Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Tiga Monolog Christine Brückner

Tiga aktor perempuan Bandung mementaskan monolog karya Christine Brückner. Dramawan perempuan Jerman yang naskahnya baru diterjemahkan di sini.

8 November 2018 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Monolog Suara-suara yang Tak Terlahir, Maria, dan Desdemona karya Christine Brückner di GoetheHaus, Jakarta, Kamis, 8 November. -TEMPO/Subekti

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

RINRIN Candraresmi membungkus tubuhnya dengan semacam selaput transparan di panggung GoetheHaus Jakarta, Kamis pekan lalu. Ia tengkurap, menggeliat, memberontak. Tubuhnya seolah-olah hendak merobek atau membedil, tapi tak sanggup. Selaput itu seakan-akan lengket, alot, dan tak tembus. Rinrin memerankan janin.

Monolog karya Christine Brückner berjudul Perjalanan ke Utrecht: Suara-suara yang Tak Terlahir berkisah mengenai janin atau embrio bayi dalam kandungan yang tak mau digugurkan. Unik. Janin itu bercerita tentang bakal calon ibunya yang mahasiswi sejarah seni di Utrecht, Belanda. Si janin mengatakan bahwa ia tercipta dari hasil persanggamaan sang ibu dengan seorang sahabatnya dalam sebuah tamasya di Italia. Set sederhana. Hanya bentangan vertikal kain putih berpola laksana tripang dan sebuah level. Di set yang sama juga dipentaskan dua monolog lain: Doa Maria di Gurun Yehuda dan Seandainya Kau Bicara, Desdemona.

Christine Brückner lahir di Schmilling-hausen, Hessen, pada 1921 dan meninggal di Kassel, Jerman, pada 1996. Ia disebut sebagai salah satu pengarang Jerman pada 1950-an yang sukses dan karyanya terjual jutaan kopi. Brückner juga diperhitungkan sebagai penulis naskah teater. Namun namanya hampir tak dikenal di sini. Monolog-monolog Brückner ini diterjemahkan oleh Dian Ekawati, Ketua Program Studi Sastra Jerman Universitas Padjadjaran, Bandung. Brückner menafsirkan ulang sejumlah tokoh perempuan yang terkenal dalam sastra ataupun sejarah. Dari Clytamnestra, istri Agamemnon dalam mitologi Yunani; sampai Eva Braun, istri pemimpin Nazi, Adolf Hitler.

Naskah-naskah Brückner senantiasa menyajikan perspektif yang lain dari para perempuan itu. Janin tersebut, misalnya, berharap bila ia hidup akan bernama Franzisca. Dalam kandungan, sang bayi mengandaikan ia kelak akan menjadi pelukis hebat. Sejak taman kanak-kanak pasti lukisannya banyak digantung di dinding dan lorong sekolah. Janin itu mengingatkan ibunya akan risiko pengguguran. Di Amerika Serikat, demikian janin itu mengeluh, ditemukan ribuan fetus yang disimpan dalam kontainer dan orang bingung menguburkannya secara Kristen atau tidak.

Di ruang tunggu dokter kandungan yang dengan sadar kau kunjungi dua kali dalam setahun, aku muncul lagi. Gambar-gambar di dinding membangkitkan lagi perhatianmu. Kau mengamati dari potret besar berwarna, kau hanya melihat bulatan telur yang indah dalam warna yang terang. Barulah kau mengenali bahwa itu aku yang sedang berenang di dalam cairan.”

Pada Doa Maria di Gurun Yehuda persoalan lebih subtil lagi. Maria yang mengandung Yesus memprotes kepada Tuhan karena Tuhan terlalu cepat mengambil Yesus sebagai anak-Nya. Sebagai ibu yang melahirkan Yesus, Maria merasa ditinggalkan oleh Yesus.

Dilakonkan oleh Ria Ellysa Mifelsa, sosok Maria menggunakan kudung seperti seorang biarawati. Suara musik techno bernada pastoral mengawali pertunjukan. Solilokui Maria mengekspresikan keterombang-ambingan ”memperebutkan” Yesus sebagai anak Allah dan anaknya. ”Dia tidak menyebutku ibu. Sejak dulu aku sudah berhenti berpikir bahwa dia anakku. Aku mengingatnya sebagai anakku, bukan sebagai anak-Mu, Tuhan.... Tapi dia tidak bicara seperti layaknya seorang anak bicara pada ibunya. Sejak saat itu aku diam, tetapi aku menyimpan kata-katanya....

-TEMPO/Subekti

Yang terakhir soal Desdemona. Dimainkan oleh Heliana Sinaga, Desdemona dalam kisah Shakespeare kita tahu adalah kekasih Othello. Desdemona dianggap Othello melakukan perselingkuhan seksual. Brückner mengambil momen seperempat jam terakhir hidup Desdemona di peraduan Othello—sebelum akhirnya ia dibunuh Othello. Tak ada adegan Desdemona menggeliat sensual di atas peraduan. Pengadegan lebih ditonjolkan pada ekspresi kekhawatiran Desdemona. Rambut Heliana yang ikal diurai panjang untuk menghidupkan sosok Desdemona yang merasa akan mati.

Sekarang aku tak punya lagi sapu tangan untuk menghapus air mataku, pin-jamilah aku sapu tanganmu, seperti yang sering kau lakukan. Kau tak punya sapu tangan di mantelmu? Bagaimana bisa, Othello? Bukankah aku sudah menjahitkan beberapa sapu tangan untukmu dan menyulamnya dengan indah?”

Yang jadi soal, ketiga monolog itu terkesan bersuasana seragam. Karakter-karakter yang berbeda antara janin, Maria, dan Desdemona tidak sepenuhnya bisa diwujudkan oleh tiga aktor perempuan Bandung itu. Situasi dan atmosfer yang dihadapi ketiga karakter itu seolah-olah senada. Malah ketiganya tampak kait-mengait.

Betapapun demikian, tontonan ini berharga. Kita mengalami krisis naskah terjemahan. Untuk naskah Jerman sering berhenti hanya pada naskah klasik, seperti karya Goethe atau Bertolt Brecht. Monolog pendek Christine Brückner yang sudah diterjemahkan Dian Ekawati jumlahnya belasan. Judul-judulnya menarik, seperti Oktaf Lebih Rendah, Bahagiakah Kau Sekarang Agamemnon, Aku Si Gendut Belahan Jiwa Goethe, dan Banalitas Kejahatan Eva Hitler. Semuanya mengambil sudut pandang tokoh perempuan dari sisi yang tak terduga.

SENO JOKO SUYONO

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Seno Joko Suyono

Seno Joko Suyono

Menulis artikel kebudayaan dan seni di majalah Tempo. Pernah kuliah di Fakultas Filsafat Universitas Gadjah Mada. Pada 2011 mendirikan Borobudur Writers and Cultural Festival (BWCF) dan menjadi kuratornya sampai sekarang. Pengarang novel Tak Ada Santo di Sirkus (2010) dan Kuil di Dasar Laut (2014) serta penulis buku Tubuh yang Rasis (2002) yang menelaah pemikiran Michel Foucault terhadap pembentukan diri kelas menengah Eropa.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus