Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Judul : Pendidikan Seni: Isu dan Paradigma
Penulis : Prof. Dr. Tjetjep Rohendi Rohidi, MA
Penerbit: Cipta Prima Nusantara
Cetak I : Mei, 2016
Tebal : xvi + 256 hlm; 14,8 x 21 cm
Imajinasi adalah jembatan bagi manusia untuk melampaui realitas yang beku, untuk kemudian mencipta dan mengembangkan kehidupan yang lebih membahagiakan. Tidak sekadar kebahagiaan material, lebih dari itu, kebahagiaan kultural. Albert Einstein pun jauh-jauh hari sudah menyatakan imajinasi lebih berharga daripada logika pengetahuan.
Imajinasi dikandung oleh seni. Seni menyediakan ruang bagi manusia untuk aktif terlibat dalam proses, pengalaman, dan pengembangan kreativitas. Berbagai kajian telah menunjukkan, perkenalan manusia dengan seni akan menumbuhkembangkan individu menjadi manusia yang kreatif, penuh inisiatif, imajinatif, kebijakan emosi, bermoral, otonom, serta memiliki kebebasan berpikir dan bertindak.
Sayang, pendidikan seni di Indonesia masih dimarginalkan. Seni dianggap sesuatu yang tidak pokok, tidak penting. Dalam lembaga pendidikan formal, seni kalah bersaing dengan mata pelajaran matematika, ekonomi, maupun ilmiah. Fenomena ini mengetuk Tjetjep Rohendi Rohidi untuk bergerak menyelamatkan seni melalui buku Pendidikan Seni: Isu dan Paradigma.
Secara runut, Tjetjep membumikan seni melalui uraian konsep dasar dan implementasi pendidikan seni. Di awal, mata pembaca dipertemukan dengan pentingnya seni bagi sebuah bangsa. Jembatan ini dibangun guna menyadarkan pembaca awam tentang pentingnya pendidikan seni di tengah geliat nalar teknologis yang memuja perhitungan dan keilmiahan. "Namun ironisnya, pada saat yang sama kini seni menjadi kata kunci penentu di segala bidang. Perenungan di wilayah filsafat ilmu kini makin melihat bahwa imajinasi kreatif, intuisi, dan emosi-unsur-unsur pokok dalam seni-sesungguhnya, sangatlah menentukan dalam penelitian ilmiah" (hlm. 4).
Tjetjep mengkritik arah pendidikan seni yang kian dipinggirkan. Letak pendidikan dalam kurikulum pendidikan formal digugat. Arah pembangunan bersifat developmentalis-teknokratis terbukti gagal membangun karakter manusia. Pembangunan dipolakan dan diseragamkan dari atas sekadar berfokus pada pembangunan fisik. Itu pun hanya di kota-kota besar. Sektor pendidikan yang mengedepankan upaya sistemik pembangunan manusia sekadar olah fisik dan logika, tapi tanpa rasa, kreativitas, dan kepedulian. Menumbuhkan rasa ketidakadilan, tapi memandulkan kemampuan apresiasi dan empati antarbudaya.
Gejala mengagung-agungkan orientasi rasionalistik yang berlebihan ini tampak pada dibuangnya kata "seni" dari ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni (ipteks) menjadi iptek. Dalam aspek kebijakan, substansi isi, waktu, sumber daya, dan penyediaan saran untuk bidang pendidikan humaniora, khususnya dalam pendidikan seni, kurikulum nasional telah kehilangan wajah emansipatorinya. "Kurikulum menjadi sebuah penegasan pendekatan kognitif yang tidak "bercita rasa" (hlm. 78).
Dominasi pemikiran dan konsep seni dari luar sering kali tidak sejalan dengan jati diri Indonesia. Tjetjep menawarkan seni Nusantara sebagai alternatif dalam pembangunan peradaban bangsa. Tidak sekadar mendidik generasi siap menjadi pemain global, namun tetap berpegang teguh pada kearifan lokal dan jati diri bangsa.
Nusantara sebagai sebuah entitas yang dihuni oleh masyarakat yang beraneka ragam dapat hidup damai dengan prinsip saling menghormati dan memahami perbedaan yang ada. Kesadaran peradaban itu mewujud dalam pola pikir dan laku hidup yang menjunjung tinggi multikulturalisme. "Seni Nusantara merupakan zamrud mutu manikamnya seni dalam rentangan khatulistiwa kesepahaman dan kebersamaan yang berasaskan kesadaran budaya" (hlm. 136).
Paradigma seni berkonteks Nusantara yang ditawarkan oleh Tjetjep cukup relevan dengan kondisi masyarakat kini. Di tengah banjirnya isu yang memecah-belah masyarakat, seni menjadi jalan merekonstruksi nilai kebinekaan yang mulai luntur. Seni tak sekadar komoditas ekonomi. Lebih daripada itu, seni adalah air jernih yang membasuh dahaga jiwa manusia. Kurangnya konsumsi seni akan membuat imajinasi dan hidup menjadi kering. Seni yang dikonsumsi akan mengakar dalam pola pikir, cara pandang, dan laku hidup diri manusia. Kita masih mengharapkan peradaban masyarakat Indonesia menjadi lebih baik. Di sini, gagasan Tjetjep tentang paradigma seni berkonteks Nusantara layak untuk dikonsumsi.M. IRKHAM ABDUSSALAM (Aktif di Lembaga Etnolib Culture Studies)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo