Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Di Pertigaan Galung

Deddy Arsya adalah penyair kelahiran Sumatera Barat, 15 Desember 1987. 

 

24 Oktober 2020 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Di Pertigaan Galung

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Di pertigaan arah ke kiri jalan pulang

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

tersua aku makam batu dari dua abad berlalu.

 

Masa lalu duduk berhimpit-himpitan di kuduk

memberat bagai masuk angin yang parah

 

Engku, bagaimana engkau bisa jadi begini kuyu?

 

Aku tak bisa ciptakan revolusi bahkan bagi diriku sendiri

aku pulang-pergi begini tiap hari—terpaku pada laju waktu.

 

Di pertigaan ke kanan kolam ikan

di tepi surau kayu yang renta.

 

Dulu, belumlah lama, ada turis datang bertanya

barangkali dari Amerika atau Eropa, “Inikah kubur

bagi fanatik agama?”

 

Oh, ya, seorang dari Harimau nan Salapan, aku kata.

 

Tuan dari mana?

 

Dia serahkan sehelai kartu nama.

 

Di pertigaan lurus nyarai curam ternganga.


Migrasi ke Kota

 

Di atas tanah 10x10 m ayahku dirikan rumah

dulu aku punya 2 lusin itik serati; kakak laki-lakiku

punya seekor kerbau jantan

 

anaknya tidur mengigau-igau:

 

“Abak, Abak, Binuang tercekik mati

bersebab terlalu banyak makan padi!”

 

Baru-baru ini ayahku beli kelambu

panas sekali hari dan nyamuk-nyamuk

tak bakal mati hanya dengan ini:

 

“Vaksin dari negara-negara maju yang melamun

kacapiring dan sungutkucing dari kebun kami!”

 

Di atas tanah 10x10 m di sini tak ada matrilini

datuk-datuk dipancung Padri eh, apa-apaan ini?

 

Kakak perempuanku buka kedai nasi (+ free wifi)

 

beras dan ayam diimpor dari Vietnam

 

para keponakanku bergelung

dalam jaring-jaring pertemanan.

 


Mutilasi

 

Kalau aku dipotong jadi kecil-kecil, jadi aku peluru

melesat terbang dari moncong senapanmu. Tak kubertemu

lagi asalku. Melesat saja. Hendak di pangkal kokang saja

berdiam, tidak dapat aku memilih takdirku.

 

Aku serahkan

pada pelatuk.

 

Tapi pelatuk juga tak ada daya pada dirinya. Dia menyerah

pasrah pada jari, akan menarik atau menahan. Dengan napas

terengah dan menekan, selepas diam sebentar dada

jadi padat.

 

Tapi jari pun tak punya pilihan, akan ditekukkah dia?

Apa sempat tangan bertanya padanya? Melenggang saja

dia juga tidak pernah ditanya apa hendak dijangkau setelah

semua ini selesai, setelah

 

seorang terjerambab di lumpur pekat

pada pangkal kepala lubang nganga.

 

Semua akhirnya mengalah pada lengan yang jadi sumbu

segala gerak. Tapi, oh tidak, dia juga patuh pada kehendak.

 

Jantung berdegup-degup. Tak diperintah, tak mempan dibujuk,

tak guna dibentak. Dia pada apa menyerah?

 

“Kalau dipotong-potong jadi kecil ayah,

jadi peluru bagi senjataku,” kata anakku

 

yang masih suka tidur kejamban di kasur

mengacung-acungkan pisau ke mukaku. 

 

Pikirku, “Ah, mungkin sebaliknya!”

 

Kau belaka, jadi peluru, bagi sepi harituaku


Deddy Arsya lahir di Bayang, Pesisir Selatan, Sumatera Barat, 15 Desember 1987. Buku puisinya yang termutakhir berjudul Khotbah si Bisu (2019).  

 

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus