SEJARAH bioskop di negeri ini nyaris seperti fiksi. Pernah, di tahun 1936, beberapa bioskop di Batavia menarik bayaran tidak saja berupa uang, tapi juga ayam, buah-buahan, dan sayuran. Itu terjadi ketika gelombang malaise menerjang seluruh dunia, termasuk Hindia Belanda. Pernah pula, di tahun 1964, sejumlah bioskop di Jakarta dan Jawa Tengah diserbu dan dihancurkan massa lantaran masih saja memutar film Amerika. Itulah bagian dari aksi pengganyangan "kekuatan neo-kolonialisme-imperialisme" oleh PKI. Memang pada suatu masa hubungan antara bioskop dan masyarakat begitu penting. Ketika itu hanya bioskop -- tanpa saingan sepadan dari media lain -- yang memberi gambaran tentang dunia luar dengan begitu langsung, seronok, dan memukau. Yakni, gambaran yang tak saja berisi fantasi, tapi juga mengubah ukuran tentang yang baik dan benar. Dapatlah dimengerti jika penguasa, di zaman penjajahan dan kemerdekaan, membebani usaha bioskop (dan film) dengan "'kewajiban moral" yang tak kecil. Maka sejarah tentang bioskop mestinya juga sejarah tentang perasaan publik. Pernah dikatakan bahwa masyarakat kita tak benar-benar mengalami kebudayaan tulisan. Masyarakat kita melompat dari kebudayaan pratulisan langsung ke budayaan pasca-tulisan. Kalau demikian, bukankah kesadaran sosial lebih banyak dibentuk oleh imaji visual daripada tulisan? Kita boleh berharap bahwa studi tentang sejarah bioskop dapat juga mengungkapkan bagaimana opini, selera, dan gaya hidup publik dibentuk oleh film sejak bioskop pertama berdiri di Tanah Abang Batavia, 1900, sampai zaman cineplex kini. Bunga rampai ini -- meski dengan salah cetak yang luar biasa dan sikap ngawur dalam pencantuman kutipan dan daftar pustaka -- dapat juga disebut buku sejarah karena ia diberi subjudul "90 tahun bioskop di Indonesia". Bagian pertama, "Lintasan", ditulis oleh sejumlah wartawan berdasarkan penelitian yang dilakukan sekelompok mahasiswa sejarah UI, bekerja sama dengan Sinematek Indonesia. Bagian ini berambisi menampilkan pasang-surut usaha bioskop sepanjang 1900-1991. Ada periodisasi yang mencerminkan perubahan sosial-politik. Ada ambisi yang cukup kuat untuk menampilkan usaha bioskop sebagai "usaha kultural" yang selalu tarik-menarik dengan kekuatan politik dan perubahan mondial. Sayang, "Lintasan" terlalu dijejali dengan data dan angka-angka -- jumlah bioskop, penonton, film yang diputar -- tapi terlalu miskin konsep untuk merekonstruksikannya menjadi sejarah yang bermakna untuk hari ini. Apalagi satu penulis menggarap satu periode. Setiap penulis punya kecenderungan yang berbeda dalam memberi arti terhadap pengaruh kekuatan sosial-politik. Terkesan tak ada koherensi pada bagian ini. Saya kira mereka memerlukan uluran tangan sejarawan. Tapi bacalah dengan kritis bagian kedua, "Pandangan" -- kumpulan pendapat para pengamat film dan pengusaha bioskop. Maka kilas balik sejarah dalam "Lintasan" akan memberi kita dua pelajaran penting. Pertama, selama 80 tahun usaha bioskop hanya semacam industri rumah. Tapi selama 5 tahun terakhir ia berubah menjadi industri dengan permodalan besar di bawah payung konglomerat. Keadaan ini membarengi apa yang disebut sebagai monopoli impor dan distribusi film, dan juga kemerosotan besar industri film Indonesia. Kedua, terjadi pula perubahan mendasar dalam kebiasaan menonton, karena bioskop mendapat saingan yang sepadan. Televisi dan video merambah rumah-rumah. Pembajakan film dan layar tancap merajalela. Tapi riwayat bioskop belum hancur. Mungkin karena bioskop, seperti dikatakan J.B. Kristanto, tetap berlaku sebagai gua gelap tempat orang lari dari kesadaran dirinya yang sudah terlapis-lapis. Di sana ia bisa mendapatkan cermin diri dan masyarakatnya. Zaman keemasan bioskop tahun 1952-1960 -- dengan 450 juta karcis terjual -- memang tak pernah lagi berulang. Dengan optimisme bahwa ada lebih dari 106 juta penonton potensial yang belum tergarap baik, mulailah cara usaha baru: jaringan cineplex. Ketika para pemilik bioskop lama hancur, pemilik jaringan cineplex yakin bahwa bioskop merupakan salah satu tempat demokrasi sungguh-sungguh berjalan. Berdasarkan "prinsip demokrasi" itu, katanya, penonton mau datang lagi ke bioskop. Bunga rampai ini memang tak banyak memberi gambaran psikologi penggemar bioskop, yang mungkin bisa membangunkan lagi keberanian dan kreativitas orang-orang film. Bunga rampai ini tampaknya bakal kian membuat kecut pengusaha bioskop dan pengusaha film -- kecuali mereka mau bersekutu dengan cineplex yang juga bagian jaringan distribusi film. Mungkin sudah saatnya kita berhenti bicara tentang usaha bioskop dan film, dan berkonsentrasi untuk membangun pendidikan, pemikiran film, dan kine klub -- hal-hal yang hanya merupakan fiksi bagi para pedagang. Mungkin hanya dengan begini dunia film dapat tegak kembali. Nirwan Dewanto
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini