Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Seekor Burung Terkapar Di Jakarta

36 karya lukis poster dari 13 orang mahasiswa LPKJ dipamerkan di ruang pamer kampus. Pesan-pesan yang menggugat problem jakarta belum menonjol. Masih ada problem teknis dan variasi huruf.

2 Juli 1977 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BANG Ali tersenyum di depan disain poster yang berjudul "Selingan" ia sudah menyempatkan diri datang membuka pameran disain poster para mahasiswa LPKJ - di ruang pameran kampus lembaga itu antara tanggal 24 s/d 30 Juni. Setiap orang mungkin juga akan tersenyum kecil, karena garapan mahasiswa Hurip Hudhoyo ini (lihat foto) memang kocak. Dia bicara tanpa kata-kata. Tapi terasa ia menangkap satu suasana kecil ibukota yang sedang basah oleh suasana hari jadi. Tak kurang dari 36 buah karya dari 13 orang mahasiswa memenuhi ruangan yang kecil itu. Seluruhnya berakar pada Jakarta. Ada yang menyindir, ada yang mengingatkan, ada yang terharu di samping ada juga yang mencoba memikirkan hari depannya. Sedang dalam selebaran stensilan tertulis ada pameran ini kita akan menemui berbagai bentuk interpretasi kesadaran terhadap lingkungan kota Jakarta yang juga menjadi wadah kita". Polusi Meskipun secara teknis, isi pameran belum matang, tapi anak-anak muda ini telah mencoba berkeliaran dalam bcrbagai aspek. Pesan-pesan yang tertitipkan memang belum jauh menggoda, karena sebagian besar masih terlibat dalam problem mencapai keindahan. Pengamatan kepada Jakarta tampaknya baru pada permukaannya saja. Karena itu yang tertonjolkan adalah monumen seperti Monas, Patung Irian, Patung Diponegoro, Ondel-ondel - hal-hal yang dengan gampang sudah diketahui sebagai milik Jakarta. Ada juga yang mencoba memanfaatkan sosok bang Ali. Masalah yany dilontarkan adalah problim-problim yang jinak. Ini benar-benar sebuah kado dari seorang warga. Kendatipun ada poster seperti Polusi oleh Handi Hendrawan -- yang dilukis dengan gaya "ngepop" tapi yang menonjol bukannya gugatan akan tetapi motif dari poster itu sendiri. Sehingga rasanya lebih menyerupai sebuah ilustrasi. Memang ada juga seorang Edi Rustiadi yang menggambarkan seekor burung terkapar (lihat foto) dengan tulisan: "Hei Jakarta, sediakan nafas buat dia". Sebuah disain yang puitis dan membawa pesan yang mantap. Hal-hal semacam ini tentu saja pantas dipupuk. Sehingga menimbulkan konsekwensi: bahwa para mahasiswa tidak saja wajib memperdalam penggarapan bentuk - akan tetapi juga sekaligus pendalaman pada isi. Jadi keawasan pada lingkungan tidak hanya diartikan membuka mata 360 derajat akan tetapi juga membuka selubung di sekitar. Di samping adanya problim teknis juga belum ada variasi dalam bentuk-bentuk hurup. Yang banyak dikerjakan adalah komposisi warna, pemahiran bentuk, serta juga percobaan untuk menemukan warna lokal lewat beberapa slogan yang sudah umum diketahui milik Jakarta. Misalnya soal gedung jangkung. Soal banjir. Soal kepadatan penduduk. Hurup yang merupakan elemen yang penting dalam poster belum dimainkan. Masih merupakan simbul mati, untuk menyusun arti kalimat, sehingga tidak menolong menggarap suasana, apalagi menunjukkan karakternya. Pada sepasang sepau tua (lihat foto) yang mengingatkan kita pada sepatu van Gogh berisi pesan: "Kalau aku bisa bicara, kan kuucapkan selamat ulang tahun kotaku tercinta". Ini mungkin dapat dipakai sebagai contoh, bahwa di atas segala aspek yang sedang meledak bersama-sama di ibukota, para anak muda ini masih memiliki rasa persahabatan. Hal ini menimbulkan rasa curiga, akan tetapi juga sedikit harapan. Curiga, kalau poster-poster tersebut hanya merupakan barang pesanan dari tema yang sudah dipesan agar tetap sopan dan manis. Sedikit harapan, karena dari sana kita melihat adanya peluang untuk tidak hanya mempromosikan atau memprotes ibukota, tetapi juga mengungkapkan dengan akrab. Karena di samping dirombak, dibangun, dijual pada turis atau dijadikan simbul bersama, kota yang sudah berusia 450 ini memerlukan sahabat -sahabat. Poster sebagai "media komunikasi visuil" yang diharapkan dapat menyampaikan pesan secara "segera dimengerti" -- seperti yang dapat dibaca dalam selebaran -- tidak sepenuhnya ada pada setiap isi pameran. Terutama karena di samping beberapa orang yang benarbenar sudah menampilkan "pesan", banyak di antaranya yang membuat disain tanpa dilandasi oleh pesan. Namun demikian Bang Ali kelihatannya sudah cukup senang. "Kalau kemampuannya sudah sampai begini kenapa tidak dikomersilkan", kata gubernur yang cinta seni itu pada para pembimbing LPKJ. Pesan yang sekaligus mengingatkan, setelah membuka hati pada lingkungan, akademi seharusnya membuka diri juga untuk dimanfaatkan oleh lingkungan. Menurut fungsi dan proporsi yang wajar tentu saja. Scbagaimana ikut campurnya para mahasiswa dalam pembuatan mobil hias. Putu Wijaya

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus