Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Sisa-Sisa Pemerkosaan itu…

Iriantine Karnaya memamerkan patung-patung torso yang mengingatkan pada kerusuhan Mei 1998. Serpihan yang subtil.

10 Oktober 1999 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PAMERAN TUNGGAL PATUNG
Pematung:Iriantine Karnaya
Tempat:Galeri Lontar
MENGAPA ujung karya seni selalu berwujud keindahan? Bahkan, ketika dikemukakan tema tentang kehancuran atau kekejian, mengapa yang muncul selalu keindahan? Itulah keunikan dunia kesenian. Sepotong lukisan, puisi, film, musik, atau patung bisa mengalami perang tafsir dan perdebatan. Di sinilah keindahan kesenian kemudian terpancar sebagai karya manusia. Sama-sama misterinya, itulah manusia dengan hasil karyanya.

Ketika Iriantine muncul dengan karyanya, Gula dan Semut (1998), kita seperti melihat lahirnya seorang pematung. Karya terbaik dari Pameran Triennal II DKJ itu menggambarkan banyak sekali semut yang gede-gede, merangkak dari lantai ke dinding merubung gula. Dan Iriantine menambah pada jumlah pematung perempuan, yang sedikit dan terkikis itu. Ke mana Rita Widagdo dan Edith Ratna? Kali ini, dengan menampilkan berbagai ragam karya, Iriantine berunjuk rasa dengan 16 karya. Terbagi menjadi sejumlah bentuk, Iriantine juga mencoba merasakan volume wayang kulit dalam Yes…,She is (1998) dan Now…,I'm Leaving (1998), yang terbuat dari perunggu. Keduanya menafsir bentuk wayang kulit, tipis, bukan tiga dimensi, bagai guntingan gambar mainan kanak-kanak. Pada Yes, ia menggambarkan sepasang kekasih, sedangkan pada Now, ia menceritakan seorang ibu yang meninggalkan anak dan suaminya.

Partisipasi para seniman dalam kegembiraan menuju milenium ketiga bergerak pada nada yang paling dasar: berkarya dalam nuansa reformasi. Bersamaan dengan pameran Iriantine, di Galeri Nasional Indonesia, oleh Yayasan Seni Rupa Indonesia, untuk keenam kalinya dipamerkan lebih dari 100 batang lukisan yang bertarung memperebutkan Philip Morris Indonesian Award 1999. Dapat dianggap, sebagian besar karya melontarkan kritik (yang sangat keras) terhadap kekuasaan.

Iriantine, 48 tahun, adalah salah seorang yang ikut aktif memenuhi kebutuhan logistik demonstrasi mahasiswa hingga saat ini. Lulusan Seni Rupa ITB ini juga memantau kegiatan dan peran perempuan di Tanah Air. Pameran yang di antaranya menampilkan patung-patung ikan itu juga menampilkan empat patung torso yang menonjol pada pergelarannya kali ini, yakni Torso X, Torso XI, Torso XII, ketiganya karya 1998, dan torso yang menentukan, From Nothing to Something (1997), yang jadi hiasan buku katalognya. Patung perunggu itu kecil-kecil, terkesan seperti serpihan daging akibat tindak kekerasan, mempertegas kenistaan. Mengingatkan pada kerusuhan Mei 1998 di Jakarta, patung-patung itu diam bagai onggokan daging yang bisu. Jiwa yang tinggal di dasar sungai. Tak tertolong. Dilupakan. Dianggap tidak penting. Begitulah nasib perempuan di Indonesia, tidak menjadi bagian dari kehidupan, tinggal gembung (torso), tanpa tangan—tanpa kaki, tanpa harapan, tanpa mampu melakukan perlawanan.

Danarto

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus