Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Setelah Gejolak Datang Lagi

Keraton Yogyakarta mementaskan Bedaya Sumreg. Warisan Paku Buwono I setelah Mataram pecah akibat Perjanjian Giyanti.

11 September 2006 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sumreg kang bala lumaris bubare saking Ngayugya, Asri tinom gegamane akeh warnane kang bala, Wong sabrang lan wong Jawa swarane atri gumuruh, Kadi ombake samodra.

Tem­bang itu meremangkan bu­lu kuduk. Sebuah kekacauan te­ngah digambarkan. Sementara­ dulu gejolak itu menyangkut suk­sesi dinasti Mataram, kini gejolak itu berupa bencana alam. Bayangan gem­pa muncul begitu jelas. Sembilan pe­nari bergerak hilir-mudik. Penari lain, yang biasanya menari mandheg atau diam, tampak menggunakan ge­rak milir (mengalir).

Suasana politik pemerintahan Ma­taram masa itu tergambar. Syair di atas menunjukkan ramainya tentara ber­­senjata berjalan dari Yogyakarta. Sua­ranya laksana ombak. De­ngan iring­an gending Gedhe, Gati, juga La­drang Ketawang, para penari tak terpa­ku pada gerakan yang teratur, tapi memancarkan gejolak. Horeg.

Be­daya Sumreg, tarian pusaka yang me­miliki sejarah panjang itu, dipen­tas­kan kembali di Pagelaran Ke­ra­ton untuk memperingati 250 tahun Kota Yogyakarta, Sabtu dua pekan lalu. Bedaya ini ada sejak zaman Ma­taram hingga masa pemerintahan Sri Sultan Hamengku Buwono IV (1855–1877). Dalam catatan sejarah, ta­rian ini merupakan warisan Sri Susuhun­an Paku Buwono I, setelah Ma­ta­ram pecah akibat Perjanjian Giyan­ti (1755).

Menurut Th. Suharti, dosen tari Ins­ti­tut Seni Indonesia, sumreg ber­arti horeg, kegemparan. Kala itu sua­sa­na Mataram penuh dengan gejo­lak. Se­telah Mataram pecah, tarian itu di­lestarikan oleh Sultan Hamengku­ ­Buwono I, dilanjutkan Sultan Ha­mengku Buwono II dan III. Tapi bedaya­ ini ba­ru pertama kali dipentaskan di depan umum pada penobatan Sultan Ha­mengku Buwono IV.

Untuk mementaskan kembali be­da­ya ini, para guru tari Kridha Mardawa Keraton Yogyakarta membuka kembali lembaran-lembaran manuskrip, untuk kemudian membangun koreografi yang sesuai dengan masa kini. Tim guru ini banyak memangkas gerak­an. Lalu, Sri Kadaryati membuat koreografi baru agar tarian itu lebih nyaman ditonton. Sementara sebelum dipangkas tarian ini berdurasi empat jam, kini tinggal 45 menit. Ini agar tak membosankan karena banyak pengulangan gerakan.

Menurut Suharti, pemangkasan se­macam itu biasa dilakukan pada tari be­daya lain. Lihat saja Bedaya Semang. Berdasarkan manuskrip, tarian itu memakan waktu empat jam, dan telah dipangkas menjadi 100 menit. ”Sekarang ini kita harus menyesuaikan waktu. Yang penting maknanya tak hilang,” tutur Suharti.

Kesulitan muncul ketika tim me­rekonstruksi kembali Bedaya Sumreg. Tim guru Kridha Mardawa memburu informasi sampai ke Solo, tapi sama sekali tak menemukan catatan tentang Bedaya Sumreg. Bahkan nama gendingnya pun tidak dikenal. Rupa­nya, Paku Buwono I menurunkan karya­nya untuk Keraton Yogya.

Dari manuskrip yang tersimpan di Museum Kridha Mardawa, diketahui manuskrip itu dibuat sejak masa pemerintahan Hamengku Buwono VI. Sultan Hamengku Buwono III dan IV telah berupaya merekonstruksi kembali bedaya ini. Mereka juga menyiapkan kembali notasi tari, termasuk pola lantai serta iringannya, agar tetap mengacu pada lampah bedhayan, tapi baru selesai pada masa pemerintahan Hamengku Buwono VI.

Anna Retno Wuryastuti, satu di antara sembilan penari bedaya ini, me­ngatakan tarian ini muncul kembali sebagai upaya menduplikasi Bedaya Ketawang karya Sultan Agung Prabu Hanyakrakusuma. Dalam penelitiannya untuk tugas akhir S1, Anna mengutip pendapat R.Ng. Pradjapang­rawit bahwa gending pengiring bedaya ini mirip gending iringan Bedaya Ketawang.

Penari Miroto menilai pergelaran itu terhitung istimewa di tengah anggapan bahwa seni keraton tak lagi aktual. Karena itu, Miroto berharap pementasan ini akan berkelanjutan. ”Eman-eman, to (Sayang),” katanya.

Tapi Gusti Bendara Pangeran Har­yo Yudhaningrat sebagai Pengageng Ka­wedanan Hageng Punokawan Kridha Mardawa tidak berani memberi harapan. ”Itu semua tergantung Ngarsa Dalem (Sultan). Kalau tidak ada da­wuh (perintah), saya tidak berani (mementaskannya),” kata Haryo.

L.N. Idayanie (Yogyakarta)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus