Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Seni Lukis Sebelas Maret

Para mahasiswa & dosen jurusan seni rupa universitas sebelas maret mengadakan pameran seni lukis'78 di balai seni rupa jakarta, 20 jan-4 feb 78. (sr)

4 Februari 1978 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PAMERAN Seni Lukis '78 oleh para mahasiswa dan dosen jurusan Seni Rupa Universitas Sebelas Maret, Sala, berlangsung 20 Januari sarnpai 4 Pebruari ini di Balai Seni Rupa Jakarta. Tak hanya lukisan, beberapa relie kuningan ikut juga dipamerkan. Kalau dilihat kenyataan bahwa seni lukis modern Indonesia terpusat di Jakarta, Bandung, Yogyakarta dan Surabaya, hadirnya sekelompok pelukis yang berlatar perguruan tinggi dari Sala cukup menarik dicatat. Sejak tahun tujuh-puluhan Seni Lukis Indonesia cenderung menghadirkan karya non-figuratif. Yang penting ialah, hal itu bukan merupakan konsekwensi lahirnya konsep-konsep baru dalam seni lukis. Agaknya lebih bisa dikatakan bahwa lahirnya karya non-figuratif (dan lain-lain gaya yang bisa dihubungkan dengan gaya di Barat sana) di Indonesia hanya merupakan keinginan saja. Bisa dilihat, tak ada satu kesadaran sejarah kesenirupaan pada kebanyakan pelukis yang menjadi non-figuratif itu: bahwa mereka memang harus melahirkan karya non-figuratif untuk menjawab tantangan kreativitas dalarn dunia seni rupa kita. Dengan begitu sulit mengatakan adanya satu 'gerakan' seni non-figuratif di Indonesia. Lebih merupakan semacam "musim". Fajar & Sadali Fadjar Sidik dan Achmad Sadali kiranya dua tokoh yang mula-mula melahirkan karya non-figuratif di sini paling tidak lewat merekalah seni lukis non-figuratif "berkembangg Dan kebetulan karya dua pelukis tersebut termasuk karya baik. Maka, kelahiran seni non-figuratif dari para pelukis yang lebih muda tak bisa dilepaskan dari mereka. Pada Pameran Seni Lukis '78 ini pun, jejak Fadjar dan Sadali nampak kuat. Repetisi bentuk seperti dalam Dinamika Keruangannya Fadjar, tekstur khas Sadali, menempel pada karya lukis seniman Sala ini. Ya, menempel - rasanya tidak timbul dari mereka sendiri. Mereka melihat, lalu meniru, kasarnya demikian. Dan tentu saja hasilnya minor. Maka karya yang mencoba bernafas lain, seperti karya Bagyo Suharyono, Anang Sya'roni dan Warno Saleh yang sayangnya masin asing hanya menghadirkan sebuah - menjadi menarik. Ketiga mereka ini menyuguhkan hasil yang lazimnya disebut surealistis. Meski kemampuan menyuguhkan bentuk belum setara dibanding misalnya karya realisme baru yang bisa dilihat dalam Pameran Pelukis Muda di TIM Desember kemarin, tapi tidak larutnya mereka dalam seni non-figuratif merupakan nilai tersendiri. Satu nama, yang saya rasa perlu ditampilkan, adalah Dharsono. Seni Rupa Baru Indonesia agaknya telah membuka jalan hadirnya karya lukis yang tidak hanya cat pada kanvas. Dengan judul yang agak aneh, Hari Yang Anu (sekedar nama, begitu menurut pelukisnya), Dharsono hadir dengan lima ciptaan. Yang berhasil menurut saya adalah Dari yang, Anu I dan Dari yang Anu IV. Yang pertama masih biasa: kanvas yang dibagi menjadi tiga bidang: atas bawah dengan dasar hitam, tengah warna merah jambu keputihan, ada bayangan bentuk bulat di situ. Yang kedua, bentuk bulat merah jambu keputihan dengan dasar hitam, lalu garis garis yang memotong lingkaran itu bukan garis betul, tapi benang-benang yang dijahitkan pada kanvas. "Aspek Maha Penting" Kelebihan karya Dharsono dari yang lain-lain: terasa ada usaha menghadirkan gubahan yang bertolak dari dirinya. Terasa satu proses penciptaan, bukan dipilihnya terasa ada yang hendak dikatakan, bukan sekedar mencari efek. Yang perlu ditambahkan: Seni Rupa UNS (yang usianya baru setahun) merupakan leburan dari Seni Rupa IKIP Negeri Sala. Dan IKIP tentu saja kurikulumnya bertitikberat pada lahirny para pendidik daripada seniman. Kala dari dua puluh peserta pameran hanya seorang yang - menurut saya - pantas ditampilkan, timbul dugaan bahwa mereka berkarya mungkin terlalu dipaksa kan. Seperti katalogus Pameran Sen Rupa 12 (dosen-dosen Lembaga Pendidikan Kesenian Jakarta) akhir Desem berlalu di TIM, yang antara lain berbunyi: "berkarya merupakan aspek maha penting, baik bagi para manasiswa maupun bagi para pengajarnya . . . " Rasanya memang lebin meyakinkan kuliah seorang dosen seni rupa yang karyanya juga termasuk karya seni rupa yang baik. Bagi seorang pengajar, yang terlebih penting ialah kemampuan membimbing anak didik untuk mempelajari, mendalami dan mengembangkan apa yang diajarkannya, dan berkarya bukan dengan begitu aspek maha penting. Apa tulisan katalogus itu memang berlebihan, atau LPKJ mempunyai satu konsep pendidikan yang memang agak meleset, tak jelas. Yang jelas, bila para calon pendidik menekankan diri pada menghasilkan karya baik, dan pemilihan pengajar didasarkan atas prestasinya dalam berkarya dan bukan kemampuannya membimbing, jangan diharap para mahasiswa akan mempunyai bekal cukup nantinya - kecuali mereka belajar sendiri. Bamban Bujono

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus