TEMA yang diangkat oleh Dr. Soedradjad Djiwandono dalam buku ini, yang juga menjadi judulnya, Perdagangan dan Pembangunan, Anda percaya atau tidak, adalah setua ilmu ekonomi itu sendiri. Ingat saja teori ekonomi Adam Smith tentang pasar bebas yang merupakan antitesis terhadap Mazhab Merkantilisme yang menganggap surplus neraca perdagangan sebagai kunci kemakmuran suatu bangsa. Itulah asal-usul dan ide dasar kebijaksanaan proteksionisme. Ilmu ekonomi lahir karena ''penemuan'' gejala pasar. Paham liberalisme ekonomi menganjurkan kebebasan produksi (lassez faire) dan kebebasan perdagangan (lassiez passer), sehingga seluruh kegiatan ekonomi berjalan secara alamiah, tanpa campur tangan negara (laissez aller). David Ricardo, salah seorang penganjur utama Mazhab Klasik, mengemukakan argumennya dalam teori keunggulan komparatif (comparative advantage). Jika setiap bangsa memproduksi sesuai dengan keunggulan komparatifnya, seluruh bangsa yang (terlibat perdagangan) internasional akan meningkat kemakmurannya. Artinya, perdagangan internasional merupakan sumber dinamika pertumbuhan ekonomi suatu bangsa. Pandangan di atas mempunyai dasar historis-empiris. Perkembangan ekonomi semua negara Eropa Barat sebenarnya didorong oleh perdagangan internasional. Selamatnya sistem kapitalis dari ramalan Marx adalah karena negara-negara itu mampu memperluas ruang hidupnya dalam perdagangan internasional. Sebaliknya, keruntuhan sosialisme adalah karena mengabaikan peranan pertukaran dan tak memanfaatkan pasar dunia. NIC's juga lahir dari suatu pembangunan ekonomi yang berorientasi pada ekspor. Pertanyaannya, mengapa tak semua negara setuju pada pandangan perdagangan bebas? Bahkan, mengapa dewasa ini justru timbul proteksionisme di antara negara maju yang menganut sistem pasar bebas itu? Buku Soedradjat Djiwandono -- kini Menteri Muda Perdagangan -- banyak berisikan informasi, tentu juga menyiratkan pandangan resmi maupun posisi nyata Indonesia, bahwa kecenderungan utama dewasa ini -- termasuk di negara-negara berkembang -- adalah ingin memanfaatkan pasar global bagi pertumbuhan ekonominya. Era ''pesimisme ekspor'', yang juga pernah mewarnai kebijaksanaan pembangunan Indonesia, sudah berakhir. Tapi apakah ini telah menimbulkan ''optimisme ekspor''? NIC's memang telah meraih sukses karena mampu memanfaatkan pasar global. Tapi hal itu terjadi di masa lalu, ketika hanya sedikit negara Dunia Ketiga yang masuk pasar produk industri di negara maju. Artinya, banyak negara berkembang lainnya yang sudah ''terlambat''. Dan di antara negara yang ingin masuk pasar itu ada perbedaan tingkat pertumbuhan, terutama industrinya. Sekarang perdagangan internasional telah banyak aturannya, baik yang sifatnya umum, seperti GATT, atau lebih khusus, seperti GSP yang ditujukan kepada negara-negara sedang berkembang untuk bisa memasuki pasaran dunia, atau GSTP antara negara-negara berkembang sendiri. GATT ternyata telah menimbulkan berbagai interpretasi. Tapi yang lebih mengganggu adalah tindakan sepihak negara-negara kuat, seperti AS. Di antara negara maju sekarang justru timbul ''perang dagang'' dan blok-blok perdagangan yang menimbulkan distorsi pasar dunia yang lebih bebas, dan kemacetan dalam berbagai perundingan, misalnya Putaran Uruguay. Sementara itu ada pula kemampuan yang berbeda di antara negara berkembang dalam me- manfaatkan GSP dan GSTP. Buku Sudradjat, selain langka dewasa ini di Indonesia, juga menyajikan informasi yang komprehensif dan cukup mutakhir tentang seluk-beluk perdagangan dunia dan kaitannya dengan strategi pembangunan di Indonesia, walaupun sangat banyak bersifat repetitif. Di awal tulisannya ia menyinggung soal perkembangan teori ekonomi, yang dewasa ini sulit dipakai untuk memahami gejala yang kompleks dan jauh berubah dari situasi ketika teori itu dirumuskan. Ia memang tak berpretensi melahirkan teori baru, atau membahas perkemba- ngan teori perdagangan internasional yang relevan. Buku ini juga tak banyak menganalisa berbagai masalah dari sudut pelaku ekonomi, yaitu dunia bisnis. Ia lebih banyak berbicara sebagai perumus dan pelaku kebijaksanaan pembangunan. Namun informasinya sangat ber- manfaat bagi dunia usaha yang kurang mengetahui seluk-beluk politik perdagangan internasional. Kebijaksanaan negara-negara maju yang berhubungan dengan prinsip perdagangan yang bebas dan fair, yang dikaitkan dengan hak-hak asasi manusia dan lingkungan hidup, misalnya, sering tak diketahui oleh dunia usaha atau kalangan pemerintah. Soal-soal seperti inilah yang kerap melatarbelakangi berbagai kebijaksanaan tarif, rintangan non- tarif, dumping, dan anti-dumping. Bahkan banyak yang tak tahu latar belakang yang lebih mendasar kemacetan Putaran Uruguay yang berakar dari situasi perekonomian negara industri. M. Dawam Raharjo
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini