Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Manggi Habir*
Kesepakatan anggaran Amerika Serikat antara pemerintah (dipimpin Partai Demokrat) dan Kongres (dikuasai Partai Republik) akhirnya tercapai. Pasar dunia lega karena pemerintah Amerika dapat berfungsi kembali dan ancaman gagal bayar (default) utang negara dapat dihindari. Kekhawatiran bakal terulangnya krisis keuangan global seperti pada krisis Lehman 2008 pun sirna. Perusahaan-perusahaan yang pada kuartal terakhir 2013 menyiapkan anggaran tahun berikutnya tak lagi bingung memakai asumsi kurs rupiah dan pertumbuhan ekonomi. Sekarang skenario positif akan lebih dipakai.
Nilai rupiah, yang saat ini 11.316 per dolar, terlihat mulai stabil. Rupiah sudah berada pada fase akhir masa turbulensi dengan membaiknya angka neraca perdagangan. Asumsi tambahan pada skenario ini adalah Bank Sentral Amerika alias Federal Reserve akan secara perlahan mengetatkan kebijakan moneter yang longgar dengan menaikkan suku bunga secara bertahap.
Naiknya suku bunga dolar akan memperlambat perekonomian. Tak mengherankan bila proyeksi pertumbuhan ekonomi 2014 turun ke tingkat 5,4-5,8 persen dari target semula 6-6,5 persen. Rupiah diperkirakan tetap berada di kisaran 10.500-11.500 per dolar. Adapun suku bunga Sertifikat Bank Indonesia (SBI) diproyeksikan tetap atau turun sedikit ke 7 persen jika inflasi melambat 1-2 poin.
Dengan inflasi saat ini di tingkat 8 persen, ekonomi secara perlahan perlu direm untuk meredam tren kenaikan harga. Perlambatan ekonomi juga penting untuk menurunkan impor sekaligus mengurangi defisit transaksi berjalan, yang pernah melebar sampai 4 persen dari produk domestik bruto. Rasio ini diperkirakan menyempit ke level 3 persen akhir tahun ini dan seterusnya ke angka 2,6 persen pada akhir 2014. Tren ini yang mendorong penguatan rupiah.
Perusahaan dengan utang besar, terutama dalam dolar, cukup terpukul tahun ini. Tapi tingkat utang korporasi Indonesia lebih rendah dibanding saat krisis keuangan Asia pada 1997-1998. Namun semua perusahaan sedang menyiapkan diri untuk pertumbuhan ekonomi yang lebih lamban pada semester kedua 2013 dan menuju 2014. Sebagian sudah mengurangi bahan baku impor dan mencari cara untuk menaikkan harga atau, jika sulit, mencoba mengurangi volume atau ukuran produk mereka. Bagi perbankan, tingkat kredit bermasalah baru akan terasa pada awal tahun depan. Tapi, dengan portofolio pinjaman yang lebih beragam dan tingkat kecukupan modal rata-rata 17 persen, perbankan dapat menghadapi kenaikan kredit bermasalah ini.
Konsumsi dalam negeri, termasuk belanja pemerintah, masih memberi kontribusi sebesar 62 persen dari PDB. Seperti tahun-tahun pemilihan umum sebelumnya, pemilu akan menjadi pemicu utama pertumbuhan ekonomi pada 2014 saat partai politik giat berkampanye. Tapi harus diingat bahwa konsumsi di pulau-pulau luar Jawa masih bergantung pada tingkat ekspor. Ekspor yang lemah akhir-akhir ini akan berdampak negatif terhadap pertumbuhan. Pemicu pertumbuhan berikut adalah investasi, yang biasanya melambat selama tahun pemilu. Walaupun demikian, target pertumbuhan ekonomi di tingkat 5 persen seharusnya tidak sulit dicapai.
Keadaan terburuk kelihatannya sudah berlalu. Kenaikan 25 basis point pada suku bunga SBI ke level 7,25 persen dan pengurangan masa holding period SBI dari 6 ke 1 bulan masih terasa dampaknya. Tapi, di pasar modal, indeks harga saham gabungan Indonesia pulih dari titik terendah 4.000 poin ke angka 4.500 poin saat ini. Selain itu, penerbitan obligasi pemerintah yang baru mendapat sambutan cukup baik pada lelang terakhir dengan ikut sertanya pembeli asing.
Skenario negatif dengan default utang obligasi Amerika yang dipegang oleh hampir semua bank sentral dan perbankan global telah berlalu. Meningkatnya ketidakpastian, menurun drastisnya kegiatan ekonomi global, terhentinya pasar kredit global, dan tumbangnya nilai dolar dengan suku bunga yang meningkat secara dramatis tak perlu lagi dikhawatirkan. Pada skenario ini, rupiah akan melemah lebih tajam akibat dana asing balik ke negara asal. Likuiditas pasar uang antarbank pun akan mengering. Akibatnya, bank kecil dan menengah, khususnya yang tingkat likuiditasnya terbatas, akan kesulitan mencari pendanaan di pasar uang dan beberapa bank mungkin perlu mendapat pertolongan Lembaga Penjamin Simpanan dan Bank Indonesia.
Tapi, kendati perusahaan akan lebih mengacu pada skenario positif, pertumbuhan pada 2014 akan tetap melamban. Hanya, sekarang diharapkan pertumbuhan lamban itu terjadi secara bertahap dan terkendali. Melambatnya pertumbuhan ekonomi ini disebabkan oleh dua tren global yang sudah diantisipasi. Cina, yang pertumbuhan ekonominya pada masa lalu selalu dua digit, sekarang sedang mengalami transisi ke model pertumbuhan ekonomi yang dipicu oleh konsumsi dalam negeri. Di masa depan, Cina menargetkan pertumbuhan ekonomi yang lebih rendah dari tujuh persen. Akibatnya, ekspor kita akan menurun karena saat ini Cina merupakan tujuan utama ekspor negara kita. Dengan tren impor tidak semudah diubah dibanding ekspor, neraca perdagangan akan tetap mendapat tekanan sehingga rupiah bakal cenderung lemah.
Tren lain adalah tingkat suku bunga dolar yang pasti akan naik, baik secara perlahan maupun serentak. Akibatnya, arus modal asing yang sebelumnya masuk ke Indonesia, sehingga menutupi defisit neraca transaksi berjalan, akan berbalik arah dan keluar dari pasar kita. Dengan kata lain, era uang murah atau suku bunga rendah sudah berakhir.
Masa yang bergejolak akhir-akhir ini memperlihatkan kekuatan sekaligus kelemahan perekonomian negara kita. Memang ada konsumsi domestik yang kuat didorong oleh kelas menengah yang tumbuh pesat dan dibiayai oleh sektor perbankan yang bermodal kuat. Tapi konsumsi domestik saja tidak cukup untuk mencapai tingkat pertumbuhan enam persen. Perekonomian membutuhkan tambahan investasi dan teknologi asing serta kemampuan ekspor yang bersaing untuk membayar kebutuhan impor kita yang terus meningkat.
Pemerintah sudah menerapkan beberapa langkah jangka pendek, seperti melepas rupiah agar melemah, yang akan membuat harga ekspor lebih murah (dalam dolar) sehingga memacu ekspor. Sebaliknya, impor menjadi lebih mahal sehingga mengerem pertumbuhannya. Selain itu, pemerintah telah mengurangi subsidi bahan bakar minyak sehingga impor minyak menjadi lebih mahal. Harapannya pertumbuhan impor BBM akan turun di masa depan. Ini semua akan membantu mengurangi defisit transaksi berjalan sekaligus mengurangi tekanan terhadap rupiah. Langkah tambahan untuk membantu kestabilan rupiah adalah kenaikan suku bunga yang berdampak menarik balik dana asing.
Namun masih ada beberapa langkah jangka panjang yang lebih sulit dan butuh waktu untuk dilakukan. Ini termasuk usaha meningkatkan sisi penawaran agar ekonomi kita dapat lebih bersaing. Daftar panjang dan sudah sering terdengar adalah membangun infrastruktur, dari pembangkit listrik, jalan, pelabuhan, kereta api, sampai perangkat lunak dengan mengembangkan sistem hukum dan peradilan serta proses birokrasi dan perizinan yang lebih efektif, efisien, dan transparan.
Untuk sektor swasta, sudah saatnya tidak hanya mengandalkan ekstraksi sumber daya alam yang relatif lebih mudah dikerjakan. Mereka harus mulai berinvestasi pada tahap nilai tambah berikutnya karena harga barang semi-proses cenderung lebih stabil dibanding komoditas mentah. Semua itu menjadi pekerjaan rumah kita serta pemerintah baru yang akan dibentuk setelah pemilihan presiden akhir tahun depan. Menteri Keuangan Chatib Basri pernah mengatakan situasi yang baik biasanya menghasilkan kebijakan yang buruk. Sebaliknya, keadaan buruk menghasilkan kebijakan yang baik. Kita berharap situasi kita tidak terlalu cepat pulih agar kebijakan yang baik mendapat waktu yang cukup untuk diterapkan.
Di seberang Samudra Pasifik, sudah waktunya pemerintah Amerika meninjau kembali proses persetujuan anggaran negara dan melakukan perubahan agar pertikaian partai politik tidak melumpuhkan jalannya pemerintahan. Mungkin pemerintah Amerika dapat belajar dari Indonesia: ketika tidak ada kesepakatan mengenai anggaran tahun berikutnya, anggaran tahun berjalanlah yang berlaku sementara. Sistem persetujuan anggaran kita mungkin tidak sempurna, tapi lebih baik ketimbang Amerika, yang ternyata berpotensi menyebabkan gagal bayar utang negara serta merusak kredibilitas dan wibawanya di mata dunia.
*) Kontributor Tempo
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo