Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Rizal Ramli:"Bulog akan Saya Bongkar Habis"

16 April 2000 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PEMERINTAHAN Abdurrahman Wahid tersandung masalah kelebihan gabah. Dalam dua setengah bulan terakhir, harga gabah di tingkat petani jatuh hingga di bawah Rp 800 per kilogram. Padahal, pemerintah mematok harga Rp 1.020 per kilogram. Kepala Badan Urusan Logistik (Kabulog) yang baru, Rizal Ramli, 47 tahun, menyatakan target itu harus tercapai dalam waktu kurang dari sebulan. Ini semacam "janji" yang tak mudah dipenuhi. Sebab, selain beras impor melimpah di pasar, Indonesia sedang panen raya.

Celakanya, pemerintah tidak sigap mengucurkan dana pembelian beras. Ketika akhirnya dicairkan Rp 700 miliar, gabah yang tersisa di tangan petani tinggal sepertiganya. Itu pun sebagian besar untuk konsumsi sendiri. Rizal, doktor ekonomi lulusan Universitas Boston—pekan lalu menelusuri sawah di Karawang, Jawa Barat—berusaha mengatasi hambatan dengan memacu Bulog untuk memborong gabah dan serentak dengan itu menunda impor beras. Berikut ini petikan wawancaranya dengan wartawan TEMPO Setiyardi.


Sewaktu ditawari menjadi Kabulog, apa yang Anda pikirkan?

Terus terang, sebelumnya saya masih mikir-mikir karena saya bukan orang mikro. Saya ini orang makro-ekonomi dan strategi industri. Saya juga pernah ditawari menjadi Ketua Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), tapi saya tolak. Kalau menjadi Ketua BPK, saya akan mengurusi persoalan-persoalan masa lalu. Padahal, saya dididik untuk menyelesaikan persoalan sekarang dan masa depan.

Kok, akhirnya mau?

Saya melihat Gus Dur memperhatikan nasib petani. Dan stabilitas bisa dibangun melalui petani, tidak cuma dengan tentara seperti pada zaman Orde Baru. Lihat saja Partai Demokratik Liberal (LDP) di Jepang, yang bisa sangat kuat karena membangun aliansi dengan petani.

Selain itu, saya mendapat telepon dari berbagai kalangan, terutama para aktivis. Ratna Sarumpaet mengatakan, "Ambil tuh kerjaan. Jangan sok jadi intelektual. Makan tuh intelektual!" Ada juga yang mengirimi puisi.

Apa prioritas Anda?

Saat ini saya dikejar waktu untuk mengurus harga beras yang anjlok. Soal yang lain-lain, seperti masalah organisasi Bulog, akan saya pikirkan belakangan. Kalau sekarang ngurusin maling-maling di Bulog, sementara harga gabah tetap jelek, petani akan marah.

Apa masalah yang paling krusial dalam urusan gabah ini?

Masalah terpenting adalah pembiayaan. Meski sudah dirapatkan di Ekuin, tidak jalan di level bawah. Ada kelemahan operasional. Saya sudah menghubungi Bank Rakyat Indonesia (BRI) untuk memecahkan masalah ini. Dulu, memang banyak kredit macet di kredit usaha tani (KUT), tapi untuk bisnis beras ini seharusnya BRI berani mengambil risiko. Ini bisnis yang sangat menguntungkan dengan risiko kecil. Kalau Bulog menarik diri dari BRI, bisa-bisa BRI menjadi pasien Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN).

Mengancam, ya?

Saya mau agar BRI kooperatif. Ini menyangkut nasib jutaan petani. Lagi pula, risiko bisnis pengadaan pangan cuma 1-2 persen. Saya juga mengingatkan pihak BRI bahwa bisnis Bulog triliunan rupiah. Jadi, Bulog nasabah yang sangat potensial.

Bagaimana dengan beras impor yang masih melimpah di pasar?

Impor beras sudah kita stop karena jumlahnya masih sangat besar. Pemerintah sebetulnya sudah mengenakan bea masuk Rp 430 per kilogram. Ternyata, impor masih saja dilakukan. Saat ini masih ada 175 ribu ton beras yang sudah disepakati untuk diimpor. Kami sedang bernegosiasi dengan importir agar pengapalannya ditunda sampai operasi pembelian gabah petani selesai.

Bagaimana dengan kecenderungan Dana Moneter Internasional (IMF) yang ingin menghapus lembaga seperti Bulog?

Kita sering berlebihan bila mengambil sikap terhadap IMF. Padahal, keahlian utama IMF adalah dalam makro-ekonomi dan moneter, khususnya di bidang neraca pembayaran. Dalam kasus Indonesia, IMF telah go to far. Mereka mau mengurusi pertanian, industri, dan bank komersial sekaligus, padahal kompetensinya tak di sana.

Lantas, mengapa kita mau didikte IMF?

Itulah soalnya. Dengan gampangnya kita menandatangani letter of intent (LoI). Selain itu, kita memiliki banyak orang yang bermental inlander. Ada apa-apa langsung lapor ke IMF. Soal tarif beras, ada yang menelepon penjabat sementara Direktur Pelaksana IMF Stanley Fischer. Fischer akhirnya menelepon ke Gus Dur dan Menko Ekuin. Orang seperti itu norak dan kampungan!

Siapa mereka?

Yang jelas, dia orang dalam Bulog, tapi saya tidak mau menyebut namanya.

Apakah Anda yakin akan bisa mengatasi korupsi di Bulog?

Sementara waktu ini, saya akan menutup mata terhadap berbagai masalah masa lampau Bulog yang menjadi sarang koruptor. Pada saatnya nanti akan saya bongkar habis. Saya enggak peduli, saya ini orang yang ilang-ilangan. Setiap ada laporan yang disertai bukti akurat, orang itu langsung saya pecat.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus