Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
THE INSIDER | ||
Sutradara | : | Michael Mann |
Skenario | : | Eric Roth,Marie Brenner |
Pemain | : | Al Pacino,Russel Crowe. |
Jeffrey Wigand (Russell Crowe) baru dipecat dari kedudukannya sebagai Wakil Presiden Litbang Brown & Williamson (B&W), sebuah perusahaan tembakau ternama. Hasil risetnya menunjukkan, sejumlah perusahaan tembakau sengaja memanipulasi kuantitas nikotin di dalam rokok untuk menjamin adiksi. Penemuan ilmuwan ini menjadi informasi penting lantaran beberapa tahun sebelumnya, tujuh perusahaan tembakau raksasa memberi kesaksian di bawah sumpah kepada kongres bahwa nikotin tidak adiktif.
Kehidupan Wigand kian rumit ketika berjumpa Lowell Bergman (Al Pacino), produser program TV 60 Minutes yang menduga bahwa bapak dua anak ini memiliki informasi penting yang layak didengar publik. Namun, Wigand tidak berdaya karena terikat perjanjian confidentialitydengan segenap ancamannya jika dilanggaryang melarang dia membuka rahasia perusahaan itu.
Betapapun, Lowell menemukan jalan sah untuk membebaskan Wigand dari perjanjian tersebut. Dan bersama Mike Wallace (Christopher Plummer), wartawan terkemuka pembawa acara 60 Minutes, mereka berhasil melakukan wawancara eksklusif dengan Wigand, yang memutuskan untuk membeberkan rahasianya. Namun, setelah programnya siap tayang, Columbia Broadcasting System (CBS) mendadak melarang penyiarannya. Ini disebabkan oleh kemungkinan munculnya tuntutan dari B&W yang dapat menghalangi rencana pengambilalihan CBS, yang akan membuat beberapa petingginya kaya raya.
Film The Insider karya Michael Mann (Heat; The Last of the Mohicans) mengisahkan dua hal. Bagian pertama mengisahkan perjuangan batin Wigand menuju kepada pengakuannya. Konflik batin ini diperankan dengan gemilang oleh Crowe, aktor muda asal Australia yang namanya melejit beberapa tahun lalu melalui film LA Confidential. Crowe, yang biasa kita lihat sebagai laki-laki muda gagah, kali ini tampil dengan rambut putih menipis layaknya seorang yang menjadi tua sebelum waktunya. Bagaimana tidak, tokoh Wigand memikul beban yang berat: konflik dengan bekas bosnya, teror yang dialami keluarganya, kemungkinan ditinggalkan istri dan anak-anaknya, dan ancaman masuk penjara. Toh, kebenaran tetap harus disampaikan.
Wigand seperti bom waktu yang siap meledak, dan Crowe berhasil melukiskannya dengan sempurnafigur tragis yang berada di puncak kegelisahan. Kerja kamera menjelmakan perasaan dan emosi Wigand dengan baik.
Ini terlihat melalui sinematografi yang digarap Dante Spinotti, yang cenderung menggunakan shot dengan kamera hand-held yang menguntit Wigand ke mana pun ia pergi. Ini merealisasi paranoia dan kebimbangan yang dirasakannya.
Sayangnya, pada bagian kedua, fokus berpindah pada karakter Bergman dan perjuangannya mempertahankan narasumber dan independensi jurnalistik dalam program televisinya. Wigand pun berangsur hilang dan menjadi bagian latar belakang. Tampaknya, Mann ingin menjelaskan bahwa yang penting adalah sebuah prinsip, dan bukan sosoknya. Tetapi keputusan ini tetap terasa janggal karena penonton telah mengikuti hidup Wigand lebih dari satu jam, dan sebuah hubungan emosional sudah terjalin di antara mereka.
Memang, Al Pacino memainkan Lowell dengan intensitas dan energi yang tinggi. Tapi justru itu yang kadang-kadang menyebabkan kehadirannya menjadi terlalu mencolok dan membuat kita "kekenyangan". Harus diakui, Pacino punya aura kuat, dan kerap lebih dahsyat ketimbang kemampuan aktingnya. Ketika spotlight film bergeser, seorang Al Pacino sekalipun tak mampu memindahkan simpati penonton.
The Insider, yang diangkat dari kisah nyata, menggambarkan saat-saat suram dalam sejarah CBS News. Skandal ini menunjukkan bahwa pada era yang gegap dengan perjuangan kebebasan pers, demokrasi, dan hak asasi manusia, integritas dan obyektivitas jurnalistik masih juga bisa ditepis demi uang.
Menjelang akhir film, The New York Times membongkar aib CBS dan orang-orang yang terlibat di dalamnya, termasuk Wallace, yang untuk sesaat berpihak pada CBSmelupakan Lowell (sahabat lama dan koleganya) serta kode etik jurnalistik. Pada sebuah adegan yang mengesankan, Lowell mencoba menghiburnya dengan mengatakan semua keramaian itu akan berlalu dalam 15 menit saja. Wallace, yang pada awal film tampil angkuh dan berkuasa, mendadak terlihat rentan. Dengan suara lirih, ia menjawab kawannya: "Tidak. Itu berlaku untuk kemasyhuran. Kita bisa mendapatkan ketenaran selama 15 menit. Tetapi, ketenaran karena sesuatu yang buruk akan melekat di benak lebih lama."
Rayya Makarim
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo