Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Buku

Kartini, tambahan bahan

Terjemahan: sulastin sutrisno jakarta: djambatan, 1979. (bk)

11 Oktober 1980 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SURAT-SURAT KARTINI Renungan tentang dan untuk bangsanya. Terjemahan: Sulastin Sutrisno. Penerbit: Djambatan, Jakarta, 1979. Tebal: 409 halaman. BUAH pikiran Raden Ajeng Kartini tetap menjadi sumber penulisan, penelitian dan pengetahuan. Itulah pendapat Prof. Dr, Sulastin guru besar Sastra Melayu Klasik pada Universitas Gajah Mada. Maka Sulastin menerima tawaran Kementerian Kebudayaan, Rekreasi dan Kesejahteraan Belanda untuk menerjemahkan Door Duisterrnis Tot Licht (DDTL) cetakan ke-5 -- yang memuat surat-surat Kartini dengan lebih lengkap, dibanding cetakan sebelumnya. Tawaran itu pada 1972, ketika Sulastin mencari bahan disertasinya di Negeri Belanda. Terjemahan dia kerjakan mulai 1976. Dan 25 September lalu, di Pusat Kebudayaan Belanda Erasmus Huis, Jakarta. Sulastin membahas terjemahannya sendiri. Kartini, tanpa surat-suratnya yang diterbitkan oleh Abendanon (dan istrinya) -- Direktur Departemen Pendidikan, Agama dan Kerajinan Belanda waktu itu dalam DDTL, tidak akan dikenal seperti sekarang juga, sekiranya kedudukan sang ayah (Bupati Jepara R.M.A.A. Sosroningrat) tidak tinggi, tidak akan ada kesempatan bagi Kartini berkenalan dengan pejabat-pejabat Belanda. Dan seandainya Kartini tidak cepat meninggal (menikah dalam usia 24 tahun dan men meninggal setahun kemudian) dan tidak "kebetulan" teman-teman Belandanya menyimpan surat-suratnya, nasib Kartini akan sama saja seperti kebanyakan perempuan Indonesia seangkatannya yang lain. Sesungguhnya buah pikirannya yang sebegitu jauh diketahui ditulis dalam bahasa Belanda -- secara lengkap, tidak banyak diketahui orang Indonesia. Armijn Pane yang menerjemahkan DDTL hanya memuat 87 surat dari 104 surat yang berhasil dikumpulkan suami istri Abendanon tersebut. Surat-surat itu pun tidak dimuatnya secara lengkap. R. Sasrasoeganda (Panitia Fonds Kartini, Surabaya, 1938), yang menerjemahkan DDTL ke dalam bahasa Jawa dengan judul Mboekak Pepeteng, hanya memuat 70 buah surat. Pun terjemahan surat-surat Kartini dalam bahasa asing yang lali, tak lengkap. Prof. L.Ch. Damais hanya memuat 19 surat dalam Letters de Raden Adjeng Kartini (Paris, 1960). Pula Agnes Louise Symmers dalam Letters of A Javanese Princess (Oxford Kualalumpur, 1976), hanya memuat 75 buah surat. Agaknya hanya DDTL cetakan ke-5 sajalah yang berhasil memuat 120 buah surat Kartini, Meskipun ini bukan berarti sudah komplit. Menurut Dr. H, Bouman -- salah seorang peneliti Kartini masih banyak surat-surat Kartini yang tercecer, karena pemiliknya enggan menyerahkan dokumen kontak pribadi untuk diterbitkan. Isteri Bupati "Tulisan-tulisannya ketika dia berada di Jepara itulah," ucap Sulastin, "benar-benar cetusan gagasan modern. Dan dari situlah Kartini berhak mendapat sebutan Pahlawan Kemerdekaan Nasional". Dalam pembahasan malam itu, Sulastin berpendapat, bahwa surat-surat Kartini yang ditulis di Rembang, setelah ia menikah dengan bupati Rembang, tidak bermutu lagi. Kartini memang dengan sangat berat nenerima lamaran Bupati Rembang Djojohadiningrat. Mungkin, pertama-tama ia menerima lamaran itu untuk membahagiakan orang tuanya. Meski Kartini pun melihat hal yang menguntungkan cita-citanya dengan pernikahan ini. "Sebagai istri bupati, saya akan bebas melaksanakan kehendak saya, daripada sebagai anak bupati. Istri bupati pengaruhnya akan lebih besar," demikian tulisnya ketika dia memberitakan pertunangannya kepada Nyonya Ovink Soer. Membaca surat asli Kartini, cukup nengasyikkan. Walaupun banyak surat-suratnya sepanjang sebuah makalah. Misalnya surat Kartini untuk nyonya H.G. de Booij-Boissevain (21 Maret, 1902) yang bercerita tentang perkawinan bumiputera kalangan priyayi (hal. 174-188). Mungkin karena panjangnya itulah, DDTL cetakan sebelum cetakan ke 5, tidak memuatnya lengkap. Membaca Surat-surat Kartini-nya Sulastin memang kemudian terbayangkan, demikianlah kehidupan kaum bangsawan Jawa Tengah dan atau bumiputera waktu itu. Adalah biasa seorang bupati mempunyai istri lebih dari 4 orang dengan anak puluhan jumlahnya Dan hal ini yang paling mengganggu pikiran Kartini. Saya Genit Juga tentang adat-istiadat "Barat dan " Timur". Dalam suratnya kepada: Nona E.H. Zeehandelaar (6 November 1899),antara lain Kartini menulis:....saya harus tertawa sekali membaca pertanyaanmu: "Bolehkah kamu misalnya sekali waktu tanpa izin dengan mesra memeluk orang tuamu?". Dengarkanlah, untuk pertama kalinya saya harus mencium orang tua, saudara laki-laki dan saudara perempuan saya. Mencium tidak biasa dalam dunia Jawa. Hanya kanak-kanak berumur satu sampai, 3, 4, 5, 6 tahun yang bisa dicium. Hanya teman-teman wanita bangsa Belanda kami mencium kami dan kami mencium kembali. Hal yang terakhir ini bahkan belum lama terjadi". Surat Kartini kepada Nyonya R.M., Abendanon-Mandri (12 Oktober 1902) antara lain demikian: "Telah sejak setahun saya mendengar sesuatu tentang diri saya sendiri yang membuat saya sedih. Saya genit". Kartini mengeluh karena gunjing orang kalau berbicara, dia juga menggunakan matanya. "Percayalah, bahwa hal itu saya perbuat tidak dengan sengaja." Dan lanjutnya "Orang ingin agar saya menundukkan mata dengan susila (pura-pura) saya tidak mau. Saya ingin melihat orang-orang di dalam matanya." Kartini bukan tokoh novel. Yang diutarakan dalam surat-suratnya adalah hal yang dilihat dan dialaminya sendiri. Dia saksi sekaligus pelaku, dalam suatu zaman yang mengalami pergeseran norma-norma -- Zaman penjajahan Belanda, waktu feodalisme masih kukuh (dan dia anak feodal berpangkat tinggi, bupati) dan Politik Etis mulai berpengaruh terhadap kehidupan elite Hindia-Belanda. Dari segi itulah agaknya, surat-surat Kartini bisa menjadi bahan perbandingan tentang norma-norma dan etika yang berubah.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus