Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Seni grafis dengan loncatan

Pameran seni grafis kontemporer jepang '92 di gedung purnabudaya, yogyakarta, menampilkan 91 karya grafis yang berbeda dengan pakem seni grafis di indonesia. merangkum aneka media dan desain grafis.

16 Januari 1993 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

RUANG pameran gedung Purnabudaya, Yogyakarta tiba-tiba menjadi ajang ekspresi keheranan. Sebagian besar seniman yang menghadiri pembukaan Pameran Seni Grafis Kontemporer Jepang '92, Selasa malam pekan lalu, kaget Betapa tidak, pameran yang dibuka Sri Sultan Hamengku Buwono X itu menampilkan 91 karya grafis yang samasekali berbeda dari pakem seni grafis yang dikenal di Indonesia. ''Saya dari rumah sudah membayangkan akan melihat seni grafis dengan teknik cetak canggih, tapi yang saya lihat ternyata lain samasekali,'' ujar Suwarno, pegrafis Yogya yang juga dosen seni grafis Institut Seni Indonesia. Pegrafis Yogya lainnya, Hary Wibowo, berpendapat bahwa pameran itu telah menjungkirbalikkan pemahaman orang tentang seni grafis. ''Ini suatu keberanian menggunakan label seni grafis untuk karya yang sudah keluar dari teknik seni grafis,'' katanya kepada R. Fadjri dari TEMPO. Seorang mahasiswa seni rupa bingung melihat karya grafis dengan teknik melukis cat akrilik di atas kertas. Kebingungannya menjadi-jadi ketika melihat karya yang menggunakan bahan kayu, paku, dan logam bekas. Ia berkomentar, ''Mengapa karya seperti ini disebut seni grafis?'' Rasa terkejut para pegrafis itu menandakan perbedaan citra yang sangat jauh antara seni grafis di Indonesia dan seni grafis di Jepang. Di Indonesia, seni grafis senantiasa dikaitkan dengan teknik ''cetak seni'', seperti etsa, litografi, cetak saring, dry point, atau aquatint. Maka, telah terpaku kesimpulan: karya yang tidak memperlihatkan jejak teknik cetak ini bukan karya grafis. Pameran Seni Grafis Kontemporer Jepang '92 itu menunjukkan perkembangan mutakhir seni grafis dunia yang tidak lagi mengenal batas. Dalam pameran itu terlihat, misalnya, bentuk perkembangan yang paling lanjut, yaitu grafis instalasi (karya ruang dengan elemen tersebar). Di Indonesia kecenderungan ini belum umum. Hanya beberapa pegrafis yang mencoba kemungkinan ini. Di antaranya Setiawan Sabana, Sunaryo (yang juga pematung), dan Teguh Ostenrik (yang juga pelukis). Penilaian terhadap seni grafis dengan sendirinya ikut berubah. Menurut Atsushi Kanai dari Pusat Kebudayaan Jepang -- yang memprakasai pameran grafis Jepang itu -- karya yang dipamerkan mencerminkan penilaian Japan Art & Culture Association (JACA). Karya-karya ini merupakan karya terbaik, hasil seleksi dari 3.000 karya grafis Jepang pilihan tahun 1992. ''Dan sudah menjadi tradisi, karya grafis terbaik ini dikelilingkan ke berbagai negara di dunia,'' kata Kanai kepada Asikin dari TEMPO ketika pameran berlangsung di Bandung. Di Indonesia, pameran grafis Jepang itu berkeliling ke tiga kota. Sebelum disajikan di Yogya, karya-karya ini dipamerkan di Bandung akhir Desember tahun lalu. Di Jakarta pameran akan berlangsung akhir Januari mendatang. Dari 91 karya yang dipamerkan, hanya 21 yang memperlihatkan jejak-jejak konvensional seni grafis. Selebihnya, sebanyak 70 karya, menjelajahi berbagai media ekspresi: grafis komputer, kolase, fotografi, media campuran, gambar, dan media tiga dimensi. Karya-karya grafis itu tidak hanya menyeberang ke media- media seni rupa lain, tapi juga mencampurkannya. Teknik melukis dengan akrilik dicampur dengan kolase (tempelan guntingan kertas) kain dan plastik. Karya-karya Aogu Kinoshita yang diberi judul 163 Tahun dan 169 Tahun menampilkan grafis komputer yang dicampur dengan fotokopi dan efek fotografi. Karya-karya yang mendapat medali perunggu JACA ini hampir hitam putih. Sapuan cat akrilik pada karya ini membangkitkan efek kabut. Permainan proporsi bentuk-bentuknya membangun bayangan: sosok manusia yang terlempar dari ketinggian. Grafis komputer dan efek fotografi secara cerdik diolah untuk menyugestikan pemandangan gedung-gedung tinggi. Perkembangan seni grafis semacam itu sebuah loncatan yang masuk akal. Seni grafis selama ini dikenal sebagai media yang sangat mengikat. Ruang gerak ekspresinya bahkan lebih sempit dari seni lukis, tradisi seni yang juga sudah sangat tua. Peluang yang terbuka hanya pengembangan keterampilan teknik-teknik tertentu. Hingga kini memang masih diperdebatkan, benarkah ikatan-ikatan media pengungkapan dalam seni rupa kontemporer membatasi daya ekspresi perupanya. Pameran grafis Jepang itu paling tidak me- nunjukkan jawaban, lepasnya seni grafis dari ketentuan- ketentuan mampu mengintensifkan ungkapan para pegrafisnya. Dilema pengamatan yang kemudian timbul: masih bisakah karya- karya itu disebut karya grafis? Dalam pameran grafis Jepang itu, terlihat bahwa ciri-ciri grafis dan persepsi pegrafis ternyata tetap terlihat pada karya-karya yang sudah keluar jauh dari pakem. Ciri seni grafis yang tampil dalam pameran seni grafis kontemporer Jepang itu adalah masih kuatnya kecenderungan meng- olah tema. Ciri ini, selain mendominasi perkembangan seni grafis, juga menunjukkan pengaruh cabang seni grafis lainnya: desain grafis. Pada masa kini, pengolahan tema dalam desain grafis (khususnya ilustrasi) telah bergeser sangat jauh ke arah ekspresi bebas yang individualistik. Banyak di antaranya yang tidak lagi bisa dibedakan dari karya seni grafis (murni). Karya Rio Miyamoto berjudul Ambisius memperlihatkan kecenderungan tematik itu. Karya ini mengetengahkan citra lingkungan pabrik sepi. Tercermin pada gambaran cerobong asap, tangki-tangki dalam ukuran besar. Dengan manipulasi perspektif, gambaran itu lalu menjadi simbol era industri. Di antara atribut kemajuan itu, muncul gambaran sosok manusia yang tidak lengkap. Hanya bagian kepalanya. Sorotan mata pada kepala ini yang mengarah ke pelihat memancarkan kekosongan dan kecemasan. Lalu ada seekor burung hitam terbangdi langit berwarna hitam, biru tua, dan kuning. Karya ini juga mendapat medali perunggu JACA. Kecenderungan tematik juga terlihat pada karya asamblase berjudul Hati yang Berkarat (Sepotong Diriku). Karya Hiroshi Ishihara ini sudah lepas dari kaidah dua dimensi seni grafis. Diolah dengan memanipulasi potongan-potongan besi berbagai bentuk dan ukuran. Potongan besi yang berkarat ini disambung-sambung menjadi satu dan diberi bingkai seperti lukisan. Bagian yang pecah berat dililit dengan pembalut luka. Di sini ada bercak merah (darah) yang bercampur dengan karat besi yang berwarna kecokelatan. Pengaruh desain grafis tampak pada karya-karya Kazunori Sadahiro yang yang mendapat penghargaan utama JACA. Tiga karya yang berhubungan ini masing-masing berjudul PW.5514.TX.40 (PW.5214.TX.40), 36300,F.50.2 (36300.F.50.2), 78.A.100.BZ.41 (78.A.100.BZ.41), 600.E.AM.985 (600.E.AM.985). Sekilas karya- karya ini menyerupai iklan pakaian dalam wanita. Idiom desain grafis pada karya Sadahiro tidak berfungsi sebagai media informasi, tapi membangun semacam parodi yang mempertanyakan harkat manusia. Pegrafis ini tampak mengadu citra sensual wanita dengan persepsi serba terukur. Karya-karyanya menampilkan gambar bagian tubuh wanita: torso-torso yang dilihat dari posisi depan, samping, dan dua pertiga samping. Di sekujur gambar torso ini terpampang simbol dan tanda-tanda ukuran. Produk desain grafis seperti rancangan huruf, simbol, tanda, kemasan adalah kenyataan sehari-hari yang memperkaya bahasa pengungkapan para pegrafis Jepang. Karya Kenichirou Hara berjudul Flower Mega Mix memperlihatkan dengan nyata masuknya idiom desain grafis itu ke dalam karya grafis dengan ekspresi bebas. Karya ini diolah dengan media campuran. Wujudnya, papan yang di sisi kiri dan kanannya digambari bunga dengan pola sangat simetris. Pada bagian atas dan bawah bidang gambar yang berwarna biru, terdapat lingkaran hitam dengan simbol panah penunjuk. Mengarah ke atas dan ke bawah, menunjuk simbol tulisan ''stereo''. Pada pusat bidang gambar dipancangkan grendel pintu sungguhan yang diapit bidang persegi empat dan gambar bola dunia. Di sini ada simbol tulisan ''super stereo''. Dua karya Makoto Sugimoto, yang mendapat medali emas JACA, juga kaya dengan idiom desain grafis. Karya yang berjudul Asas Transmisi dan Asas Kelahiran ini mempersoalkan pula dehumanisasi abad industri dan teknologi. Bagian utama Asas Transmisi sebuah elips berwarna merah. Di sekitarnya terdapat sejumlah gambar teknik yang menjelaskan kedudukan elips itu. Lalu di atas elips ini (yang terlihat pula sebagai bidang bundar tiga dimensional) digambarkan tiga sosok manusia berwarna biru berusaha memancangkan tiang-tiang berwarna biru pula. Tiang-tiang ini dihubungkan garis-garis halus menyerupai kabel listrik. Senada dengan Asas Transmisi, karya Sugimoto berjudul Asas Kelahiran memperlihatkan sebuah bangunan putih dengan latar belakang merah. Di dalam bangunan ini terlihat sosok manusia mengambang di antara peti (mati ?) dan payung. Pameran seni grafis kontemporer Jepang itu mengisyaratkan, seni grafis sudah berubah. Karena itu, pegrafis Setiawan Sabana ber- pendapat, sudah waktunya pula seni grafis di Indonesia mengkaji citra yang sarat dengan ketentuan mengikat. Bukan sekadar mau ikut-ikutan berkembang, tapi, ''Ide-ide di masa kini memang tidak bisa terikat pada medium dan gaya tertentu,'' kata Sabana. Jim Supangkat, Biro Bandung, dan Biro Yogya

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus