Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Di Pertigaan Galung
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Di pertigaan arah ke kiri jalan pulang
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
tersua aku makam batu dari dua abad berlalu.
Masa lalu duduk berhimpit-himpitan di kuduk
memberat bagai masuk angin yang parah
Engku, bagaimana engkau bisa jadi begini kuyu?
Aku tak bisa ciptakan revolusi bahkan bagi diriku sendiri
aku pulang-pergi begini tiap hari—terpaku pada laju waktu.
Di pertigaan ke kanan kolam ikan
di tepi surau kayu yang renta.
Dulu, belumlah lama, ada turis datang bertanya
barangkali dari Amerika atau Eropa, “Inikah kubur
bagi fanatik agama?”
Oh, ya, seorang dari Harimau nan Salapan, aku kata.
Tuan dari mana?
Dia serahkan sehelai kartu nama.
Di pertigaan lurus nyarai curam ternganga.
Migrasi ke Kota
Di atas tanah 10x10 m ayahku dirikan rumah
dulu aku punya 2 lusin itik serati; kakak laki-lakiku
punya seekor kerbau jantan
anaknya tidur mengigau-igau:
“Abak, Abak, Binuang tercekik mati
bersebab terlalu banyak makan padi!”
Baru-baru ini ayahku beli kelambu
panas sekali hari dan nyamuk-nyamuk
tak bakal mati hanya dengan ini:
“Vaksin dari negara-negara maju yang melamun
kacapiring dan sungutkucing dari kebun kami!”
Di atas tanah 10x10 m di sini tak ada matrilini
datuk-datuk dipancung Padri eh, apa-apaan ini?
Kakak perempuanku buka kedai nasi (+ free wifi)
beras dan ayam diimpor dari Vietnam
para keponakanku bergelung
dalam jaring-jaring pertemanan.
Mutilasi
Kalau aku dipotong jadi kecil-kecil, jadi aku peluru
melesat terbang dari moncong senapanmu. Tak kubertemu
lagi asalku. Melesat saja. Hendak di pangkal kokang saja
berdiam, tidak dapat aku memilih takdirku.
Aku serahkan
pada pelatuk.
Tapi pelatuk juga tak ada daya pada dirinya. Dia menyerah
pasrah pada jari, akan menarik atau menahan. Dengan napas
terengah dan menekan, selepas diam sebentar dada
jadi padat.
Tapi jari pun tak punya pilihan, akan ditekukkah dia?
Apa sempat tangan bertanya padanya? Melenggang saja
dia juga tidak pernah ditanya apa hendak dijangkau setelah
semua ini selesai, setelah
seorang terjerambab di lumpur pekat
pada pangkal kepala lubang nganga.
Semua akhirnya mengalah pada lengan yang jadi sumbu
segala gerak. Tapi, oh tidak, dia juga patuh pada kehendak.
Jantung berdegup-degup. Tak diperintah, tak mempan dibujuk,
tak guna dibentak. Dia pada apa menyerah?
“Kalau dipotong-potong jadi kecil ayah,
jadi peluru bagi senjataku,” kata anakku
yang masih suka tidur kejamban di kasur
mengacung-acungkan pisau ke mukaku.
Pikirku, “Ah, mungkin sebaliknya!”
Kau belaka, jadi peluru, bagi sepi harituaku
Deddy Arsya lahir di Bayang, Pesisir Selatan, Sumatera Barat, 15 Desember 1987. Buku puisinya yang termutakhir berjudul Khotbah si Bisu (2019).
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo