Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Wayang jumbo setinggi 2 meter itu mengingatkan orang pada dalang nyentrik almarhum Slamet Gundono. Ia bersarung, mengenakan baju ketat berlengan panjang, berperut buncit. Lelaki itu meringis hingga membuat dua bola matanya menyipit. Tanpa alas kaki, dia berdiri kokoh di atas perahu yang lebarnya sampai 7 meter. Kendaraan air berhias lukisan ikan, naga, burung, dan putri duyung itu berkepala burak berkopiah dan ekor penuh sisik ikan.
Wayang dan perahu berjudul Perahuku, Samuderaku ini adalah ciptaan seniman Nasirun. Karya ini tampil dalam pameran seni rupa bertema "MATJA: Seni Wali-wali Nusantara". Pameran yang melibatkan 56 seniman ini—antara lain Ahmad Tohari, Lucia Hartini, Ivan Sagita, Agus Suwage, Stefan Buana, Arahmaiani, S. Teddy D., Bunga Jeruk, Jeihan, Tisna Sanjaya, dan Entang Wiharso—digelar di Jogja National Museum, 27-30 Juli 2015. Setidaknya terdapat 70 judul karya seni dalam pameran yang dihela oleh aktivis muda Nahdlatul Ulama Yogyakarta itu.
Nasirun tertarik memfigurkan Gundono dalam karyanya karena seniman itu, menurut dia, mewakili Islam Nusantara. Gundono memelihara tradisi Nusantara dalam praktek seni, tapi tak kaku. Seniman yang meninggal pada 5 Januari 2014 itu, menurut Nasirun, menafsirkan Islam secara lentur. Itu muncul pada kidung yang diciptakan Gundono: maca maning (membaca lagi). Gundono tak menelan mentah-mentah Iqro menurut teks kitab suci Al-Quran. Membaca atau matja dalam bahasa pesisiran dalam tafsir Gundono adalah membaca Nusantara, keberagaman, dan alam.
Spiritualitas juga muncul pada karya seniman seni rupa kontemporer Heri Dono. Karya ciptaan Heri Dono berjudul Flying Dress. Heri membikin karya instalasi berupa baju yang dibentuk menyerupai serangga. Baju-baju itu seperti kupu-kupu, capung, dan burung beterbangan. Sebanyak 16 baju aneka motif itu melayang bak di langit lepas. Baju-baju itu digantung di langit-langit gedung. Sesuatu yang melayang selama ini dianggap berada di wilayah suci atau dikenal sebagai nirwana.
Peraih Prince Claus Award dari Kerajaan Belanda pada 1998 itu menggunakan barang bekas yang didaur ulang sebagai bahan seni instalasi. Ia memanfaatkan sampah plastik, botol plastik, kertas, dan kain bekas. Heri juga menggunakan bahan dari alam, yakni klaras atau daun pisang kering. Klaras itu ia rangkai indah. Bintik manik-manik biru menyala mempercantik baju klaras.
Heri tertarik menggunakan sampah industri ataupun bahan alam karena benda ini kerap dianggap tak berguna. Heri selama ini dikenal sebagai seniman yang menggunakan barang bekas sebagai bahan instalasi seni. Misalnya bangkai elektronik, besi, dan sampah. Semua barang bekas itu ia kumpulkan di studio miliknya di Yogyakarta. Sampah ia peroleh dari desainer pakaian berbahan baku sampah, Wiwik Pungki. Sampah juga didapat dari tetangga Heri dan pengepul.
Bersama Wiwiek pula Heri menampilkan peragaan busana berbahan sampah. Mereka melibatkan bocah, siswa sekolah, dan mahasiswa. Model yang tampil dari berbagai kalangan. Semangat keberagaman muncul dalam peragaan busana ini. Model ada yang mengenakan jilbab. Ada pula yang berbalut busana berhiaskan tato.
Sesi pembukaan beratmosfer kultural. Musik gambus dan selawat bernapaskan Jawa meramaikan acara. Ratusan pengunjung memenuhi Jogja National Museum. Mereka datang dari banyak kalangan dan lintas agama. Seniman muda membaur dengan aktivis NU. Seniman Djoko Pekik, yang beragama Katolik, ikut menabuh rebana sebagai tanda pameran dibuka. "Kami sebagai orang NU bahagia. Ini upaya dialog bersama," kata Ketua Panitia Muktamar NU Imam Aziz.
Zawawi Imron, kiai dan penyair asal Madura yang dipanggil Romo Zawawi, tampil membaca puisi. Kurator A. Anzieb menyatakan pameran ini merupakan usaha untuk menghadirkan kehangatan hubungan antara Islam dan seni. Islam Nusantara membuka segala kemungkinan untuk mewujudkan perubahan sosial, tanpa memutuskan pertautan dengan masa lalu.
Islam Nusantara tidak alergi terhadap perubahan. Pameran ini adalah ekspresi berkesenian yang berhubungan dengan tradisi. Seni menyatu dalam keseharian masyarakat Indonesia. NU sangat khas dengan konsep Islam Nusantara. "Pameran ini banyak berbicara tentang kebangsaan, keberagaman, tradisi sebagai akar budaya, dan spiritualitas," ujarnya.
A. Anzieb mencontohkan lukisan karya S. Teddy D. yang berbicara tentang keberagaman. Ia melukis Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur) dengan posisi tangan menengadah ke atas berupa tulisan Arab Pegon "Pancasila" di atas kanvas. Dalam karya itu, Teddy mengapresiasi figur KH Hasyim Asy'ari (kakek Gus Dur), yang telah membuat rumusan Pancasila, tanpa ada keinginan untuk memaksakan diri menjadikan negara Republik Indonesia sebagai negara Islam.
Menurut A. Anzieb siang hari sebelum pembukaan berlangsung, ia mendapat informasi tentang postingan di media sosial mengenai larangan menggambar makhluk hidup, baik manusia maupun binatang, dalam Islam. Si pengunggah bahkan menampilkan teks hadis, kitab, dan nama ulama yang melarang menggambar makhluk hidup. Tapi A. Anzieb tak tahu persis siapa orang yang mengunggah hal itu. Panitia tak ambil pusing mengenai perdebatan halal dan haram menggambar makhluk hidup.
Sebab, menurut A. Anzieb, ada dua pendapat tentang menggambar makhluk hidup. Ulama dan ahli filsafat Islam, Imam Al-Ghazali, misalnya, jelas memperbolehkan. Kesenian berhubungan dengan sufi. "Seni berbicara tentang keberagaman dan kemanusiaan," kata A. Anzieb.
Shinta Maharani
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo