DI ronde pertama, regu puteri Indonesia mencatat kemenangan 4,86
VP lawan Thailand. Di ronde kedua lawan India pun menang dengan
5,1VP. Pada ronde ketiga melawan Singapura, dengan telak menang
8-0. Ketiga ronde ini dimenangkan secara santai oleh
pemain-pemian Ny. Upik Rasyad/Ny. Nette Suparto, Ny. Els
Tobing/Ny. Mari Laya dan Ny. Joan Syarif/Ny. Wibowo dengan NPC
Fred Amein.
Permulaan yang menarik ini memang menggembirakan. Tapi begitu
saya meneliti strategi perang Amein, muncul juga kekecutan.
Arneln sudah memasang line-up sehari sebelumnya. Strategi ini
mengingatkan saya akan Yan Raturandang yang pernah jadi NPC di
Manila dan Bangkok. Dan saya menduga, pesimisme akan meraja.
Mengapa tidak? Dalam taktik perang, medan diukur oleh banyak
faktor. Yang pokok ialah prajurit yang maju ke garis depan
mustilah prajurit yang kondisi fisik dan mentalnya pada saat itu
musti prima. Demikianlah pada ronde keempat line-up Ameln
menurunkan Upik/Nette dan Els/Mari. Setengah ronde pertama babak
kedua Els/Mari diistirahatkan untuk diganti dengan Joan/Indra.
Di setengah ronde pertama regu puteri ini menang dengan belasan
Imp yang secara akumulatif dapat ditebak bahwa kans memenangkan
ronde ini besar sekali. Akan tetapi begitu pergantian pemain
berlangsung sesuai dengan line-up tanpa adanya kontrol fisik dan
mental tadi oleh NPC, maka akhirnya regu ini menelan pil pahit.
Akibatnya memang fatal. Berturut-turut regu puteri ini
dikalahkan telak 0-8 oleh Selandia Baru, Pilipina dan Taiwan. Di
ronde kedelapan pun kalah 5,91-2,09 dari Australia. Tiada lain,
lantaran para pemain bertahan pada kondisi santai dan cukup puas
duduk di urutan ketujuh setelah Australia, Pilipina, Thailand,
Taiwan, Selandia Baru, dan India. Di urutan buncit Singapura dan
Jepang.
Suami Sakit
Sebelum menuju Kejuaraan Timur Jauh Manila itu, PB Gabsi sudah
memikirkan suatu cara lain dalam membentuk regu puteri nasional.
Mengingat kekalahan yang dialami di Bangkok dan Auckland.
Persoalan pokok untuk menanggulanginya ialah soal partnership
dan soal tiga pasangan yang ampuh. Di Bangkok gagal karena
partnership, sedangkan di Auckland disebabkan oleh pasangan
ketiga yang pincang. Selain itu faktor NPC.
Untuk tujuan ini maka khusus untuk pasangan wanita
diselenggarakan semacam pusat latihan. Proyek ini akhirnya gagal
karena disiplin para pemain agak kurang di samping soal
pembiayaan. Lalu PB Gabsi menyerahkan pembentukan ini kepada
Institut Bridge Jakarta tanpa diberitahu strategi yang pernah
difikirkan PB Cabsi. Institut dengan bekal apa adanya lantas
melaksanakan semacam invitasi. Muncul 4 pasangan, tiga di
antaranya memenuhi syarat objektif. Sedangkan yang satu pasang
merupakan pasangan baru yang secara individuil masih belum
meyakinkan. Tapi beruntung, pasangan yang diragukan ini
mengundurkan diri karena salah seorang di antaranya tak bisa
turut, berhubung suaminya sedang sakit.
Tampaknya memang tidak ada problim. Begitu pembentukan ini masuk
ke PB Gabsi dengan perkiraan tiga pasangandi atas, maka dua klub
bridge wanita Jakarta melakukan semacam protes. Protes ini
berikut saran, agar pasangan yang sebenarnya sudah kwalified
dipecah lagi menjadi pasangan lain. Tentu saja jadi ricuh.
Ketiga pasangan yang ditampilkan secara objektif sudah merupakan
tiga pasangan yang terkuat yang ada di Indonesia. Jika salah
satu di antaranya dipecah, maka kenyataan Auckland di tahun lalu
dan tahun-tahun sebelumnya pasti terulang lagi. Oleh sebab itu,
ketika itu saya menyimpulkan bila saran kedua klub wanita itu
diterima, kans untuk menang pun sudah tiada.
Akhirnya PB Gabsi memutuskan seperti yang diusulkan oleh
Institut Bridge Jakarta dan sekaligus menunjuk Fri Amein
sebagai NPC. Namun, kriteria kuat tidaknya mereka di Kejuaraan
Timur Jauh masih perlu dipertanyakan. Mereka merupakan pemain
terbaik yang tidak pernah menatar diri untuk lebih baik lagi.
Sedangkan peserta negara lain sudah jauh lebih maju. Karena itu,
bila akhirnya mereka jauh di bawah ranking pertama, sebenarnya
kita tak perlu kecewa.
Tanpa Sarana
Berbeda dengan regu puteri, maka pembinaan regu putera lebih
serius dan lebih efektif. Bila dalam tim puteri selain faktor
fisik dan mental, masih nyangkut juga soal tehnis dan strategi
permainan. Pada regu putera, masalahnya hanya soal mental tok.
Beberapa pengamat bridge, baik yang jago tehnis maupun yang
punya kebolehan dalam strategi menggambarkan bahwa kini sudah
saatnya untuk difikirkan bagaimana membina.regu-regu Indonesia
ke luarnegeri. Dan sesungguhnya, faktor pembinaan ini merupakan
faktor nomor satu yang harus diselesaikan.
Opini publik cenderung kecewa atas prestasi olahraga bridge di
tiga tahun belakangan ini. Ini bukan lantara soal Manoppo, akan
tetapi soal tak berhasilnya lagi kita menang. Jika tak berhasil
menang, publik juga berpendapat bahwa ada hal-hal yang tak beres
di dalam organisasi bridge. terutama soal pembinaan ini.
Amran Zamzami pernah berkata pada saya, bahwa masyarakat
menuntut kita terlalu banyak. Demikian juga pemerintah minta
terlalu banyak. Akan tetapi, apakah bantuan pemerintah pada
olahraga bridge ini? Mereka tidak menyiapkan sarana pembinaan.
Jika ada pembinaan, sifatnya individuil dan oleh kalangan bridge
sendiri. Itu pun terbatas.
Memang jalan logika demikian masuk di akal. Dulu, Gubernur Ali
Sadikin masih berani memberikan bantuan baik moril apalagi
materiil, sehingga dunia bridge Indonesia didorong untuk maju.
Tapi tahun ini, tak satu sen pun bantuan dari DKI Jaya.
Pantaskah warga DKI menuntut lebih banyak dari apa yang ada?
Faktor pembinaan memang sudah seharusnya. Untuk ini perlu biaya
dan pelaksanaan yang sistimatis. Soalnya, siapakah donatur dan
pekerja yang rela berkorban habis untuk ini?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini