SURAT-SURAT KARTINI
Renungan tentang dan untuk bangsanya.
Terjemahan: Sulastin Sutrisno.
Penerbit: Djambatan, Jakarta, 1979.
Tebal: 409 halaman.
BUAH pikiran Raden Ajeng Kartini tetap menjadi sumber
penulisan, penelitian dan pengetahuan. Itulah pendapat Prof.
Dr, Sulastin guru besar Sastra Melayu Klasik pada Universitas
Gajah Mada.
Maka Sulastin menerima tawaran Kementerian Kebudayaan,
Rekreasi dan Kesejahteraan Belanda untuk menerjemahkan Door
Duisterrnis Tot Licht (DDTL) cetakan ke-5 -- yang memuat
surat-surat Kartini dengan lebih lengkap, dibanding cetakan
sebelumnya. Tawaran itu pada 1972, ketika Sulastin mencari bahan
disertasinya di Negeri Belanda. Terjemahan dia kerjakan mulai
1976. Dan 25 September lalu, di Pusat Kebudayaan Belanda Erasmus
Huis, Jakarta. Sulastin membahas terjemahannya sendiri.
Kartini, tanpa surat-suratnya yang diterbitkan oleh Abendanon
(dan istrinya) -- Direktur Departemen Pendidikan, Agama dan
Kerajinan Belanda waktu itu dalam DDTL, tidak akan dikenal
seperti sekarang juga, sekiranya kedudukan sang ayah (Bupati
Jepara R.M.A.A. Sosroningrat) tidak tinggi, tidak akan ada
kesempatan bagi Kartini berkenalan dengan pejabat-pejabat
Belanda. Dan seandainya Kartini tidak cepat meninggal
(menikah dalam usia 24 tahun dan men meninggal setahun
kemudian) dan tidak "kebetulan" teman-teman Belandanya
menyimpan surat-suratnya, nasib Kartini akan sama saja
seperti kebanyakan perempuan Indonesia seangkatannya yang lain.
Sesungguhnya buah pikirannya yang sebegitu jauh diketahui
ditulis dalam bahasa Belanda -- secara lengkap, tidak banyak
diketahui orang Indonesia. Armijn Pane yang menerjemahkan DDTL
hanya memuat 87 surat dari 104 surat yang berhasil dikumpulkan
suami istri Abendanon tersebut. Surat-surat itu pun tidak
dimuatnya secara lengkap. R. Sasrasoeganda (Panitia Fonds
Kartini, Surabaya, 1938), yang menerjemahkan DDTL ke dalam
bahasa Jawa dengan judul Mboekak Pepeteng, hanya memuat 70 buah
surat.
Pun terjemahan surat-surat Kartini dalam bahasa asing yang
lali, tak lengkap. Prof. L.Ch. Damais hanya memuat 19 surat
dalam Letters de Raden Adjeng Kartini (Paris, 1960). Pula
Agnes Louise Symmers dalam Letters of A Javanese Princess
(Oxford Kualalumpur, 1976), hanya memuat 75 buah surat.
Agaknya hanya DDTL cetakan ke-5 sajalah yang berhasil memuat 120
buah surat Kartini, Meskipun ini bukan berarti sudah komplit.
Menurut Dr. H, Bouman -- salah seorang peneliti Kartini masih
banyak surat-surat Kartini yang tercecer, karena pemiliknya
enggan menyerahkan dokumen kontak pribadi untuk diterbitkan.
Isteri Bupati
"Tulisan-tulisannya ketika dia berada di Jepara itulah," ucap
Sulastin, "benar-benar cetusan gagasan modern. Dan dari situlah
Kartini berhak mendapat sebutan Pahlawan Kemerdekaan Nasional".
Dalam pembahasan malam itu, Sulastin berpendapat, bahwa
surat-surat Kartini yang ditulis di Rembang, setelah ia menikah
dengan bupati Rembang, tidak bermutu lagi.
Kartini memang dengan sangat berat nenerima lamaran Bupati
Rembang Djojohadiningrat. Mungkin, pertama-tama ia menerima
lamaran itu untuk membahagiakan orang tuanya. Meski Kartini pun
melihat hal yang menguntungkan cita-citanya dengan pernikahan
ini. "Sebagai istri bupati, saya akan bebas melaksanakan
kehendak saya, daripada sebagai anak bupati. Istri bupati
pengaruhnya akan lebih besar," demikian tulisnya ketika dia
memberitakan pertunangannya kepada Nyonya Ovink Soer.
Membaca surat asli Kartini, cukup nengasyikkan. Walaupun banyak
surat-suratnya sepanjang sebuah makalah. Misalnya surat Kartini
untuk nyonya H.G. de Booij-Boissevain (21 Maret, 1902) yang
bercerita tentang perkawinan bumiputera kalangan priyayi (hal.
174-188). Mungkin karena panjangnya itulah, DDTL cetakan sebelum
cetakan ke 5, tidak memuatnya lengkap.
Membaca Surat-surat Kartini-nya Sulastin memang kemudian
terbayangkan, demikianlah kehidupan kaum bangsawan Jawa Tengah
dan atau bumiputera waktu itu. Adalah biasa seorang bupati
mempunyai istri lebih dari 4 orang dengan anak puluhan
jumlahnya Dan hal ini yang paling mengganggu pikiran Kartini.
Saya Genit
Juga tentang adat-istiadat "Barat dan " Timur". Dalam suratnya
kepada: Nona E.H. Zeehandelaar (6 November 1899),antara
lain Kartini menulis:....saya harus tertawa sekali membaca
pertanyaanmu: "Bolehkah kamu misalnya sekali waktu tanpa izin
dengan mesra memeluk orang tuamu?". Dengarkanlah, untuk pertama
kalinya saya harus mencium orang tua, saudara laki-laki dan
saudara perempuan saya. Mencium tidak biasa dalam dunia Jawa.
Hanya kanak-kanak berumur satu sampai, 3, 4, 5, 6 tahun yang
bisa dicium. Hanya teman-teman wanita bangsa Belanda kami
mencium kami dan kami mencium kembali. Hal yang terakhir ini
bahkan belum lama terjadi".
Surat Kartini kepada Nyonya R.M., Abendanon-Mandri (12 Oktober
1902) antara lain demikian: "Telah sejak setahun saya mendengar
sesuatu tentang diri saya sendiri yang membuat saya sedih. Saya
genit". Kartini mengeluh karena gunjing orang kalau berbicara,
dia juga menggunakan matanya. "Percayalah, bahwa hal itu saya
perbuat tidak dengan sengaja." Dan lanjutnya "Orang ingin agar
saya menundukkan mata dengan susila (pura-pura) saya tidak mau.
Saya ingin melihat orang-orang di dalam matanya."
Kartini bukan tokoh novel. Yang diutarakan dalam surat-suratnya
adalah hal yang dilihat dan dialaminya sendiri. Dia saksi
sekaligus pelaku, dalam suatu zaman yang mengalami pergeseran
norma-norma -- Zaman penjajahan Belanda, waktu feodalisme masih
kukuh (dan dia anak feodal berpangkat tinggi, bupati) dan
Politik Etis mulai berpengaruh terhadap kehidupan elite
Hindia-Belanda.
Dari segi itulah agaknya, surat-surat Kartini bisa menjadi bahan
perbandingan tentang norma-norma dan etika yang berubah.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini