Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Lukisan perupa bertema masker menghiasi dinding Jogja National Museum. Tengoklah dua karya perupa Agus Suwage di lantai 3 museum. Ia mengeksplorasi pelindung manusia pada masa pandemi Covid-19 itu. Suwage menciptakan citraan mirip Mona Lisa karya maestro asal Italia, Leonardo da Vinci.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Bedanya, obyek tersebut menggendong anjing dan tidak menatap ke arah depan seperti Mona Lisa, melainkan ke samping. Citraan itu berlatar tangga, bola-bola seukuran bola golf, awan, dan cipratan darah. Suwage memberi judul lukisan berseri berukuran 85 x 114 sentimeter ini dengan Droplet series-After Da Vinci.
Lukisan seri lainnya menggambarkan perempuan bermasker warna putih yang sedang menatap langit. Wanita berpakaian khas Eropa ini membelakangi lantai dan obyek mini berwarna merah yang sekilas mirip cipratan darah. Karya berukuran 200 x 225 sentimeter itu berjudul Droplet series Tolak Bala After DeLacroix.
Agus Suwage merupakan satu dari 75 seniman yang karyanya dipajang dalam pameran seni kontemporer Artjog 2020 di Jogja National Museum. Pameran bertajuk “Resilience” ini digelar di museum dan secara online melalui Artjog.co.id pada 8 Agustus hingga 10 Oktober 2020.
Pagebluk corona membuat panitia Artjog bersiasat untuk tetap menggelar pameran dengan penghematan dana besar-besaran sebagai imbas pandemi. Tahun ini, mereka tidak memasang karya seni utama perupa yang biasanya menyedot biaya besar sebagai fasad gedung untuk menyambut pengunjung. “Kami tidak bisa jor-joran di tengah pandemi dan keterbatasan,” kata pendiri Artjog, Heri Pemad, ketika ditemui di Jogja Museum, Ahad lalu.
Tema pandemi juga muncul dalam karya perupa Bandung, Sunaryo. Lukisan berukuran 160 x 200 sentimeter itu menggambarkan penari mengenakan masker. Semua penari itu terlihat sedang bergerak. Ada penari Bali yang memasang penutup kepala. Ada pula penari yang bergerak hingga maskernya terlepas separuh. Para penari yang aktif bergerak itu saling berdempetan dengan beragam pose. Sunaryo memberi judul karyanya When the Dancers Stay at Home.
Soal masker juga terdapat dalam sapuan kuas perupa gaek Djoko Pekik. Ia menciptakan lukisan berupa kerumunan manusia, yang terdiri atas laki-laki dan perempuan, tua-muda, sedang mengacungkan tangan kanan. Semua mengenakan masker dan digambarkan sedang berjalan menuju mobil bak terbuka (pikap) bertulisan corona. Di mobil tersebut terdapat dua orang yang sedang berjibaku mengambil masker yang menumpuk di dalamnya. Lukisan berbahan cat minyak di atas kanvas berukuran 150 x 250 sentimeter itu diberi judul Gelombang Masker.
Di rumahnya di Kecamatan Kasihan, Bantul, Yogyakarta, beberapa waktu lalu, Pekik pernah mengungkapkan keresahannya saat pandemi corona menghajar Indonesia. Pekik bahkan gusar pada corona yang berimbas terhadap seniman, pariwisata, dan kondisi ekonomi di kota gudeg ini. “Gara-gara corona, semua bubrah. Pariwisata lumpuh,” kata Pekik.
Selain menampilkan karya bertema pandemi, ada seniman yang menyajikan karya tentang kehidupan, kesendirian, dan nasionalisme. Menurut Heri Pemad, dari 140 karya, seperti lukisan, patung, dan seni instalasi, sekitar 20-30 persen mengeksplorasi tema Covid-19. Deretan seniman top yang mengisi pameran Artjog, antara lain, Eko Nugroho, Heri Dono, Nasirun, Jumladi Alfi, Melati Suryodarmo, Ivan Sagita, Ugo Untoro, I Nyoman Masriadi, dan Tisna Sanjaya.
Kurator Artjog, Agung Hujatnikajenong, saat membuka Artjog secara daring pada Sabtu malam, 8 Agustus lalu, mengatakan “Resilience”, yang menjadi tema pameran, bermakna menguji kembali kegigihan, daya tahan, daya juang, kontribusi, dan solidaritas publik. Artjog bertujuan menumbuhkan kebersamaan di tengah masyarakat. “Kebersamaan ini diperlukan untuk mencapai ketahanan kolektif karena pandemi berisiko menjadikan orang soliter, terasing, dan apatis.”
Semula Artjog hendak mengusung tema “Time to Wonder” atau seputar waktu dan dijadwalkan berlangsung pada Juli-Agustus. Tapi pameran dengan tema itu ditunda. Panitia Artjog kemudian memilih tema “Resilience” karena dianggap lebih relevan dan kontekstual dengan kondisi yang dihadapi pekerja seni Indonesia saat ini.
Heri Pemad dan panitia Artjog menggunakan jalan tengah untuk menyiasati pameran, bisa disaksikan langsung di museum dengan protokol kesehatan maupun secara virtual. “Ada sebagian orang yang ingin melihat langsung karena mereka perlu interaksi langsung dengan karya seni. Ini bagian dari eksperimen.” *
SHINTA MAHARANI
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo