Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Infamous Sutradara: Douglas McGrath Pemain: Toby Jones, Sandra Bullock, Daniel Craig, Sigourney Weaver
Tingginya hanya 165 sentimeter, berpipi gembil, bersuara tinggi melengking, dan gerak tubuh yang gemulai. Kehidupannya flamboyan dan gemar meloncat dari satu pesta ke pesta lain. Ia Truman Capote, salah satu wartawan yang memperkenalkan jurnalisme sastra.
Toby Jones, seorang aktor Inggris, secara cemerlang mampu menghidupkan gambaran kita akan sosok penulis/wartawan gay Amerika yang unik itu. Ia tak kalah dengan Philip Seymour Hoffman, yang meraih Academy Award untuk aktor terbaik saat memerankan Capote dalam film Capote. Film Infamous mengambil tema sama dengan film Capote besutan Bennet Miller, yang setahun lalu beredar. Namun ternyata ia bukan fotokopi dari Capote. Di sana-sini malah menampilkan keunggulan.
Kisah dimulai ketika novelis Truman Capote tertarik untuk menulis pembunuhan brutal keluarga Clutter di Holcomb, Kansas, November 1959. Ia datang ke kota kecil itu atas biaya The New Yorker. Ia ingin tak sekadar menghasilkan tulisan seperti wartawan. ”Saya ingin menggali emosi,” katanya. Tapi ia terbentur kenyataan bahwa warga begitu tertutup.
Sutradara Douglas McGrath berbeda dengan Bennet Miller. Ia memperlihatkan sisi bagaimana Capote lalu terampil merebut hati, bertamu ke berbagai rumah, dan bercerita tentang persahabatannya dengan Marlon Brando, Marilyn Monroe, John Houston. ”Aku mengalahkan Humphrey Bogart main panco,” katanya. ”Aku tak percaya,” kata Dewey ”Foxy”, polisi setempat, melihat gaya Capote yang ”melambai-lambai”. Tapi, ketika si Foxy kalah panco, ia lumer.
Film ini sesungguhnya adalah kisah agoni—penderitaan seorang wartawan/novelis dalam melahirkan karyanya. Capote berobsesi menghasilkan fiksi yang bertolak dari reportase mendalam. Diperlihatkan bagaimana saat gelisah ia membagi perasaan-perasaan kecilnya kepada lingkaran jetset—para wanita sahabatnya. Ia bergosip dari restoran ke restoran, dansa ke dansa.
Inti film ini adalah bagaimana Capote secara teratur ke penjara mengunjungi dua pembunuh: Perry Smith dan Richard Hickock. Ia berusaha menggali kepribadian mereka. Dan ia melihat ada sisi humanis terutama pada Smith. Kepribadian Smith kokoh. Mulanya ia susah terbuka, tak mau dijadikan obyek.
”Anda tak bisa menulis hanya berdasar ingatan,” kata Perry Smith. Capote memiliki kebiasaan, bila melakukan wawancara, sama sekali tak menulis dalam catatan. Ia mengandalkan ingatan dan impresi paling intim. Baru semua itu ia tulis tangan—menjelang tidur. Film menampilkan naik-turun hubungan Capote-Smith. Perry Smith akhirnya percaya akan iktikad Capote.
Itulah sebabnya Smith meledak dan di selnya mencengkeram Capote saat ia mengetahui novel Capote akan berjudul In Cold Blood (Tanpa Ampun). Kemarahan reda saat Capote menjelaskan bahwa judul itu tak bermaksud menjelaskan brutalisme Smith.
Penampilan Daniel Craig sangat kuat. Aktor yang kini lebih dikenal sebagai pemeran James Bond ini memiliki raut muka keras. Ia mengisahkan masa kecilnya yang menyedihkan, tentang ayah-ibu dan sanaknya yang meremehkan dan meninggalkannya. Craig berhasil memancarkan kekerasan sekaligus aura lembut.
Energi Capote tersedot menggali psikologi Perry Smith. ”Ini karyaku yang paling sulit,” katanya. Capote mengikuti proses pengadilan Smith. Hampir enam tahun dihabiskan Capote untuk menghimpun data dan menyusun novel ini. ”Frank Sinatra pernah mengatakan, karena sedemikian bagusnya Judy Gartland menyanyi, setiap menyanyi ia kehilangan beberapa persen kehidupannya,” kata Nelle Harper Lee (Sandra Bullock), novelis To Kill a Mockingbird, pemenang Pulitzer—sahabat akrab Capote yang mendampingi Capote sampai ke Kansas. Dengan kalimat ini, ditunjukkan bagaimana proses kreatif In Cold Blood juga menggerogoti fisik Capote.
Saat terbit pada tahun 1965, buku In Cold Blood begitu sukses luar biasa. Di tahun pertama saja mencapai penjualan US$ 2 juta atau sekitar Rp 18 miliar, yang kemudian menjadikan Capote makmur. Desa Holcomb sampai sekarang masih dikunjungi turis. Memang setelah novel itu, Capote tak lagi menghasilkan karya yang dahsyat. Seolah tenaga terbaiknya telah tercurahkan ke sana.
Menyaksikan film ini, kita dapat mengira-ngira bagian mana di balik penciptaan In Cold Blood (minggu ini terjemahan bahasa Indonesianya diterbitkan Bentang Pustaka setebal 476 halaman ) yang paling membuat Capote ”sakit”. Itu adalah menjelang hari-hari kematian Perry Smith. Capote tiba di penjara. Mata mereka bertatapan. Dan bibir mereka berpagutan. Mereka: berciuman.
Dan ketika Capote diperbolehkan melihat hukuman gantung itu, Perry Smith tampak tabah. Ia mengunyah permen karet terus-menerus. Tapi, tatkala kepalanya dikudung kain hitam, napasnya tersengal. Ia ketakutan. Capote tak sanggup menyaksikan itu. Ia terhuyung-huyung lari keluar.
Adegan penutup: di rumah, Capote membuka kardus yang diwariskan Perry Smith ke dirinya. Ia terisak, melihat ada gambar dirinya yang dibuat Smith: matanya menerawang, membayangkan Smith yang menyanyi dan merekamkan nyanyiannya pada tape recorder yang diselipkan Capote di penjara. Lagu tentang ladang-ladang Kansas….
Seno Joko Suyono
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo