Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Buku

Senandika Perempuan Kehilangan

Novel pertama Goenawan Mohamad yang pada dasarnya adalah monolog yang disampaikan tokoh utama. Bentuk visualnya serupa puisi.

8 November 2018 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Monolog Surti dan Tiga Sawunggaling karya Goenawan Mohamad, di ruang Teater Salihara, Pasar Minggu, Jakarta, November 2010. -Dok.TEMPO/Dwianto Wibowo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

"GOENAWAN Mohamad, dalam usia 77, menulis novel pertamanya.” Demikian keterangan di halaman pengujung buku Surti + Tiga Sawunggaling: Sebuah Novel karya Goenawan Mohamad. Sebelum Surti + Tiga Sawunggaling (selanjutnya disebut Surti), masyarakat sastra Indonesia mengenal Goenawan terutama sebagai penyair. Sastrawan senior ini sebelumnya memang tidak diketahui pernah menghasilkan prosa fiksi seperti cerita pendek atau novel.

Bukan berarti Goenawan tidak akrab dengan urusan bercerita. Dalam esai-esainya sering terselip fragmen cerita. Goenawan menulis sejumlah lakon, yang tentu mengandung cerita. Motif ”cerita” merupakan satu unsur kuat yang memberikan kekhasan pada puisi-puisinya. Sesungguhnya tidak terlalu mengejutkan jika Goenawan akhirnya tergerak untuk bercerita secara lebih khusus dengan menulis prosa fiksi.

Berlatar kawasan pesisir utara Jawa pada masa revolusi kemerdekaan, Surti membentangkan dunia batin Surti, tokoh utama novel tersebut. Surti adalah seorang perempuan biasa yang gemetar bertahan didera kehilangan demi kehilangan di suatu kelokan sejarah yang gelap dan brutal. Mula-mula ia kehilangan putri kecil semata wayangnya yang mati hanyut di teluk. Kemudian ia kehilangan suami, komandan gerilya Republikan yang sering menghilang untuk ”mencari mimpi”--termasuk tidur di makam keramat dan berselingkuh dengan perempuan muda. Sang suami akhirnya tewas dibunuh tentara Belanda.

Barangkali, untuk menambal lubang besar dalam jiwanya akibat kehilangan itu, Surti tekun bercerita dan membatik. Ia tuturkan sepenggal kisah hidupnya yang tragis dan absurd di tengah suasana perang kemerdekaan yang tak kalah tragis dan absurd. Sebuah perang yang ”seperti sampar”, dengan kekejaman yang menjalar dan menular. Irasionalitas berkuasa, maut bersimaharajalela, tapi ”Tuhan, dunia, langit, tak apa-apa. Semua biasa.”

Novel Surti pada dasarnya memperdengarkan suara tunggal Surti. Beberapa tokoh lain memang tampak berbicara atau bercerita, tapi wicara atau kisah mereka dibingkai dalam kerangka penuturan Surti saja. Selain tokoh manusia, ada tokoh tiga burung sawunggaling yang bisa berbicara dan bercerita. Namun tiga makhluk ajaib itu pun adalah bagian dari Surti. Mereka sepenuhnya ciptaan Surti. Surti menggambar tiga sawunggaling pada kain mori yang dibatiknya. Setiap malam, tiga burung itu terbang keluar dari kain hingga menjelang matahari terbit.

Surti sejatinya merupakan monolog yang disampaikan oleh Surti. Novel ini memang dikembangkan dari naskah drama monolog karya Goenawan yang judulnya mirip, Surti dan Tiga Sawunggaling. Naskah tersebut ditulis pada 2008, dimuat dalam kumpulan lakon Tan Malaka dan Dua Lakon Lain (2009), dan telah dipentaskan. Hampir seluruh isi teks monolog itu ditransfer ke Surti, nyaris kata demi kata. Tidak ada perubahan strategi naratif. Tidak begitu banyak materi tambahan. Selain memperjelas acuan geografis, Goenawan menambahkan beberapa tokoh datar dan percabangan pada alur cerita yang pada dasarnya sama dengan yang dikisahkan dalam monolog.

Novel ini tampak menghindari pengertian konvensional novel sebagaimana yang tercantum dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, yaitu ”karangan prosa yang panjang mengandung rangkaian cerita kehidupan seseorang dengan orang di sekelilingnya dengan menonjolkan watak dan sifat setiap pelaku”. Hampir identik dengan monolog, novel Surti tidak mengembangkan perwatakan dan analisis yang mendalam pada tokoh-tokohnya. Novel ini hemat dengan kata dan berpusat pada ”aku”, seperti puisi.

Bentuk visual novel ini pun serupa puisi. Kalimat sering ditulis dalam baris pendek yang bersambung pada baris di bawahnya, mengingatkan pada enjambemen, persambungan isi dua larik puisi yang berurutan. Paragraf tidak ditandai oleh baris pertama yang lazimnya ditulis menjorok ke dalam, tapi oleh jarak spasi antarparagraf yang lebih besar, mirip bait puisi. Novel Surti seakan-akan tak ingin pembaca lupa bahwa penulisnya bukan novelis, melainkan penyair.

ARIF BAGUS PRASETYO, KRITIKUS SASTRA

 


 

SURTI + TIGA SAWUNGGALING: SEBUAH NOVEL

Penulis: Goenawan Mohamad

Penerbit: Gramedia Pustaka Utama, 2018

Tebal: 108 halaman

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus