Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Eko B. Supriyanto
BANK Indonesia seperti tak bosan-bosannya memberikan sinyal tentang konsolidasi perbankan. Sejak krisis perbankan 1998, hingga pada malam Bankers Dinner, 13 Januari 2005, sinyal konsolidasi perbankan terus diembuskan. Namun perbankan pun harus melaksanakan fungsi intermediasi. Pendeknya, bank-bank harus memberikan kredit (intermediasi) sekaligus melakukan konsolidasi.
Konsolidasi dan ekspansi jelas berbeda, tapi sering disejalankan dalam berbagai paket kebijakan BI. Misalnya, bank-bank harus memberikan kredit ke sektor riil, tapi di sisi lain pengurus bank harus berhati-hati dalam rangka konsolidasi, seperti untuk menjadi bank jangkar (anchor bank) atau memenuhi target dalam Arsitektur Perbankan Indonesia (API).
Sejak kriteria bank jangkar diumumkan pada Juni 2005, isu tentang bank jangkar pun bak ditelan bumi. Bank-bank sibuk dengan urusan suku bunga dan masalah kredit macet. Apalagi, menurut data Biro Riset InfoBank, kinerja keuangan perbankan pada 2005 lalu mengalami penurunan dibanding tahun sebelumnya. Ada tendensi peningkatan non-performing loan (NPL) dan menipisnya margin atau rentabilitas bank, serta terjadi penurunan laba perbankan.
Nah, dalam situasi seperti itu, BI mengajak perbankan melakukan dua hal sekaligus, yaitu ekspansi dan konsolidasi. Kebijakan BI jangka pendek diarahkan untuk memberikan ruang gerak perbankan dalam menjalankan fungsi intermediasi. Untuk jangka menengah panjang, tujuannya memperkuat fondasi industri perbankan dengan fokus pada penjabaran dari API, salah satunya memperkuat permodalan.
Implikasi yang terjadi tak lain pada bank-bank yang belum memenuhi ketentuan modal minimum Rp 80 miliar. Menurut data Biro Riset InfoBank per September 2005, masih tersisa 40 bank, dan pada akhir 2005 diperkirakan ada 27 bank yang tereliminasi menjadi bank dalam kegiatan terbatas (BKT) dengan modal di bawah Rp 100 miliar. Sisanya lolos melanjutkan perjalanan menjadi bank umum dengan tiga kelas: bank kelas khusus, bank kelas nasional, dan bank kelas internasional.
Menurut ketentuan BI, bank yang tidak lolos permodalan Rp 80 miliar pada akhir 2007 akan mendapat sanksi yang relatif berat, seperti tidak bisa melakukan usaha bank devisa, pembatasan pemberian kredit, dan penutupan cabang di luar provinsi kantor bank. Ada empat skenario yang bisa jadi akan dilakukan oleh pemilik bank, yaitu memenuhi ketentuan modal minimum, melakukan merger atau diakuisisi oleh bank lain, dijual kepemilikannya, dan turun kelas menjadi bank dalam kegiatan terbatas.
Pertanyaannya, apakah bank-bank yang modalnya cekak itu akan banyak yang turun kelas. Menurut pengalaman, dalam sejarah perbankan nasional, pemilik bank akan menyelamatkan banknya, atau minimal akan menjual banknya ke pihak ketiga, khususnya pihak asing. Sikap ini merupakan ciri khas pemilik bank di Indonesia yang selalu menunggu tenggat dengan harapan—siapa tahu—kebijakan akan diubah oleh pejabat baru ketika jatuh waktu tiba.
Pilihan untuk menjual bank merupakan opsi yang lebih mungkin dibandingkan merger. Saat ini saja sudah ada empat bank yang dipinang oleh pemilik baru. Pertanyaannya, apakah konsolidasi perbankan yang selalu dikumandangkan oleh BI akan menemui sasaran memperkukuh permodalan. Satu sisi memang akan demikian, namun tidak akan mampu mengurangi jumlah bank secara besar-besaran seperti diinginkan oleh BI, karena kesulitan dalam pengawasan.
Langkah merger kemungkinannya sangat kecil, kecuali dalam satu kepemilikan. Merger bukan perkara mudah. Ada perbedaan visi dan konflik kepentingan serta gengsi pemilik. Belum tentu juga ada sinergi jika terjadi merger antara bank yang sangat besar dan bank kecil. BI harus berhati-hati karena dalam langkah merger bisa terjadi moral hazard dan fraud.
Konsolidasi perbankan akan menjadi mimpi indah BI. Sebab, kebijakan yang mendesak sekarang ini adalah menciptakan lingkungan dan mendorong perbankan melakukan fungsi intermediasi ke sektor riil. Karena itu pulalah kebijakan BI sering tidak direspons oleh perbankan, karena memang sering tidak market friendly. Deregulasi sektor riil juga harus dilakukan oleh pemerintah sebagai bentuk dukungan terhadap kebijakan BI.
Sepanjang tetap konsisten pada kebijakan konsolidasi, dan tidak sembarangan membunuh bank, kebijakan ini akan kredibel. Sebaliknya, bila perilaku kebijakan BI masih tetap tarik-ulur, kebijakan konsolidasi perbankan akan sekadar mimpi indah bank sentral. Lebih konyol lagi bila sebagian besar dari 27 bank memenuhi modal minimum Rp 100 miliar, jumlah bank akan tetap lebih dari 100. Sementara mengurangi jumlah bank merupakan rencana tersembunyi BI.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo