Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Dari Makelar sampai Obat Liar

Ada saja upaya warga menyiasati asuransi kesehatan untuk orang miskin. Kata Menteri, jumlahnya tidak seberapa.

8 Oktober 2007 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Direktur Rumah Sakit Bangkalan, Madura, dr Hamid Nawawi, hafal benar akan perangai seorang pria. Awal September lalu, sambil tersenyum simpul, dr Nawawi mendekati pria yang tengah asyik bercakap-cakap di ruang tunggu pasien itu. ”Coba, mari ikut saya,” katanya ramah. Lelaki itu menurut saja.

Di ruang kerjanya, Hamid memberondong si laki-laki dengan sejumlah pertanyaan. ”Siapa pasien yang kamu tengok setiap hari di sini? Apa benar mereka keluargamu?” tanya Hamid. Karena tak berhasil memberikan jawaban memadai, hari itu juga si pria diusir dari areal rumah sakit.

”Saya tahu dia makelar,” kata Hamid kemudian, dalam sebuah diskusi di kantor Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia, dua pekan lalu. Soalnya, dia pernah melihat sendiri bagaimana pria itu menawarkan surat keterangan tidak mampu (SKTM) untuk seorang pasien yang dirawat di rumah sakitnya. Berbekal surat keterangan palsu itu, si pasien bisa memperoleh pelayanan kesehatan cuma-cuma. Rupanya, ketika dihadapkan pada pilihan membayar operasi medis senilai Rp 10 juta atau membeli surat tanda miskin dari para makelar dengan harga Rp 2 juta, banyak pasien lebih memilih opsi kedua.

Cerita semacam ini tidak terdengar sekali dua kali. Hampir di setiap rumah sakit yang menjalankan program Askeskin, ada banyak kisah tentang makelar yang gentayangan menawarkan SKTM kepada pasien yang sebenarnya tidak berhak.

Tak terkecuali di RS Hasan Sadikin, Bandung. ”Sebelum Juli, setiap pasien yang membawa SKTM dipersilakan masuk dengan bebas,” kata Cissy Kartasasmita. Namun, setelah ada laporan kebocoran di sana-sini, kini dilakukan pengetatan. ”Agar tidak ada orang tidak berhak ikut masuk,” kata Direktur Utama RS Hasan Sadikin ini.

Bahkan sempat ada informasi, di rumah sakit tersebut berkeliaran beberapa oknum penjual jasa membuat SKTM palsu kepada calon pasien. ”Saya sudah minta satpam mengawasi, tapi sampai sekarang belum ada yang tertangkap,” katanya.

Sekarang RS Hasan Sadikin mau tak mau menerapkan penelitian ketat untuk setiap pasien yang mengaku miskin. Mereka akan dicek apakah namanya tercantum dalam daftar warga miskin dari Badan Pusat Statistik atau surat keputusan wali kota/bupati daerah domisili klien yang ada di PT Askes dan rumah sakit. ”Kalau tercantum dalam daftar itu, dia akan dilayani sebagai pasien tidak mampu,” tuturnya.

Namun Cissy juga menerangkan, khusus untuk pasien unit gawat darurat yang mengaku tidak mampu dan tidak terdaftar dalam data warga miskin, pihak rumah sakit akan mewawancarai pasien untuk menilai apakah dia memang benar-benar tidak mampu atau hanya berpura-pura. ”Kalau ternyata benar tidak mampu, dia akan dikasih surat keterangan dan dilayani sebagai pasien Askeskin oleh RSHS,” katanya. ”Tapi, kalau ternyata si pasien orang mampu tapi tidak bawa uang, dia akan tetap dilayani sebagai pasien Askeskin dengan catatan untuk pengobatan selanjutnya di RSHS dia harus bayar.”

Cissy mengungkapkan, pasien miskin di instalasi rawat inap RSHS tahun ini rata-rata 1.500 orang per bulan. ”Semua pasien Askeskin ditampung di ruang rawat inap kelas III dengan jumlah total tempat tidur sekitar 700,” katanya. Tempat tidur kelas III itu biasanya 90 persen diisi pasien miskin.

Menurut Cissy, sejak pengetatan pelayanan pasien miskin pada Juli lalu, jumlah pasien miskin di rumah sakitnya kini menurun 30-40 persen. ”Saya menduga banyak calon pasien yang takut, karena pemberian Askeskin sekarang lebih ketat. Mereka takut setelah diwawancarai petugas rumah sakit malah tidak dinyatakan orang tidak mampu.”

Adapun di Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Dr Moewardi, Solo, Jawa Tengah, klaim yang belum dibayar oleh PT Askes sudah menumpuk sejak Juni lalu. Wakil direktur bidang pelayanan medik di rumah sakit itu, Tri Lastiti Widowati, mengaku tidak ingat persis berapa angka tunggakan PT Askes tersebut. Dia hanya mengatakan, karena masih ada tunggakan yang belum terbayar, rumah sakitnya sekarang berutang kepada penyedia obat. ”Kami terpaksa beli obat eceran,” kata dia.

Untuk menutup biaya operasional, RS Dr. Moewardi mendapat bantuan dari pemerintah daerah. ”Jadi, keterlambatan pembayaran klaim ini kami usahakan tidak mengganggu kualitas pelayanan,” kata Lastiti. Karena itulah, sampai saat ini belum pernah sekalipun RS Dr Moewardi menolak menangani pasien dari kalangan miskin. ”Kalaupun ada penolakan, itu lebih disebabkan verifikasi yang dilakukan PT Askes sendiri atas semua pasien gawat darurat,” katanya lagi. Semua pasien yang masuk ke unit gawat darurat memang diberi kelonggaran sampai tiga hari, sebelum diminta menyediakan dokumen yang diperlukan sebagai syarat mendapat fasilitas Askeskin. ”Kalau ditolak di sana oleh PT Askes, ya, apa boleh buat?” kata Lastiti.

l l l

MENTERI Kesehatan Siti Fadilah Supari berang. ”Itu namanya moral hazard,” katanya kepada Tempo tentang praktek penyimpangan Askeskin. Namun dia yakin, penyimpangan seperti itu tak banyak. ”Paling hanya 20 persen. Tidak signifikan,” katanya. Moral hazard ini, kata Menteri, bisa ditekan dengan sistem yang lebih transparan dan jelas.

Siti Fadilah juga menilai, adanya penyimpangan dalam Askeskin tidak berarti menandakan ada kesalahan sasaran program. ”Saya yakin, banyak penyalahgunaan Askeskin dilakukan oleh kelompok masyarakat ”sadikin”—kelompok yang bila sakit bisa jatuh miskin,” katanya. Secara fisik, mereka tampak lebih mampu namun bisa kehilangan harta benda jika harus menanggung semua beban biaya pelayanan kesehatannya sendiri. ”Yang seperti ini agak sulit jika digolongkan sebagai salah sasaran,” katanya.

Tidak hanya itu, menurut Siti Fadilah, moral hazard juga rawan dilakukan dokter selaku penyedia pelayanan kesehatan. ”Misalnya penggelembungan harga obat dan penggunaan obat di luar standar Departemen Kesehatan,” katanya. Dia menunjuk kasus penggelembungan penggunaan obat di RS Baubau, Sulawesi Tenggara. Ketika itu dokter yang bertugas dituduh sengaja menggunakan obat yang tidak perlu. ”Ada juga rumah sakit yang tagihan obatnya naik dari biasanya Rp 2 miliar per bulan jadi Rp 24 miliar per bulan, sejak ada program Askeskin,” kata Siti Fadilah lagi.

Untuk mencegah meluasnya kasus semacam ini, Inspektorat Jenderal Departemen Kesehatan dan jajaran Kejaksaan Agung mulai menyisir sejumlah rumah sakit. ”Begitu ada indikasi mark up, saya minta agar langsung diproses secara pidana,” kata Siti Fadilah.

Ketua Komisi Kesehatan Dewan Perwakilan Rakyat, Ribka Tjiptaning, juga membela penggunaan surat keterangan tidak mampu oleh peserta Askeskin yang belum memperoleh kartu. ”Justru metode itu yang paling efektif, karena hanya ketua RT/RW yang mengeluarkan surat keterangan itulah yang paling tahu keadaan lingkungannya,” kata Ribka. Ke depan, untuk mengurangi penyalahgunaan, politikus Fraksi PDI Perjuangan itu meminta program Askeskin terus diperluas. ”Penyimpangan terjadi karena masih ada warga yang tidak ter-cover program ini,” katanya.

Wahyu Dhyatmika,Imron Rosyid (Solo), Erick Priberkah Hardi (Bandung)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus