Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PAMERAN TUNGGAL PATUNG | ||
Pematung | : | Iriantine Karnaya |
Tempat | : | Galeri Lontar |
Ketika Iriantine muncul dengan karyanya, Gula dan Semut (1998), kita seperti melihat lahirnya seorang pematung. Karya terbaik dari Pameran Triennal II DKJ itu menggambarkan banyak sekali semut yang gede-gede, merangkak dari lantai ke dinding merubung gula. Dan Iriantine menambah pada jumlah pematung perempuan, yang sedikit dan terkikis itu. Ke mana Rita Widagdo dan Edith Ratna? Kali ini, dengan menampilkan berbagai ragam karya, Iriantine berunjuk rasa dengan 16 karya. Terbagi menjadi sejumlah bentuk, Iriantine juga mencoba merasakan volume wayang kulit dalam Yes ,She is (1998) dan Now ,I'm Leaving (1998), yang terbuat dari perunggu. Keduanya menafsir bentuk wayang kulit, tipis, bukan tiga dimensi, bagai guntingan gambar mainan kanak-kanak. Pada Yes, ia menggambarkan sepasang kekasih, sedangkan pada Now, ia menceritakan seorang ibu yang meninggalkan anak dan suaminya.
Partisipasi para seniman dalam kegembiraan menuju milenium ketiga bergerak pada nada yang paling dasar: berkarya dalam nuansa reformasi. Bersamaan dengan pameran Iriantine, di Galeri Nasional Indonesia, oleh Yayasan Seni Rupa Indonesia, untuk keenam kalinya dipamerkan lebih dari 100 batang lukisan yang bertarung memperebutkan Philip Morris Indonesian Award 1999. Dapat dianggap, sebagian besar karya melontarkan kritik (yang sangat keras) terhadap kekuasaan.
Iriantine, 48 tahun, adalah salah seorang yang ikut aktif memenuhi kebutuhan logistik demonstrasi mahasiswa hingga saat ini. Lulusan Seni Rupa ITB ini juga memantau kegiatan dan peran perempuan di Tanah Air. Pameran yang di antaranya menampilkan patung-patung ikan itu juga menampilkan empat patung torso yang menonjol pada pergelarannya kali ini, yakni Torso X, Torso XI, Torso XII, ketiganya karya 1998, dan torso yang menentukan, From Nothing to Something (1997), yang jadi hiasan buku katalognya. Patung perunggu itu kecil-kecil, terkesan seperti serpihan daging akibat tindak kekerasan, mempertegas kenistaan. Mengingatkan pada kerusuhan Mei 1998 di Jakarta, patung-patung itu diam bagai onggokan daging yang bisu. Jiwa yang tinggal di dasar sungai. Tak tertolong. Dilupakan. Dianggap tidak penting. Begitulah nasib perempuan di Indonesia, tidak menjadi bagian dari kehidupan, tinggal gembung (torso), tanpa tangantanpa kaki, tanpa harapan, tanpa mampu melakukan perlawanan.
Danarto
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo