BILA langit terang dan angin cukup kencang, bukan mustahil
dilangsungkan pameran seni rupa di angkasa. Dan tanggung setiap
arang menikmatinya. Soalnya ini bukan pameran "seni
eksperimental" yang aneh--sulit. Cuma pameran layang-layang.
Hanya, pameran "layang-layang berseni rupa" memang sudah dilihat
di sembarang tempat. Hasrat memamerkannya beramai-ramai--di
angkasa pun mungkin hanya ada di Jepang. Tradisi layang-layang
di sana bersambung hingga kini. Dan tidak seperti misalnya di
Bali atau inang, yang layang-layangnya tetap tinggal sebagai
permainan anak-anak-atau paling diadu ketajaman benangnya untuk
alat judi.
Seperti yang bisa dilihat di Galeri Baru Taman Ismail Maruki,
17-23 September, pameran 100 layang-layang Jepang meyakinkan
bahwa benda kertas itu tidak dibikin sembarangan. Malah ada
berbagai maksud dan arti yang menyertai layang-layang itu,
dulunya--di samping gambar-gambarnya memang artistik.
Memang ada kaitannya yang langsung dengan seni lukis.Bahkan
gambar itu tidak dibikin ketika kertas telah ditempel pada
kerangka bambu atau kayu. Karena itu pula, kebanyakan
layang-layang Jepang berbentuk segi empat--sesuai dengan bentuk
kertas.
Sejauh yang masih bisa dilacak, konon layang-layang masuk ke
Jepang dari Cina pada abad ke-9. Dan berkembang pada zaman
Shogun Tokugawa di abad ke-16. Waktu itu berbagai makna dan
beragam gambar hiasan diciptakan. Tapi pada dasarnya,
layangayang Jepang dibuat dengan maksud mengharapkan kebaikan
dan menjauhkan kesengsaraan--dari roh-roh atau semacamnya. Takoj
bahasa Jepangnya layang-layang, juga berarti
keberuntungan--selain hembusan angin.
Sebab setidak-tidaknya dulu, orang Jepang memang percaya bahwa
layanglayang menghubungkan dunia dengan surga (langit). Hanya
orang-orang tertentu saja yang boleh membuatnya. Dan para ahli
pun menurunkan kepandaian mereka hanya kepada anak turunnya.
Tiap daerah mempunyai gaya layang-layangnya sendiri dan kini,
gaya itu bisa dibagi menjadi tujuh--menurut nama daerahnya.
Hokkaido, Tohuku, Kanto, Chubu, Shikoku, Kyushu dan Kinki &
Chugoku.
Dongeng Ainu
Hokkaido, daerah di Jepang yang masih didiami bangsa Ainu--cikal
bakalnya bangsa Jepang sekarang -- kebanyakan layang-layangnya
berhiaskan gambar para tokoh dongeng setempat. Dan hanya di
daerah Hokkaido inilah, dulu, ada layang-layang yang berbentuk
cumi-cumi. Pada kepalanya terdapat gambar lingkaran mirip simbol
yin dan yan, kemudian di dada ada kaligrafi. Ekornya berupa
kertas panjang warnawami. Layang-layang ini dinaikkan menjelang
penangkapan cumi-cumi secara besar-besaran -- sebagai upaya
beroleh berkat.
Sebuah layang-layang dari Tohoku, yang digunakan sebagai penolak
bala, bergambar seram. Dengan dasar putih, goresan figur hitam
yang menakutkan itu lebih mengerikan karena lidahnya yang merah
terjulur keluar. Layang-layang Aizudojin, masih dari Tohuku,
sebaliknya berbentuk lucu: sebuah wajah dengan lidah terjulur
merah. Menurut kepercayaan di daerah tersebut, mengeluarkan
lidah pada saat-saat tertentu berguna bagi kesehatan badan. Jadi
kirakira layang-layang ini digunakan sebagai semacam petuah.
Sebuah layang-layang kecil dari Kanto, dengan tinggi sekitar 30
cm berbentuk kimono, ternyata dimaksud untuk menjauhkan
kebakaran. Dengan warnanya yang cokelat, seperti warna kayu,
layang-layang ini dinaikkan di atas rumah. Tak tahulah, apa
"mereka yang di langit" selalu paham pada simbol-simbol yang
digunakan makhluk bumi itu, dan mengabulkan permohonan mereka.
Dari daerah Kinki dan Chugoku ada layang-layang yang digunakan
untuk menentukan jodoh. Sepasang layanglayang itu disebut Iwai,
berbentuk persegi berhiaskan sebuah huruf kanji merah. Dulu,
bila layang-layang ini ternyata salah satu tak mau naik, berarti
sepasang muda-mudi yang direncanakan akan dinikahkan tak
berjodoh. Inilah layang-layang tertua dalam pameran--dibuat
tahun 1920-an.
Kini, keadaan tentu sudah berubah juga. "Di Jepang sendiri
sekarang susah mencari tempat menaikkan layang-layang," kata
Kazuo Shiina, Direktur Pusat Kebudayaan Jepang di Jakarta.
"Banyak gedung yang tinggi-tinggi, juga kawat-kawat."
Toh, beberapa lama lewat sekolah-sekolah di Jepang mengadakan
gerakan memelihara dan mewarisi ketrampilan nenek moyang itu.
Beberapa kolektor layang-layang, yang dulunya mengumpulkan
kegemaran mereka diam-diam, kini mulai menjadi tempat bertanya
tentang seluk-beluk barang apik itu. Dan salah satu kolektor,
Tadao Saito, dia itulah yang kini mengadakan pameran di Jakarta.
Katanya ia mulai mengumpulkan layang-layangnya sejak 50 tahun
lalu.
Dan layang-layang pun memperoleh makna baru: sebagai karya seni
rupa yang bisa dipajang di rumah, selain bahan pameran seni rupa
angkasa.
Orang-orang sana suka berkata: jangan hanya dilihat indah
gambarnya saja. Saksikanlah betapa cekatan ia naik ke angkasa,
dan di sana ia 'hidup'.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini