Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sumreg kang bala lumaris bubare saking Ngayugya, Asri tinom gegamane akeh warnane kang bala, Wong sabrang lan wong Jawa swarane atri gumuruh, Kadi ombake samodra.
Tembang itu meremangkan bulu kuduk. Sebuah kekacauan tengah digambarkan. Sementara dulu gejolak itu menyangkut suksesi dinasti Mataram, kini gejolak itu berupa bencana alam. Bayangan gempa muncul begitu jelas. Sembilan penari bergerak hilir-mudik. Penari lain, yang biasanya menari mandheg atau diam, tampak menggunakan gerak milir (mengalir).
Suasana politik pemerintahan Mataram masa itu tergambar. Syair di atas menunjukkan ramainya tentara bersenjata berjalan dari Yogyakarta. Suaranya laksana ombak. Dengan iringan gending Gedhe, Gati, juga Ladrang Ketawang, para penari tak terpaku pada gerakan yang teratur, tapi memancarkan gejolak. Horeg.
Bedaya Sumreg, tarian pusaka yang memiliki sejarah panjang itu, dipentaskan kembali di Pagelaran Keraton untuk memperingati 250 tahun Kota Yogyakarta, Sabtu dua pekan lalu. Bedaya ini ada sejak zaman Mataram hingga masa pemerintahan Sri Sultan Hamengku Buwono IV (1855–1877). Dalam catatan sejarah, tarian ini merupakan warisan Sri Susuhunan Paku Buwono I, setelah Mataram pecah akibat Perjanjian Giyanti (1755).
Menurut Th. Suharti, dosen tari Institut Seni Indonesia, sumreg berarti horeg, kegemparan. Kala itu suasana Mataram penuh dengan gejolak. Setelah Mataram pecah, tarian itu dilestarikan oleh Sultan Hamengku Buwono I, dilanjutkan Sultan Hamengku Buwono II dan III. Tapi bedaya ini baru pertama kali dipentaskan di depan umum pada penobatan Sultan Hamengku Buwono IV.
Untuk mementaskan kembali bedaya ini, para guru tari Kridha Mardawa Keraton Yogyakarta membuka kembali lembaran-lembaran manuskrip, untuk kemudian membangun koreografi yang sesuai dengan masa kini. Tim guru ini banyak memangkas gerakan. Lalu, Sri Kadaryati membuat koreografi baru agar tarian itu lebih nyaman ditonton. Sementara sebelum dipangkas tarian ini berdurasi empat jam, kini tinggal 45 menit. Ini agar tak membosankan karena banyak pengulangan gerakan.
Menurut Suharti, pemangkasan semacam itu biasa dilakukan pada tari bedaya lain. Lihat saja Bedaya Semang. Berdasarkan manuskrip, tarian itu memakan waktu empat jam, dan telah dipangkas menjadi 100 menit. ”Sekarang ini kita harus menyesuaikan waktu. Yang penting maknanya tak hilang,” tutur Suharti.
Kesulitan muncul ketika tim merekonstruksi kembali Bedaya Sumreg. Tim guru Kridha Mardawa memburu informasi sampai ke Solo, tapi sama sekali tak menemukan catatan tentang Bedaya Sumreg. Bahkan nama gendingnya pun tidak dikenal. Rupanya, Paku Buwono I menurunkan karyanya untuk Keraton Yogya.
Dari manuskrip yang tersimpan di Museum Kridha Mardawa, diketahui manuskrip itu dibuat sejak masa pemerintahan Hamengku Buwono VI. Sultan Hamengku Buwono III dan IV telah berupaya merekonstruksi kembali bedaya ini. Mereka juga menyiapkan kembali notasi tari, termasuk pola lantai serta iringannya, agar tetap mengacu pada lampah bedhayan, tapi baru selesai pada masa pemerintahan Hamengku Buwono VI.
Anna Retno Wuryastuti, satu di antara sembilan penari bedaya ini, mengatakan tarian ini muncul kembali sebagai upaya menduplikasi Bedaya Ketawang karya Sultan Agung Prabu Hanyakrakusuma. Dalam penelitiannya untuk tugas akhir S1, Anna mengutip pendapat R.Ng. Pradjapangrawit bahwa gending pengiring bedaya ini mirip gending iringan Bedaya Ketawang.
Penari Miroto menilai pergelaran itu terhitung istimewa di tengah anggapan bahwa seni keraton tak lagi aktual. Karena itu, Miroto berharap pementasan ini akan berkelanjutan. ”Eman-eman, to (Sayang),” katanya.
Tapi Gusti Bendara Pangeran Haryo Yudhaningrat sebagai Pengageng Kawedanan Hageng Punokawan Kridha Mardawa tidak berani memberi harapan. ”Itu semua tergantung Ngarsa Dalem (Sultan). Kalau tidak ada dawuh (perintah), saya tidak berani (mementaskannya),” kata Haryo.
L.N. Idayanie (Yogyakarta)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo