GURUH tampil. Bukan di atas pentas musik atau tari yang serba gebyar-gebyar. Atau bukan di panggung kampanye dengan pidato berapi-api. Kini putra bungsu Proklamator Bung Karno itu membuat pentas baru: mencalonkan diri sebagai presiden. Ada yang mencibir karena Guruh yang lebih dikenal sebagai seniman itu dianggap belum mempunyai wawasan politik yang cukup untuk memimpin bangsa. Apalagi anggota DPR dari PDI itu dianggap masih ''hijau'' di panggung politik. Ia resmi masuk PDI tahun 1991 dan dilantik menjadi anggota DPR Oktober lalu. Belum lagi dukungan yang bakal di peroleh. Sebab empat fraksi di DPR sudah pasti mencalonkan Pak Harto sebagai calon presiden dalam Sidang Umum MPR nanti. PDI, yang awal pekan ini mengadakan rapat pimpinan partai, juga tinggal membuka nama calon presidennya yang sudah lama disiapkan. Orang pun sudah bisa menebak -- walau rapat di Kopo, Bogor, itu sempat diwarnai unjuk rasa massa yang menuntut diakhirnya kebiasaan calon tunggal -- bahwa nama calon itu tak lain Soeharto. Tapi ada pula yang berdecak. Ternyata justru Guruh yang cuma dikenal sebagai seniman, masih ''hijau'' dalam politik, dan suka bergaya bicara manis itu -- walau kalau pidato bisa berapi-api seperti almarhum ayahnya, Bung Karno -- yang berani mencalonkan diri sebagai presiden. Guruh-lah orang pertama yang berani secara resmi mencalonkan diri lewat jalur resmi, Fraksi PDI di MPR. Sebagian besar orang memang tak terlalu menyoalkan tampilnya Guruh sebagai calon presiden. Sebab empat fraksi di MPR sudah mencalonkan Pak Harto sebagai calon tunggal. Artinya, kans Guruh untuk menang, atau sekadar dicalonkan pun, tampaknya tipis. Namun Guruh-lah yang oleh sementara pengamat politik dianggap, paling tidak, telah berani mencairkan kebekuan politik Indonesia. Guruh yang masih muda dan dicibirkan itu berani tampil ke pentas, mewujudkan idenya, mengakhiri kebiasaan calon tunggal. Dalam konteks ini pencalonan Guruh kiranya bukan sekadar ''plesedan'' atau banyolan politik. Ia dianggap telah merintis jalan baru, agar orang tak ewuh pakewuh lagi naik pentas seperti Guruh. Pentas politik baru yang digelar Guruh inilah yang menjadi benang merah keseluruhan Laporan Utama ini. Dalam bagian pertama juga ditampilkan betapa repotnya PDI -- yang menerima surat pencalonan Guruh -- untuk memilih calon presiden. Bahkan PDI boleh dibilang menghadapi dilema antara menyelamatkan partai dari perpecahan dan janji-janjinya untuk perubahan kepada pendukungnya, siapa pun yang dicalonkan jadi presiden. Nah, untuk menunjukkan betapa sulitnya PDI menjawab persoalan itu tergambar dalam box. Tak seperti partai lain, PDI secara terbuka dan formal menampung usulan calon dari bawah. Cabang-cabang di tingkat kabupaten mengusulkan sejumlah nama ke pimpinan daerah tingkat provinsi. Yang disebut terakhir ini kemudian membawa calonnya ke rapat pimpinan partai pekan ini. Tentu nama calon yang dimunculkan PDI ke Sidang Umum MPR nanti adalah keputusan rapat pimpinan itu. Dan nama Guruh bisa jadi akan muncul dari usulan sejumlah daerah. Tentu ada yang setuju, dan ada yang menolak. Namun, siapa sebenarnya Guruh yang berani mencalonkan diri jadi presiden itu? Anda bisa membaca di bagian kedua. Anak bungsu Bung Karno -- belum terpikir kapan menikah, pimpinan perusahaan show biz PT GSP (Gencar Semarak Perkasa) itu -- menjawab semua pertanyaan lewat wawancara. Dari soal rumah dan kehidupannya yang sederhana sampai pentas seninya yang suka glamour. Dari soal pencalonan jadi presiden sampai mengapa memilih PDI sebagai tempatnya berpolitik. Dan PDI sendiri, yang dijadikan Guruh sebagai wadah untuk main politik seperti disebut di atas, menghadapi posisi yang serba sulit. Di tubuhnya ada beberapa kelompok yang menginginkan calonnya tetap Pak Harto. Tapi ada pula kelompok yang ingin agar ada calon lain. Namun, beranikah PDI menampilkan ''calon lain'' itu? Hal serupa bisa jadi ada pula di kekuatan sosial politik yang lain. Cuma di PDI, seperti diungkap di bagian terakhir Laporan Utama, hal itu lebih transparan. Setidaknya dalam fenomena Guruh. A. Margana
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini