Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SEPULUH butir isi surat Menteri Kesehatan Siti Fadilah Supari kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono itu menyiratkan kepanikan. Kepada RI-1, Ibu Menteri minta tambahan dana Rp 1,7 triliun untuk program pelayanan kesehatan masyarakat miskin.
Siti mengingatkan melalui surat itu bahwa program asuransi kesehatan untuk rakyat miskin telah memberikan citra positif bagi pemerintah. ”Jika kekurangan dana tidak dapat dipenuhi, akan memberikan citra buruk terhadap pemerintah,” tulisnya dalam surat tertanggal 20 Juli 2007 yang kopinya diperoleh Tempo.
Program Asuransi Kesehatan untuk Rakyat Miskin (Askeskin) dimulai sejak 2005. Inilah program populis pemerintah Yudhoyono. ”Ini revolusi pelayanan medis untuk rakyat. Dulu rakyat ditolong karena uluran tangan pemerintah semata. Sekarang pemerintah diwajibkan menyediakan pelayanan kesehatan itu,” kata Siti Fadilah.
Tambahan dana diminta karena adanya salah hitung dalam penentuan anggaran program asuransi. Pada awal tahun ini, pemerintah menganggarkan Rp 2,78 triliun, dengan asumsi konsumen program ini adalah 60 juta orang miskin. Belakangan, jumlah penduduk miskin melonjak menjadi 76,8 juta orang. Dengan premi Rp 5.000 per orang, total dana yang diperlukan untuk program ini menjadi Rp 4,608 triliun.
Sebelum berkirim surat ke Presiden, Siti telah meminta tambahan duit ini ke Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional. Tapi permintaan itu ditolak dengan alasan kemampuan keuangan negara tak memungkinkan. Walhasil, Menteri harus menambal kekurangan itu dengan memotong anggaran pengobatan demam berdarah, malaria, dan tuberkulosis.
MENTERI Siti menggandeng PT Askes—perusahaan asuransi pelat merah yang biasanya melayani pegawai negeri sipil, tentara, dan pensiunan—sebagai pelaksana program ini. Dengan premi Rp 5.000 per orang, Askes menerima seperduapuluhnya sebagai upah pengelolaan alias management fee.
Tavip Hermansyah dari Bagian Humas PT Askes menyatakan, nilai premi Rp 5.000 sebetulnya tak lazim—terlalu kecil. ”Tapi, karena kami perusahaan pemerintah yang nonprofit, tak masalah kami melaksanakan program Askeskin ini,” tuturnya.
Menurut Siti, jumlah penduduk miskin saat itu diperkirakan 36 juta orang. Tapi data itu lalu dikoreksi menjadi hampir dua kali lipatnya, yaitu 60 juta orang. ”Masyarakat miskin dan hampir miskin susah dibedakan. Orang yang ’sadikin’ (kalau sakit bisa jatuh miskin) pun perlu dibantu,” tuturnya.
Pada tahun pertama, mungkin karena belum banyak orang tahu, tak banyak yang memakai Askeskin. Dari Rp 3,6 triliun anggaran yang disediakan, tersisa hampir Rp 1 triliun. Karena itu, anggaran untuk 2006 ditetapkan Rp 2,6 triliun, sesuai dengan angka yang dipakai pada tahun sebelumnya.
Pada saat yang sama, pemerintah melonggarkan persyaratan penerima asuransi. Rakyat miskin, ketika berobat, tak diwajibkan membawa kartu Askeskin, yang pembagiannya memang bermasalah. Mereka bisa membawa surat keterangan tidak mampu yang diteken aparat desa setempat. Akibatnya, jumlah pengguna asuransi melonjak tajam menjadi hampir 77 juta orang.
Di sinilah Askes mulai kelabakan membayar klaim. Di mana-mana, rumah sakit tak bisa menarik tagihan mereka. Jumlah tagihan bisa sampai puluhan miliar rupiah. ”Beban kami sangat berat,” kata Urip Murtejo, juru bicara Rumah Sakit Umum Daerah dr Soetomo, Surabaya.
Rumah Sakit dr Soetomo menyimpan tagihan yang belum dibayar Rp 34 miliar hingga Juli lalu. Tentu saja aliran kas rumah sakit itu terganggu. Duit untuk pembelian obat dan alat kesehatan jadi cekak. Begitu juga upah untuk tenaga medis dan karyawan. ”Untuk membeli obat, kami harus menalanginya dulu,” ujar Urip, kepala instalasi rawat darurat di rumah saki itu.
Masalah serupa dialami banyak rumah sakit lain, termasuk Rumah Sakit Jiwa Grhasia Yogyakarta. Menurut Andung Santoso, direktur rumah sakit itu, keterlambatan pembayaran klaim Rp 1,4 miliar oleh PT Askses membuat dokter dan tenaga medis mereka belum dibayar. ”Bisa dikatakan, selama ini kami bekerja lillahita’ala,” tuturnya.
Ikatan Dokter Indonesia mencatat, sejak Mei 2007 piutang di hampir semua rumah sakit penyelenggara Askeskin tak dibayar. Artinya, lima bulan lebih aliran dana rumah sakit itu macet. Soalnya, klaim yang belum dibayar itu merupakan komponen vital, termasuk pembelian obat.
Mata rantai selanjutnya dari masalah ini adalah membengkaknya utang rumah sakit ke pemasok obat dan alat kesehatan. Berikutnya, pemasok menghentikan jatah obat-obatan untuk mereka. ”Sejak Februari 2007 pemasok obat belum dibayar,” kata Fahmi Idris, Ketua Umum IDI.
Untuk mengerem pembengkakan tagihan, Menteri mengubah sejumlah peraturan. Di antaranya, menguruskan daftar obat yang bisa ditanggung program Askeskin. Pengecekan ulang terhadap penerima program juga dilakukan. Tapi perubahan ini tak bisa cepat mengatasi persoalan. Sebabnya, tagihan tetap saja belum dibayar.
Di beberapa daerah, rumah sakit tak lagi menerima peserta Askeskin. Ambil contoh Sri Ningsih, perempuan 35 tahun yang tinggal di bantaran Bengawan Solo. Oleh dokter ia telah divonis mengidap gangguan jantung. Dengan kartu miskin di tangannya, buruh penjahit kain bekas itu bisa berobat cuma-cuma di Rumah Sakit dr Moewardi, Solo.
Masalah datang pada pertengahan Agustus lalu, ketika pemerintah mendata ulang peserta Askeskin. Entah kenapa namanya tak tercantum dalam daftar baru kaum papa di wilayah itu. Bisa ditebak, ia tak lagi bisa memakai kartu Askeskin untuk berobat gratis.
Untungnya, aparat puskesmas dan kelurahan di tempatnya tinggal berinisiatif mengurus Sri Ningsih agar bisa kembali masuk daftar orang miskin. Berhasil, tapi perlu satu bulan untuk menyelesaikan tetek-bengek administrasinya. Sabtu pekan lalu, ketika ia berobat ke Rumah Sakit dr Moewardi, kartu Askeskinnya kembali sakti. ”Hanya, saat menebus resep, saya diminta Rp 20 ribu. Katanya uang jaminan,” tuturnya kepada Tempo.
HINGGA kini usaha mengurai kisruh dana berobat orang miskin ini belum membuahkan hasil. Yang muncul justru saling menyalahkan. Menteri Kesehatan menunjuk PT Askes sebagai biang masalah. Di antaranya, kesalahan hitung sisa saldo 2006 yang membuat semua perhitungan anggaran meleset.
”Hitungan akhir tahun itu harusnya mempermudah orang melihat. Itu gunanya manajemen. Lha ini tidak ada yang bisa dilihat. Oh my God, bagaimana ini?” kata Siti Fadilah, menggambarkan amburadulnya PT Askes.
Tapi PT Askes balik menuding pemerintahlah yang membuat tagihan tak kunjung bisa dibayar. Alasannya, pembayaran tagihan bergantung pada ketersediaan dana di kantong pemerintah. Dalam program ini, PT Askes memang hanya berperan layaknya juru bayar. ”Bukan perusahaan asuransi seperti lazimnya,” kata Tavip Hermansyah.
Menurut Tavip, kecepatan pembayaran bergantung pada kecepatan rumah sakit mengajukan klaim dan kelengkapan persyaratan. Prioritas pembayarannya berdasarkan klaim yang masuk lebih dulu. ”Kecuali untuk saat ini, Sumatera Barat dan Bengkulu diprioritaskan karena baru saja dilanda musibah,” Tavip menjelaskan.
Soal waktu pengecekan klaim, menurut Tavip, ditentukan besar-kecilnya rumah sakit. Butuh empat pekan untuk melakukan verifikasi klaim yang diajukan rumah sakit tipe A, tiga pekan untuk tipe B, dan 1-2 pekan tipe di bawahnya.
Benarkah? Tidak juga. Klaim Rumah Sakit dr Wahidin Sudirohusodo Makassar, yang bertipe A, ternyata tak kunjung dicek meski sudah diajukan pada Juli lalu. Dari total Rp 34 miliar lebih yang mereka ajukan pun, baru dibayar sekitar Rp 700 juta.
Nurshanty S. Andi Sapada, direktur utama rumah sakit itu, pun berkirim surat ke Direktur Jenderal Bina Pelayanan Medik. Ia meminta pemerintah pusat memerintahkan PT Askes membayar tagihan rumah sakitnya.
Dalam suratnya, Shanty melaporkan bahwa semua pemasok telah menutup penjualan obat dan alat kesehatan ke Rumah Sakit Wahidin. ”Kami juga sangat mengharapkan pembayaran mengingat kebutuhan untuk membayar jasa pelayanan, khususnya mengadapi hari raya Idul Fitri,” Nurshanty menulis dalam suratnya, Ahad pekan lalu.
Dana Rp 400 miliar dari pemerintah cair pekan ini yang akan segera dipakai membayar tagihan. Tetap saja kurang karena, menurut Avip, tagihan yang sudah dicek hingga Juli 2007 berjumlah Rp 504 miliar.
Dua bulan lebih setelah Menteri Siti Fadilah berkirim surat ke Presiden, gonjang-ganjing duit pengobatan kaum papa ini belum kunjung selesai. Ikatan Dokter Indonesia pun menilai program ini dalam status ”lampu kuning”. ”Bukan saatnya saling menyalahkan, tapi harus segera dibenahi,” kata Fahmi Idris.
Budi Setyarso, Wahyu Dhyatmika, Imron Rosyid (Solo), Kukuh SW (Surabaya), Mochtar Touwe (Ambon), Syaiful Amin (Yogyakarta)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo