Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SESOSOK pria mendongak dari mulut sumur. Ia berdiri kaku dalam sumur batu bata itu. Suasana mencekam menguar dari sana: pria itu seperti diceburkan dan dipaksa bertahan dalam kubangan. Pada instalasi lain tampak seorang pria tengah menunduk. Ia menatap deretan tangga batu bata yang terjulur di bawahnya. Tangga itu seperti menjadi jalan berliku dan ia enggan menghadapinya.
Atmosfer senyap memang membayang dalam pameran tunggal perupa keramik Nurdian Ichsan di Galeri Sigiarts, Jakarta, mulai 13 hingga 23 Maret. Bertajuk (di)stance, inilah pameran tunggal perdana Sasan—begitu ia disapa. Sebelumnya, instalasi Sasan telah mencuri perhatian penikmat seni rupa Tanah Air melalui beberapa pameran bersama seperti dalam CP Biennale pada 2005, Manifesto pada 2008, dan terakhir dalam pameran Bandung Art Now pada awal 2009. Ia masih setia pada idiom batu bata dan figur yang telah ditampilkan sejak lima tahun lalu. ”Melalui batu bata dan figur, kita dapat merasakan dimensi skala dan gerak,” ujar Sasan kepada Tempo.
Konsep pameran yang digarap sejak tahun lalu itu memang mengusung persoalan jarak, skala, dan gerak. Sasan membuat semua figur pria pada instalasinya dalam posisi berdiri. Idenya, menurut dia, sederhana: bagaimana gerakan berdiri yang kita lakukan pada keseharian ”ditangkap” dalam sebuah karya. ”Saya bereksplorasi dengan begitu banyak kemungkinan yang diperoleh dari gerak berdiri,” katanya.
Pengalaman berjalan di lorong sempit yang mencekam, berdiri di atas tangga, atau berdekatan dengan sebuah gedung tinggi, memberikan makna berbeda baginya. ”Saya ingin orang merasakan sensasi ini,” ujar dosen Fakultas Seni Rupa Institut Teknologi Bandung itu. Maka, muncullah instalasi macam Man in the Corner, Man and Tower, Man and Steps, Man and Trench, serta Man and Water Pit.
Persoalan jarak dan displacement muncul dalam instalasi figur manusia dan hewan. Figur manusia dan kerbau, juga anjing dan kelinci, menampilkan jarak yang dapat dirasakan secara fisik ataupun psikis. Masing-masing figur itu berhadapan, namun tanpa interaksi. Pilihan hewan pun menjadi pertimbangan penting. ”Saya memilih kerbau karena lokalitasnya. Sementara anjing dan kelinci dapat Anda temukan di mana saja,” tuturnya.
Figur dalam instalasi Sasan sengaja dipilih berwarna putih. ”Dulu figur saya berwarna-warni,” katanya. Rupanya, warna putih ia pilih untuk menunjukkan bahwa figurnya dalam kondisi frozen, beku. Hal ini sengaja dilakukan agar kehadiran figur lebih terasa.
Yang menarik, tak ada figur perempuan. Figur manusia Sasan dihadirkan dalam sosok lelaki bertubuh tinggi. Sasan menghindari sosok perempuan. ”Karena figur perempuan terlalu kuat,” ujarnya. Menurut dia, dalam konteks seni rupa, kehadiran perempuan pada figur dua atau tiga dimensi sarat isu keperempuanannya. ”Padahal figur manusia saya di sini anonim. Bisa siapa saja.”
Rizky A. Zaelani, kurator pameran, melihat batu bata dan figur instalasi Sasan seolah menampilkan dialektika. Dalam konteks perkembangan masyarakat dan budaya Indonesia, asosiasi Sasan dapat dilihat sebagai persandingan tradisi pedesaan dan perkotaan. Sebuah pendekatan natural dan teknis. Dalam ruang batu bata khas Sasan pula, menurut Rizky, terdapat undangan bagi pemaknaan tanda. Tentu saja, di situ beragam tafsir dipersilakan.
Sita Planasari Aquadini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo