. Hanya saja, apa yang suka disebut Ikra sebagai 'yang teatrikal', yang kenyataannya tak lain dari kemampuan yang hanya berhenti di panggung, memang merupakan "perjuangan" Ikra yang paling besar. Bila ia menyatakan misalnya, seperti ditulis dalam folder untuk pertunjukannya terakhir ini: "seluruhnya tunduk pada yang teatrikal", maka memang tidak berarti para sutradara lain tidak mengindahkan unsur-unsur panggung atau kekuatan teatrikal tentunya -- meskipun mereka tak usah berteriak. Bedanya: Ikra menganggap pengertian 'teater' itu harus diperhitungkan kembali" dengan mempertimbangkan kedudukan panggung itu. Padahal, sekiranya pernyataan Ikra di atas difahami tanpa ruwet-ruwetan, maka yang ingin dicapainya sebenarnya tak beda dengan apa yang sudah diperbuat rekan-rekan yang lain. Putu Wijaya atau Sardono misalnya. Teater, bagi mereka berdua -- setidak-tidaknya pada pertunjukan-pertunjukan terakhir untuk Putu Wijaya -- bukanlan seni yang bermula dari konsep, apa lagi konsep tertulis. Panggung, dan apa yang "dengan sendirinya" terjadi di panggung, haruslah merupakan satu kehidupan yang betapapun juga memberi orang satu kekayaan. Dan kekayaan itu adalah imaji-imaji (images) murni. Pada Ikra dan ini bedanya, yang disebut "yang teatrikal" itu kenyataannya tak lain dari teknik -- dan ini diharapkannya mencukupi semuanya. Kalaupun ia ingin untuk juga memberi tekanan pada imaji, maka hal yang tidak cukup ia sadari adalah bahwa imaji bukanlah barang yang bisa dibawa beitu saja oleh itu 'daya teatrik' . Sepert bisa dilihat pada Putu -- tanpa menyatakan bahwa dia ini selalu sangat berhasil -- imaji bangkit dan sampai kepada penonton, hanya bila sesuatu bentuk yang dipilih si seniman lahir dari sesuatu kebutuhan dari dalam -- yang lazimnya tak begitu jelas dan tak begitu disadari. Katakanlah, didorong oleh warna tertentu dari 'pembawaan dalam'. Dengan kata lain bukan bentuknya yang pertama kali dikejar, seperti pada Ikra yang muda ini. Rendra Pada Ikra, pernyataan "semuanya tunduk pada yang teatrikal" lantas berarti bahwa muatan itu (pesan, amanat, fikiran, atau "isi") tunduk kepada teknik atau kemampuan pemanggungan. Di siniorang lantas tak bisa mengerti: apa bedanya Ikra dengan Arifin C. Noer misalnya, kalau begitu. Bukankah Arifin -- apalagi Rendra -- juga mengantarkan pesan-pesan yang kadang diakui dengan jelas bahwa itu memang pesan atau misi) lewat itu 'kepandaian teatrikal'? Bukankah berbeda dengan Putu atau Sardono, Arifin dan Rendra menjadikan kemampuan panggung tak lain sebagai perantara meskipun pengertiannya antara dua orang terakhir itu agak berbeda? Tetapi baiklah. Barangkali maksud Ikra, teknik lebih penting dari "isi". Maka yang terjadi adalah apa yang terjadi pada pementasannya terakhir, Agung, 14-18 Juni di Taman Ismail Marzuki. Dan ini memang lebih khas mewakili kecenderungan Ikra yang teatrikal itu -- dalam menghargai "isi". Sebab Agung, dibanding tontonannya terdahulu yang diberi judul Para Naratot (TEMPO 27 September 1975), maupun lebih-lebih Topeng (TEMPO 3 Mei 1975), lebih mempunyai sosok yang jelas. Sosok ini dibangun dari hubungan tokoh yang diberi nama Agung (bekas raja) bersama puteranya -- yang kelihatan masih punya wibawa, dan kalau tak salah dimaksud sebagai "korban peredaran zaman" -- dengan dua fihak lain. Pertama fihak pejabat pemerintah yang memegang kunci- situasi waktu itu (ini lukisan keadaan pada rezim Sukarno). Kedua dengan tokoh bernama Mohidin, seorang pengusaha dan bekas pemimpin Masyumi (yang sudah dibubarkan) bersama kedua anaknya --yang di sini mewakili kebenaran dan sekaligus korban fitnah. Dari tema semacam itu, seorang pengarang bagus akan bisa menyusun cerita yang hidup, sarat, dan menyentuh. Lihatlah misalnya adegan Mohidin. Monolognya dibawakan dengan bagus oleh pemain bernama Yusuf (satu-satunya nama yang tidak boleh ditinggalkan, di samping Ikra sendiri sebagai pemain putera Agung). Monolog itu, menggambarkan situasi waktu itu bagi tokoh yang tampak sekali berangkat dari lingkungan Islam yang salih dan keras. Sangat komunikatif baik dari segi penyampaian si pemain maupun pemilihan dialog yang tangkas dari si pengarang. Juga pertengkaran Mohidin dengan nonya-nyonya penggede yang datang ke rumahnya untuk meminta "sumbangan sukarela" (yang sudah ditentukan jumlahnya) tepat ketika ia baru mengambil air sembahyang untuk maghrib. Penonton bersorak membela Mohidin, tertawa, dan mengangguk-angguk. Ditenggelamkan Tetapi, oleh perkara "yang teatrikal" itu tadi, bahan-bahan yang bagus itu ditenggelamkan ke bawah "wibawa panggung". Ada kemauan ekspresi pada Ikra.Sejak semula, sosok yang ada dalam lakon ini diantarkan tidak dalam aturan yang biasa. Cerita tentang Agung, Mohidin dan lain-lain itu, dipotong dalam kepingan-kepingan yang tidak berurut, dan di sela-selanya diwujudkan berbagai formasi dan adegan peralihan yang lancar sekali. Cara memotong-motong lakon itu sendiri, bagus -- dan menyebabkan apa yang digambarkan bukan "hanya" sebuah cerita, melainkan satu kesan keseluruhan. Tapi ekspresi yang dimuncratkan terutama dengan mempergunakan tali-tali yang bergantungan -- dengan bombastis -- betapapun sedapnya dilihat dengan semangat remaja, terasa dibangunkan semata-mata buat kepentingan suasana pentas -- dan bukan sehubungan dengan ide besar di luar itu. Dengan kata lain: keributan tersebut terasa dilancarkan untuk pemuasan diri Ikra sendiri atau para pemain yang "teatrikal" itu. Tak heran bila yang didapati dalam pertunjukan ini hanya lukisan keadaan yang semua orang sudah tahu, ditambah para pemain muda yang menggeram-geram, plus panggung arena yang apik yang tak ada hubungannya dengan lakon. Adapun apa yang difahami sebagai bobot, yang -- tanpa perasaan risi dihubung-hubungkan Ikra dengan "pandangan kosmos atau filosofis saya", seperti ditulis dalam folder, payah untuk dijumpai. Sama payahnya untuk menebak: mengapa lakon ini bernama Agung -- dan bukan Mohidin, misalnya saja -- selain bahwa dengan nama Agung, tontonan ini mendapat "cap Bali". (Dan memang, selain Bali sekarang ini lagi keren, bahan yang dikandung lakon ini sebenarnya boleh merupakan dokumentasi tentang Bali pada satu periode -- kali ini Bali yang lebih banyak Islam). Hanya saja, belum pernah sebuah teater di TIM ditonton oleh pengunjung yang begitu sedikit, seperti kali ini. Dengan tambahan: hampir iap malam bisa dilihat orang-orang, kebanyakan "wajah-wajah baru" ataupun orang asing, yang meninggalkan kursi sebelum tontonan usai. Bisa difahami. Lepas dari bagian Mohidin yang menarik, makanan "teatrikal" yang disuguhkan itu rupanya kelewat "sulit". Apa yang bisa dirasakan orang, bila setelah mencoba "menembus" hiruk-pikuk di pentas, ternyata tidak menjumpai sesuatu yang menyentuh batin atau mendukung makna". Jangankan Ikranagara. Bahkan Putu Wijaya, yang banyak mencari komunikasi dengan penonton dengan mengingkari intelek itu -- dan boleh dibilang gemilang -- kalau mau terus-menerus begitu lama-lama bisa ditinggalkan orang juga.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus