MENGEJUTKAN. Dan pemandangan berubah total. Di Jalan Jenderal Ahmad Yani, Jakarta, sebuah pasar keramik bagai tumbuh dari dalam tanah. Kios-kios sederhana di kiri-kanan jalan itu, beberapa bulan berselang, masih sebagai tempat menjajakan semangka. Kini, keramik hias yang diperjualbelikan. Hijau semangka, yang selama ini berderet hingga 100 meter, sekarang "tersulap" jadi barisan keramik hias yang kaya warna-warni. Sebagian besar mengambil bentuk keramik kuno. Penjajanya malah ada yang mengaku: sebagian dagangannya ada yang "diimpor" dari Cina, Hong Kong, dan Taiwan. Pembeli, kata si penjaja, datang dari kalangan bermobil. Karena itulah jadi tak aneh bila omset pasar keramik di situ bisa mencapai jutaan rupiah sehari. Minat pada keramik hias memang lagi tumbuh. Dan dari semua jenis: murahan, yang kontemporer, yang kuno -- termasuk yang disimpan di museum. Selain ke sindikat maling, informasi tentang kecenderungan baru itu juga menyebar ke industri keramik rakyat, di berbagai tempat di Jawa. Lalu, bangkitlah gejala baru. Perajin mulai mengalihkan usahanya dari membuat genting dan alat rumah tangga ke pembuatan keramik hias. Ada di antaranya, dengan keterampilan tinggi, menciptakan keramik-keramik kuno tiruan yang sekilas memang sukar dibedakan dari asli. Plered, di jalur menuju Purwakarta, satu di antara kawasan yang mempertunjukkan metamorfose itu. Di sini sudah lama benda keramik diproduksi, dari poci ke genting. "Sejak saya belum lahir, tradisi ini sudah ada," ujar Sukirman Hadi. Menurut dia, kerajinan keramik di Plered adalah usaha keluarga -- mempekerjakan semua anggota keluarga. Mereka mengusahakan sebuah tungku pembakaran sederhana, dengan memanfaatkan semburan minyak tanah yang dibantu kipas angin biasa. Kelompok Hadi termasuk yang baru mulai memasuki tahap peralihan. Usaha utamanya masih membuat genting rumah yang diglasir -- prototip genting mahal yang banyak digunakan di rumah mewah. Keramik hias, seperti diungkap Hadi, keramik halus, walau masih usaha sambilan, dikerjakan ekstrasungguh-sungguh. Dan tanah liatnya diolah khusus. Di atas alat putar, poci keramik dikerjakan dengan sebuah kepekaan. Selama tiga minggu dikeringkan hanya dengan angin. Kemudian baru dibakar, jadi gerabah. Setelah itu, pengglasiran dilakukan dengan mengulang pembakaran pada gerabah yang sudah diberi lapisan, dengan suhu 1.000 derajat Celsius. Karena proses panjang itu, Hadi dan keluarganya, dalam sebulan hanya sanggup memproduksi 25 poci keramik halus. "Harganya sampai 100.000 rupiah per buah," ujar Hadi. Dan hasil kerajinan Hadi, seperti keramik rakyat lainnya, kemudian mengalir ke kota-kota besar, mampir ke toko-toko yang menjual barang-barang mewah, sebelum menghuni rumah gedongan sebagai "simbol status".
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini