Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Senirupa di angkasa

Di galeri baru tim diadakan pameran 100 layang-layang jepang. menurut kepercayaan orang jepang, layang-layang menghubungkan dunia dengan surga, dan punya maksud dan arti macam-macam.

26 September 1981 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BILA langit terang dan angin cukup kencang, bukan mustahil dilangsungkan pameran seni rupa di angkasa. Dan tanggung setiap arang menikmatinya. Soalnya ini bukan pameran "seni eksperimental" yang aneh--sulit. Cuma pameran layang-layang. Hanya, pameran "layang-layang berseni rupa" memang sudah dilihat di sembarang tempat. Hasrat memamerkannya beramai-ramai--di angkasa pun mungkin hanya ada di Jepang. Tradisi layang-layang di sana bersambung hingga kini. Dan tidak seperti misalnya di Bali atau inang, yang layang-layangnya tetap tinggal sebagai permainan anak-anak-atau paling diadu ketajaman benangnya untuk alat judi. Seperti yang bisa dilihat di Galeri Baru Taman Ismail Maruki, 17-23 September, pameran 100 layang-layang Jepang meyakinkan bahwa benda kertas itu tidak dibikin sembarangan. Malah ada berbagai maksud dan arti yang menyertai layang-layang itu, dulunya--di samping gambar-gambarnya memang artistik. Memang ada kaitannya yang langsung dengan seni lukis.Bahkan gambar itu tidak dibikin ketika kertas telah ditempel pada kerangka bambu atau kayu. Karena itu pula, kebanyakan layang-layang Jepang berbentuk segi empat--sesuai dengan bentuk kertas. Sejauh yang masih bisa dilacak, konon layang-layang masuk ke Jepang dari Cina pada abad ke-9. Dan berkembang pada zaman Shogun Tokugawa di abad ke-16. Waktu itu berbagai makna dan beragam gambar hiasan diciptakan. Tapi pada dasarnya, layangayang Jepang dibuat dengan maksud mengharapkan kebaikan dan menjauhkan kesengsaraan--dari roh-roh atau semacamnya. Takoj bahasa Jepangnya layang-layang, juga berarti keberuntungan--selain hembusan angin. Sebab setidak-tidaknya dulu, orang Jepang memang percaya bahwa layanglayang menghubungkan dunia dengan surga (langit). Hanya orang-orang tertentu saja yang boleh membuatnya. Dan para ahli pun menurunkan kepandaian mereka hanya kepada anak turunnya. Tiap daerah mempunyai gaya layang-layangnya sendiri dan kini, gaya itu bisa dibagi menjadi tujuh--menurut nama daerahnya. Hokkaido, Tohuku, Kanto, Chubu, Shikoku, Kyushu dan Kinki & Chugoku. Dongeng Ainu Hokkaido, daerah di Jepang yang masih didiami bangsa Ainu--cikal bakalnya bangsa Jepang sekarang -- kebanyakan layang-layangnya berhiaskan gambar para tokoh dongeng setempat. Dan hanya di daerah Hokkaido inilah, dulu, ada layang-layang yang berbentuk cumi-cumi. Pada kepalanya terdapat gambar lingkaran mirip simbol yin dan yan, kemudian di dada ada kaligrafi. Ekornya berupa kertas panjang warnawami. Layang-layang ini dinaikkan menjelang penangkapan cumi-cumi secara besar-besaran -- sebagai upaya beroleh berkat. Sebuah layang-layang dari Tohoku, yang digunakan sebagai penolak bala, bergambar seram. Dengan dasar putih, goresan figur hitam yang menakutkan itu lebih mengerikan karena lidahnya yang merah terjulur keluar. Layang-layang Aizudojin, masih dari Tohuku, sebaliknya berbentuk lucu: sebuah wajah dengan lidah terjulur merah. Menurut kepercayaan di daerah tersebut, mengeluarkan lidah pada saat-saat tertentu berguna bagi kesehatan badan. Jadi kirakira layang-layang ini digunakan sebagai semacam petuah. Sebuah layang-layang kecil dari Kanto, dengan tinggi sekitar 30 cm berbentuk kimono, ternyata dimaksud untuk menjauhkan kebakaran. Dengan warnanya yang cokelat, seperti warna kayu, layang-layang ini dinaikkan di atas rumah. Tak tahulah, apa "mereka yang di langit" selalu paham pada simbol-simbol yang digunakan makhluk bumi itu, dan mengabulkan permohonan mereka. Dari daerah Kinki dan Chugoku ada layang-layang yang digunakan untuk menentukan jodoh. Sepasang layanglayang itu disebut Iwai, berbentuk persegi berhiaskan sebuah huruf kanji merah. Dulu, bila layang-layang ini ternyata salah satu tak mau naik, berarti sepasang muda-mudi yang direncanakan akan dinikahkan tak berjodoh. Inilah layang-layang tertua dalam pameran--dibuat tahun 1920-an. Kini, keadaan tentu sudah berubah juga. "Di Jepang sendiri sekarang susah mencari tempat menaikkan layang-layang," kata Kazuo Shiina, Direktur Pusat Kebudayaan Jepang di Jakarta. "Banyak gedung yang tinggi-tinggi, juga kawat-kawat." Toh, beberapa lama lewat sekolah-sekolah di Jepang mengadakan gerakan memelihara dan mewarisi ketrampilan nenek moyang itu. Beberapa kolektor layang-layang, yang dulunya mengumpulkan kegemaran mereka diam-diam, kini mulai menjadi tempat bertanya tentang seluk-beluk barang apik itu. Dan salah satu kolektor, Tadao Saito, dia itulah yang kini mengadakan pameran di Jakarta. Katanya ia mulai mengumpulkan layang-layangnya sejak 50 tahun lalu. Dan layang-layang pun memperoleh makna baru: sebagai karya seni rupa yang bisa dipajang di rumah, selain bahan pameran seni rupa angkasa. Orang-orang sana suka berkata: jangan hanya dilihat indah gambarnya saja. Saksikanlah betapa cekatan ia naik ke angkasa, dan di sana ia 'hidup'.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus