Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
9 NAGA Ide cerita & Sutradara: Rudi Soedjarwo Skenario: Monty Tiwa Pemain: Lukman Sardi, Fauzi Baadila, Ajeng Sardi, Donny Alamsyah, Dorman Borisman Produksi: Reload Pictures
Dia berlutut dengan wajah tertutup. Tanpa daya. Di punggungnya, sebuah pucuk pistol terarah ke kepalanya. Tiga lelaki itu, Marwan (Lukman Sardi), Donny (Donny Alamsyah), dan Leni (Fauzi Baadila), memegang nyawanya. Dor. Dor. Dor…. Tubuh itu terkapar. Ketiganya membereskan tubuh itu tanpa kata-kata; dibungkus, digulingkan, dan dihanyutkan ke sebuah sungai yang juga cuma memberikan saksi lewat riak malam. Dan malam berdarah itu biasanya mereka akhiri dengan mabuk sepanjang malam untuk mengusir rasa pahit itu.
”Hidup ini sudah terlalu sempit untuk diisi dengan penyesalan,” demikian kata Marwan. Agak melankolis. Tapi, apa lagi yang tersisa jika mereka hanya harus selalu membuang rasa iba dan membunuh untuk penghasilan? Kisah ini memang bukan kisah laga seperti yang seolah disarankan judulnya. Rudi berkisah tentang psikologi Marwan dan kedua ”punakawannya”, Donny dan Leni, yang mengisi hidupnya sebagai pembunuh bayaran. Mereka menghabiskan nyawa dan menghilangkan jejak, terima uang. Beres. Mereka kemudian menjalankan kehidupan sehari-hari seperti ”orang-orang normal” di kampungnya. Marwan mencoba menjadi suami yang baik bagi Ajeng (Ajeng Sardi), seorang istri yang lumpuh dan bergerak di atas kursi roda akibat tertabrak angkot, dan ayah bagi si kecil Damar. Meski dia tak banyak kata, pergi pada malam hari dengan pistol di pinggang dan pulang pagi hari dengan mulut berbau alkohol dan segepok duit, sang istri tak banyak bertanya dan penuh maaf dia meladeni suaminya yang menurut dia ”sudah pasti bukan polisi, meski bekerja dengan sepucuk pistol”. Donny penuh dengan cita-cita mendirikan perusahaan sablon dengan adiknya, mundur-maju menyampaikan keinginannya pada si bos untuk ”cuti” karena perlahan dia ingin sekali meninggalkan dunia hitam itu. Leni, punakawan termuda itu, hanya hidup bergantung pada kata-kata di ujung lidah Marwan. Bagi Leni, apa yang dikatakan Marwan semua dianggap kebenaran.
Lalu, apa yang terjadi ketika tugas membunuh itu mulai berantakan? Film terbaru Rudi Soedjarwo ini menyembur Jakarta. Bukan karena judulnya yang memberi kesan seolah ini adalah sebuah film laga dengan sembilan pendekar meloncat ke sana kemari dengan semburan ilmu tenaga dalam, melainkan karena Rudi menyajikan suatu penampilan baru. Dia mengguncang sinema Indonesia dengan kekuatan layar yang hening, minim dengan dialog; bahkan minim dengan laga (meski memang ada beberapa adegan pembunuhan yang keji) dan mengusung inti dari genre drama psikologi.
Untuk beberapa menit pertama, mungkin penonton Indonesia, terutama yang sudah lazim dengan ritme Hollywood, mulai mempertanyakan mengapa Rudi menciptakan adegan yang begitu sunyi dengan gerakan yang penuh perhitungan (di luar adegan-adegan pembunuhan). Bahkan salah satu adegan pembunuhan pun dilakukan tanpa suara, tanpa jerit, dan tanpa dramatisasi. Ini menunjukkan Rudi adalah sutradara yang anti terhadap adegan klise. Tetapi ”langkah” dan gerak lamban itu memiliki alasan sinematik dengan perhitungan yang jelas; semua bangunan emosi tokoh diperhitungkan dan memiliki jawaban.
Dengan sendirinya, semua pemain—kecuali Toro Margens—bermain berkilat. Lukman Sardi layak dinominasikan untuk Piala Citra tahun ini. Demikian pula sang sutradara. Fauzi Baadila dan Ajeng Sardi tampil menyentuh. Adegan suami-istri antara Marwan dan istrinya, Ajeng, sungguh intim, sungguh manis, dan sungguh perih. Dialog mereka di atas tempat tidur (dari persoalan remeh-temeh rambut putih sang istri hingga soal imunisasi anak) mengalir dengan wajar; kewajaran yang sudah lama sekali tak disajikan oleh sineas Indonesia sejak Teguh Karya berpulang.
Tentu saja tak ada gading yang tak retak. Rudi mengabaikan beberapa hal, yang sudah pasti memang masuk dalam perhitungannya. Jika ini film realis, tentu sewajarnya dalam pembunuhan yang bertubi-tubi itu akan ada reaksi. Namun, film ini sama sekali tak memperlihatkan—barang selintasan pun—reaksi polisi, reaksi media, apalagi reaksi masyarakat. Semua terjadi seperti di sebuah negara antah berantah. Tetapi, ini semua sudah pasti karena Rudi dan penulis skenario Monty Tiwa ingin berkonsentrasi pada situasi psikologi trio pembunuh Marwan, Donny, dan Leni. Soal lain: musik Andi Riyanto terlalu repetitif dan bertabrakan dengan suasana minor yang sudah dibangun Rudi.
Namun, biarlah. Soalnya, kapankah terakhir kali Anda keluar dari sinepleks setelah menyaksikan film Indonesia yang membuat dada Anda begitu penuh? Kapan terakhir Anda membicarakan sebuah film Indonesia terus-menerus sepanjang malam tak berkesudahan? Ibunda? Tjut Nyak Dhien? Nagabonar? Ada Apa dengan Cinta? Pasti sudah lama sekali. Inilah film berikutnya yang akan membuat kita terus-menerus berdiskusi. Dan merenung. Dan berpikir. Ah, ternyata sinema Indonesia masih terus berdenyut. Rudi memenuhi janji untuk tetap merawatnya.
Leila S. Chudori
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo