Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Marginalia

Mawar

23 Januari 2006 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

”Dunia adalah nihil yang sangat indah.”

Kalimat Latin itu ditulis seorang dokter muda lulusan Universitas Padua pada tahun 1649. Tak lama setelah itu, Johann Scheffler, yang kemudian lebih dikenal sebagai penyair dan mistikus dengan nama Angelus Silesius, menempuh perjalanan dari kota kelahirannya, Breslau, Jerman, ke sebuah kota di pedalaman, Oels. Ia diterima jadi dokter di kastil Hertog Sylvius Nimrod di kota itu.

Dalam perjalanan sejauh 30 kilometer itu sang dokter muda menyaksikan bagaimana dunia adalah nihil yang lain: kota pedalaman itu telah jadi reruntukan. Berkali-kali Oels dimeriam, diserbu, dan dijarah pasukan Protestan dan Katolik secara bergantian selama Perang 30 Tahun. Penduduknya lenyap separuh oleh pembantaian, kelaparan, dan wabah. Rumah-rumah tak dapat didiami lagi. Hanya kastil sang Hertog yang berdiri utuh di tepi kota, dengan menara dan atapnya yang terjal, seakan-akan ngilu dalam kesepian.

Itukah yang menyebabkan Angelus Silesius menulis:

Tuhan adalah Ketiadaan sepenuhnya Tak tersentuh Waktu dan Tempat: Semakin kau tangkap Dia Semakin ia lepas dari jerat?

Seperti lazimnya terjadi, ketika agama hanya membenarkan sempitnya pandangan dan memberi alasan kebencian, ada orang yang tak berbahagia. Yang lebih berbahagia dengan Tuhan yang tak beringas akan mencari persentuhan kerohanian yang lain. Mistisisme adalah salah satu alternatif—satu hal yang kita kenal juga dalam Rumi, Ibnu Arabi, Meister Eckhart.

Juga Angelus Silesius alias Johann Scheffler. Riwayatnya sebenarnya tak luar biasa. Ia anak seorang aristokrat Jerman kelahiran Polandia yang hijrah ke Kota Breslau pada awal abad ke-17. Pada umur 19, ia berangkat ke Strassburg untuk belajar kedokteran dan hukum. Tapi entah kenapa, setahun kemudian, sebelum ia akhirnya ke Padua, ia masuk di Universitas Leiden, Belanda.

Di situ ia berkenalan dengan mereka yang tak puas dengan agama-agama yang ada, terutama mereka yang mengungsi dari tuntutan hukum karena berbeda iman. Di tengah mereka, Johann menemukan pemikiran Jakob Böhme, filosof dan mistikus Jerman yang mewariskan Mysterium Magnum (Misteri Agung) ke Eropa. Yang ilahi, bagi Böhme, tak tepermanai sifatnya dan tak dapat digambarkan secara definitif. Yang ilahi adalah proses, untaian yang tak henti-hentinya menciptakan, tanpa awal, tanpa bentuk.

Pemikiran seperti ini kelak akan bergema dalam diri Scheffler. Tapi ada seorang lain yang lebih mengena di hatinya di Oels: Abraham von Franckenberg

Orang ini bangsawan yang menampik warisan. Ia memilih hidup di salah satu kamar di kastil tua nenek moyangnya, dan hanya muncul sekali-sekali untuk mengobati orang ketika wabah menyerang. Terkadang ia mengunjungi teman-teman dekatnya yang, seperti dia, hidup hanya untuk meditasi dan studi. Franckenberg pengagum Böhme. Ia yang mengusahakan buku sang filosof terbit di Amsterdam pada tahun 1642.

Franckenberg adalah pencari: ia menelaah tradisi mistik Yahudi dalam Kabala, mempelajari ilmu kimia, menerima ajaran Giordano Bruno yang dianggap murtad, menyambut penemuan Kopernikus yang tak cocok dengan Injil bahwa alam semesta tak berpusat pada bumi. Dari semua itu, ia ingin tahu apa gerangan di sana dalam hidup yang kekal.

Sudah tentu ia membuat cemas dan curiga para pendeta Lutheran. Ia pun meninggalkan Oels dan baru kembali pada awal 1649. ”Tuhan bukan hanya tuhan umat Yahudi dan Kristen,” katanya, ”tapi juga tuhan orang kafir, ya, tuhan semua orang.” Ketika ditanya apa agamanya, Franckenberg menjawab: ”Akulah Jantung agama-agama itu.”

Scheffler segera jadi sahabatnya. Ketika Franckenberg meninggal pada musim panas 1652, dokter muda itu menulis elegi yang mengharukan. Baginya, sang mendiang telah bersatu dengan Tuhan bahkan sebelum meninggal: ”satu roh, satu cahaya, satu hidup.”

Tapi kecenderungan mistik Scheffler bertabrakan dengan aturan tempat dia bekerja: kastil sang Hertog dijaga seorang imam Lutheran yang menyensor apa saja yang ditulis dokter-penyair ini. Dari sini, garis mulai ditarik. Akhirnya ia meninggalkan Oels dan kembali ke Bresnau. Tanggal 12 Juni 1653, ia resmi memeluk agama Katolik. Tak urung ia jadi bulan-bulanan serangan yang sengit dan orang tak henti bertanya: kenapa? Inilah salah satu alasan yang dikemukakannya hingga ia berpindah agama: para pendeta Lutheran menolak ”jalan tersembunyi”; mereka tak mengenal ”penyatuan diri dengan Tuhan”.

Tapi tak pernah jelas bagaimana ia juga sepenuhnya bisa mengikuti ortodoksi imannya yang baru. Dalam kumpulan sajak yang dia tulis bagi Franckenberg, tampak bahwa tujuan sejati perjalanan ziarah rohaninya adalah Cor Religionum yang dikemukakan Franckenberg: agama rohani yang tak memuja Roma, Wittennerg, ataupun Jenewa.

Memang kemudian perubahan terjadi. Menjelang usia tuanya, Scheffler makin yakin kepada Gereja Katolik, dan makin ia terlibat dalam polemik melawan kaum Lutheran. Ada fanatisme, ketajaman, dan sikap sengit dalam tulisan-tulisannya yang terakhir—dan puisi mati dari tangannya. Adakah ia berbahagia? Tubuhnya makin lemah, dan akhirnya, menjelang wafat, terbaring di tempat tidur ia merasa praktis ”ditinggalkan oleh semua harum-kembang dan pemenuh dahaga rohani”.

Ia memang sering menggunakan ”kembang” sebagai metafor. Ia mencintai mawar, katanya, karena bunga itu mekar, sendiri, tak peduli adakah yang melihatnya. Hidup memang ada dan tanpa mengapa: ”Die Ros’ ist ohn’ warum: sie blühet, weil sie blühet.” Mawar ada tanpa kenapa, ia mekar karena mekar.

Tak adakah alasan Tuhan? Sang mistikus akan menjawab: hanya Tuhan yang dibayangkan sebagai ”sosok” yang butuh alasan dan arah—dan dengan demikian seakan-akan ia yang ada-dalam-ruang. Tak mengherankan, Tuhan yang dibayangkan macam itu adalah Tuhan yang bisa terbatas di satu kubu.

Tapi bukankah Ia adalah Ia, Sang Ada yang menggugah, dari mana dunia memang nihil yang indah?

Goenawan Mohamad

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus