DALAM rubrik Pendidikan, TEMPO, 14 November 1992, ada beberapa hal mendasar yang dapat diangkat ke permukaan, yakni seberapa jauh hak untuk mendapatkan pendidikan yang layak dijamin oleh undang-undang. Apakah dalam jaminan pendidikan tersebut terkait kriteria-kriteria tertentu? Dalam Pembukaan UUD 1945, alinea ke-4, disebutkan secara tegas bahwa negara berkewajiban mencerdaskan kehidupan bangsa. Selanjutnya, dalam ketentuan pasal 31 UUD 1945 dinyatakan dan ditegaskan bahwa setiap warga negara berhak mendapatkan pengajaran (pendidikan). Sebagai perwujudan kewajiban itu, selanjutnya dalam ayat (2) pasal 31 UUD 1945 dinyatakan bahwa Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan suatu sistem pengajaran nasional yang diatur dengan undang-undang. Dari uraian di atas, secara singkat dapat disimpulkan: pendidikan (pengajaran) sekaligus merupakan hak dan kewajiban yang dikenakan pada "setiap orang". Umumnya, kata "setiap orang" digunakan untuk menunjukkan tidak membedakan: jenis kelamin, suku, ras, dan agama. Namun, non-diskriminasi ini (hampir) selalu dikaitkan dengan beberapa kriteria lainnya. Misalnya, kecakapan bertindak, kedewasaan, kesehatan jiwa, atau kondisi-kondisi pembatas lainnya. Berkaitan dengan itu, menarik dikaji, sejauh mana kondisi "cacat fisik" dapat diberlakukan untuk membatasi hak fundamental seseorang, khususnya untuk mendapatkan pengajaran (pendidikan) yang layak. Eri Herlina, sebagaimana diberitakan TEMPO, mendapatkan hambatan dalam meneruskan kuliahnya di sebuah perguruan tinggi terkemuka karena lumpuh sejak kecil. Hambatan fisik itu ternyata tidak menyurutkan niatnya untuk meraih pendidikan tinggi. Selain itu, cacat ini tidak berarti bahwa ia (harus) berprestasi jelek. Ini terbukti dari indeks prestasi yang diperolehnya selama kuliah cukup memuaskan. Sialnya, pihak universitas beranggapan bahwa Eri harus menghentikan kuliahnya dengan alasan jurusan biologi tidak punya fasilitas khusus untuk penyandang cacat. Nah, apakah alasan itu cukup layak untuk "membatalkan" hak seseorang untuk mendapatkan pendidikan yang telah dijamin oleh undang-undang? Untung tak dapat diraih, malang tak dapat ditolak. Eri akhirnya harus mengalah dan berhenti kuliah setelah mengenyam pendidikan tinggi kurang lebih lima tahun. Tapi mengapa pihak fakultas, yang sejak awal sudah mempunyai alasan kuat untuk menolak Eri, kok tidak memberi tahu sejak semula? Eri dibiarkan saja kuliah selama beberapa tahun. Siapakah yang salah dalam hal ini? Erikah yang memaksakan cita-citanya ataukah pihak universitas yang membiarkan hal itu terjadi berlarut-larut? ZAENAL ABIDIN-TRISTAM Jakarta
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini