Dalam sebuah wawncara dengan TEMPO berjudul :konstituante dan Putusan Sah'' (TEMPO, 12 Desember 1992, Nasional) Dr. Adnan Buyung Nasution mengatakan, ''Secara serempak mereka (yaitu partaipartai) menolak kembali ke UUD 45. Sampai tiga kali diajukan dan tiga kali ditolak.'' Istilah ''ditolak'' dapat menimbulkan salah paham dan perlu dijelaskan lebih lanjut. Dalam tiga kali voting itu, mayoritas anggota Konstituante sebenarnya menyetujui usul Pemerintah Djuanda untuk kembali ke UUD 45. Tapi suara mayoritas ini tidak cukup untuk mencapai jumlah suara 2/3 yang diperlukan menurut ketentuan yang berlaku. Mari kita baca disertasi Pak Buyung, halaman 397, mengenai proses voting ini. Hasil voting pertama adalah 269 setuju, 199 tak setuju (yang diperlukan 316 setuju) voting kedua 264 setuju, (dalam disertasi disebut 246, mungkin itu salah cetak), 204 tak setuju (yang diperlukan 312 setuju) voting ketiga 263 setuju, 203 tak setuju (yang diperlukan 312 setuju). Dari angka di atas, jelaslah bahwa usul pemerintah telah diterima dengan mayoritas yang cukup besar. Tapi, secara yuridis, tidak dapat diterima sebagai keputusan Konstituante, karena tidak memenuhi syarat qualified majority rule (2/3 suara). Di samping itu, masih ada istilah lain seperti absolute majority rule (suara terbanyak), dan simple majority rule (50% + 1). Ketiga voting yang dihasilkan Konstituante menunjukkan bahwa usul pemerintah telah memenuhi syarat absolute majority rule dan simple majority rule, tetapi belum memenuhi syarat qualified majority rule. Mengingat bahwa mayoritas anggota yang setuju cukup besar, juga untuk mengatasi ideadlockr dalam Konstituante yang selama hampir tiga tahun bersidang tidak berhasil mencapai konsensus mengenai dasar negara, keluarlah Dekrit Presiden 5 Juli 1959 kembali ke UUD 45. Yang juga kurang diketahui oleh masyarakat, tindakan kembali ke UUD 45 diterima secara aklamasi oleh DPR pada tanggal 22 Juli. Memang dapat dikatakan bahwa DPR tidak ada urusan dengan menyusun UUD baru, tapi kita jangan lupa bahwa dengan tiadanya Konstituante dan belum adanya MPR, DPR marupakan badan legislatif yang tertinggi pada waktu itu, sehingga keputusan seperti itu mengandung makna politis yang berbobot. Lagi pula, DPR (seperti juga Konstituante) terdiri dari wakilwakil rakyat yang telah dipilih dalam pemilihan umum (1955) yang paling demokratis yang pernah diselenggarakan di Indonesia. Juga perlu diperhatikan bahwa partai-partai dalam Konstituante yang tidak menyetujui usul untuk kembali ke UUD 45, dalam sidang DPR menyetujui keputusan itu. Dengan demikian, menurut saya, pada masa itu mayoritas idecision makerr yang dipilih oleh rakyat secara demokratis telah menyatakan persetujuannya untuk kembali ke UUD 45. Hal di atas saya sampaikan agar generasi muda lebih mengerti keadaan sekitar Konstituante. MIRIAM BUDIARDJO Jalan Proklamasi 37 Jakarta 10320
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini