APOCALYPSE NOW!
Sutradara: Francis Coppola
INILAH sebuah film yang indah dan juga sebuah niat yang tak
sampai. Sutradara Francis Coppola (tentu anda ingat, Godfather)
menuangkan US$ 30 juta atau Rp 19 milyar untuk film ini,
sebagian dari koceknya sendiri. Selama 14 bulan ia berada di
hutan-hutan Filipina, buat melukiskan Vietnam, berbekalkan hanya
skenario yang belum selesai. Dan selama 3 tahun orang
menggunjingkannya. Separuhnya tercengang.
Hasilnya: sebuah film yang padu, tapi tak berarti utuh. Masih
ada bagiannya yang tak nampak seperti bulan separuh gelap --
atau seperti kepala gundul Marlon Brando dalam adegan-adegan
terakhir.
Kerangka kisahnya adalah kerangka sebuah perjalanan misterius
yang panjang menyusuri sungai tropis, menuju ke rimba gelap.
Ada perhentian peristiwa yang menyebabkan kita merenung.
Perjalanan ini adalah perjalanan Kapten Willard (dimainkan
Martin Sheen), seorang perwira muda satuan khusus Baret Hijau
yang menyandang tugas rahasia: ia harus ke pedalaman untuk
membunuh seorang kolonel yang dulu berasal dari kesatuannya
sendiri, Kurt (Marlon Brando). Kurtz oleh komandan tertinggi di
Saigon dianggap membankang. Ia menjalankan perang dengan
caranya sendiri, yang konon kejam sekali.
Yang pasti, ia membunuh 4 orang penting Vietnam Selatan, yang ia
anggap mata-mata Vietkong dan mencelakakan pasukannya. Ia
menghimpun suku primitif dan sisa-sisa Baret Hijau, lalu
mendirikan kerajaan kecil di wilayah Kamboja. Di sana ia dipuja
bagaikan betara magis.
Sungguh tokoh yang menarik. Salah satu yang menyebabkan film ini
memikat ialah bahwa tokoh yang tak kunjung muncul ini kepada
kita diperkenalkan sedikit demi sedikit, dengan segala
pesonanya, Sepanjang perjalanan dengan kapal sungai, di tiap
waktu senggang, Willard membaca dokumen-dokumen tentang Kurtz
yang harus diketahuinya. Ia segera seperti ditarik oleh magnit
kepada calon korbannya itu kian kagum, kian bersimpati, kian
memahami.
Kurtz, sebagai disebutkan dalam dokumen itu, ternyata seorang
prajurit unggul, tokoh yang cemerlang dan juga: ayah yang
menulis minta pengertian kepada anak-istrinya. Tapi kemudian ia
menghilang.
Kehilangn Arti
Kurtz telah jadi gila, beritu kesimpulan resmi. Tapi bagi
Willard, yang terjadi hanya kepalsuan dan hipokrisi. Kurt
membunuh dan menurut aturan harus dihukum, padahal apakah
artinya perang di Vietnam itu selain pembunuhan - yang tak
semuanya punya dasar? Overste Kilore (dimainkan dengan
mengesankan oleh Robert Duvall) menyerang sebuah pantai
Vietkong hanya karena ia menginginkan permainan berselancar.
Ketika Vietkong masih mengganggu, ia memanggil sejumlah pesawat
pengebom yang menebarkan api naphalm.
Keberanian Kilgore mengagumkan, tapi perang juga baginya tanpa
tujuan: hanya semacam kegairahan. Ia menghormati seorang tentara
musuh yang tetap bertempur dengan usus keluar. Ia memutar
keras-keras musik Wagner di saat menyerbu. Ia menikmati bau
naphahm yang membakar bukit. "Baunya -- bau kemenangan,"
katanya tanpa emosi.
Salah satu keberhasilan Coppola di sini ialah bahwa ia telah
berbicara, tanpa tanda seru, tentang sebuah perang mahal dan
kejam yang kehilangan arti. Kegilaan perang itu justru di situ
letaknya, bukan pada kekejaman an sich. Seperti dalam
Godfather, kekejaman di sini hanyalah gerak sebuah mesin, yang
serentak dihidupkan akan punya ukurannya sendiri. Awak kapal
sungai itu membunuh penumpang tak bersalah sebuah perhu Vietnam
karena gugup, Willard sendiri menembak mati dengan dingin
serang wanita yang luka, untuk menyingkat waktu, Dan Kurtz --
mengingatkan kita pada Caligula dalam karya Albert Camus. Ia
secara konsekuen mengikuti absurditas perang, bentuk lain
kegilaan nasib manusia. Karena perang kejam, ia pun kejam --
justru setelah ia menyelami kekejaman itu sendiri.
Suatu hari, demikianlah ia berkisah pada Willard yang akan
membunuhnya, ia dan pasukannya memvaksinasi sejumlah anak-anak
desa. Begitu tentara AS menyingkir, datang tentara Vietkong.
Mereka memotong tangan tiap anak yang divaksinasi, dan
mengumpulkan potongan tangan itu di satu tempat. Melihat itu,
sesuatu dalam diri Kurtz terguncang putus, Tapi ia jadi tahu
begitulah seharusnya perang dilakukan.
"Horor", katanya dengan suara berat dalam gelap (efek bunyi kata
itu tak terunkapkan dalam bahasa Indonesia), punya wajah . . ."
Dan horror, itulah ucapannya terakhir ketika Willard membunuhnya
dengan parang. Seperti dengkur.
Kurtz, sebagaimana Cafgula, sebenarnya menyiapkan bunuh dirinya
yang agung. Willard telah ditunggunya untuk itu. Beberapa jam
sebelum terbunuh, ia bergumam membaca sajak The Hollow Men karya
T.S. Eliot. Di sana tertulis, meskipun tak terbaca, baris dari
novel Joseph Conrad The Heart of Darkness: "Mistah Kurtz -- he
dead ".
Tapi, tentu saja, kita tak perlu membaca Conrad. Hanya agak
disayangkan bahwa kita harus membaca Coppola: di balik
kecakapannya dalam mengelola unsur-unsur sinematografi,
terutama dalam adegan perang, Coppola masih tetap tergantung
kepada banyak kata-kata.
Tema yang hendak dirangkum agaknya terlalu besar baginya, hingga
kameranya pun tak mencukupi. Dan ternyata juga skenario tak
mencukupi. Pelbagai pertanyaan masih belum terjawab, dari yang
sepele sampai yang pokok, dan nampaknya ini bukan karena gunting
sensur yang cuma memotong film ini 3 menit, Pertanyaan yang
sepele misalnya: apa kabar juru potret yang memuja Kurt dalam
film ini (dimainkan Dennis Hopper) setelah Willard membunuh?
Pertanyaan yang pokok misalnya untuk menolak hipokrisi yang
pura-pura tidak buas, haruskah kita menerima kejujuran yang
buas?
Goenawan Mohamad
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini