Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Sketsa Merah, Sketsa Kepedihan

Dua seniman Korea Utara memamerkan karyanya di Dia.Lo.Gue Artspace, Jakarta. Lewat warna merah, mereka menggambar penderitaan.

21 September 2015 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kedua anak itu duduk di ruang makan. Seorang di antaranya menangis. Mangkuk bubur mereka kosong. Foto Kim Il-sung dan Kim Jong-il terpasang di dinding. Tidak ada perabot lain di ruangan itu. Hanya kekosongan.

Kang Chun-hyok, 29 tahun, sengaja menampilkan kekosongan dalam gambar sketsa di ruang makan itu. "Semuanya tidak berarti. Hanya dua pasang foto itu yang selalu ada di dinding rumah kami," kata Kang, seniman asal Korea Utara, kepada Tempo, Selasa pekan lalu.

Ada 10 sketsa Kang Chun-hyok yang dipajang dalam pameran "Dari Kegelapan" di Dia.Lo.Gue Artspace, Jakarta Selatan, pekan lalu. Sketsa-sketsa berukuran 30 x 30 sentimeter itu merupakan masa lalu Kang Chun-hyok selama hidup di Korea Utara. Kelaparan, kegelapan, kerja paksa, dan penderitaan yang dia alami dia gambarkan secara detail lewat goresan pensil merah. Merah, kata dia, adalah warna komunisme, ideologi yang diusung negerinya.

Selama 13 tahun pertama kehidupannya, Kang yakin bahwa tidak ada lagi pemimpin selain Kim Il-sung dan Kim Jong-il yang sanggup memimpin hidup terorganisasi di Korea Utara. Salah satu sketsa Kang menampilkan hal ini lewat gambar seorang anak berteriak sembari memegang sebuah karung. Kucing di sampingnya kaget dengan teriakan itu. Tulisan hangeul terpampang di samping sang anak. Bunyinya, "Thank you supreme leader!" Menurut Kang, ucapan itu selalu diteriakkan masyarakat Korea Utara ketika mendapatkan hadiah. Apa pun bentuknya.

Dinasti Kim yang memimpin Korea Utara selama tiga generasi menempatkan diri mereka layaknya dewa. Sekolah di Korea Utara mendoktrin siswanya tunduk dan percaya bahwa pemimpin tertinggi akan menyelamatkan mereka semua. Sekolah mengajarkan tidak ada negeri semakmur Korea Utara. Kenyataannya, kelaparan 1994-1998 terjadi. Saat itu Kang duduk di kelas III sekolah dasar. Bersama kawan-kawannya, Kang hanya bisa menangis tanpa suara memandang kawannya, Oh Eun-kyeong, tewas karena makan semangkuk biji aprikot liar setelah lama menderita kelaparan. Kelaparan yang sama pula yang merenggut sahabatnya, Lee Kwang-jin, yang mati membeku pada musim dingin.

Penderitaan ini dia gambarkan lewat sketsa seorang tentara memegang mangkuk dan makan mi dengan lahapnya. Sedangkan seorang anak jalanan memunguti potongan mi yang jatuh untuk dimakan. "Saya tidak mengalami ini, tapi ini sungguh terjadi. Anak-anak yang lebih besar masih bisa mencuri dan lari. Tapi, untuk anak yang lebih kecil, mereka hanya bisa menunggu mi itu jatuh ke tanah untuk makan," kata Kang.

Menurut Kang, tentara menjaga ladang di desa-desa agar tak dicuri penduduk yang kelaparan. Padahal ladang itu dicangkul oleh petani dan anak-anak hingga panen tiba. "Tapi semua diambil negara. Sebab, tanah di Korea Utara adalah milik negara," katanya sembari menunjuk sketsa berjudul Pulling Weeds After School.

Dalam sketsa lain, Kang menggambar seorang anak membawa jala, tali pancing, dan ember berjalan di pinggir sungai. "Ini adalah gambaran desa tempat saya tinggal. Saya mencari ikan dan pulang sore hari untuk dibawa ke rumah," katanya. Gundukan tinggi yang ada di latar bukanlah gunung, melainkan tumpukan sampah pertambangan. Kang tinggal di desa pertambangan di Kabupaten Onsung, Provinsi Hamkyeong Utara. Tiap hari gerobak-gerobak naik-turun di tempat itu untuk membuang ampas batu bara hingga menggunung. "Gunungan sampah itu bentuknya memang seperti ini," dia melanjutkan.

Ada juga sketsa anak-anak yang mengambil air dari pecahan es. Anak kurus bertelanjang dada, dengan tulang-tulang menonjol, membawa senjata tajam bersebelahan dengan tengkorak manusia. Seperti inilah kehidupan anak Korea yang digambarkan Kang Chun-hyok.

Kang dan keluarganya menyeberangi Sungai Tuman pada Maret 1998 menuju Cina. Pada 2001, mereka sampai di Korea Selatan. Kang butuh waktu untuk beradaptasi. Dua tahun kemudian, dia menghadiri konferensi internasional hak asasi manusia di Praha. Dia juga mendapatkan beasiswa seni di Universitas Hongik. Di Korea Selatan, Kang menjadi penyanyi hip-hop pendatang baru dan baru saja merilis album perdananya.

Tinggal di Korea Selatan, tapi bayangan masa lalu tidak pernah benar-benar bisa dilepaskan. Dua tahun lalu ibunya meninggal karena tuberkulosis. Kang menghubungkan penyakit itu dengan pekerjaan ibunya di pertambangan selama di Korea Utara dalam lirik rap yang dia nyanyikan dalam acara realitas televisi Show Me the Money. Ironisnya, Kang menemukan bakat menggambarnya dalam kenestapaan hidup di Korea Utara. "Dulu kami kelaparan. Karena lapar dan lemas, saya tak sanggup keluar dari rumah. Saya hanya mengurung diri di kamar. Di sanalah saya menemukan kecintaan saya pada gambar," katanya. "Di Korea Selatan, saya bermusik untuk hidup. Tapi saya akan terus menggambar kehidupan di Korea Utara. Saya ingin dunia tahu seperti apa kehidupan di Korea Utara sesungguhnya."

Selain menampilkan karya Kang, pameran seni yang digelar pada pekan hak asasi manusia Korea Utara selama 15-20 September 2015 di Jakarta itu memajang lima karya Sun Mu, yang dikenal oleh media Korea Selatan sebagai faceless painter. Sebab, dia menolak wajahnya dipotret.

"Dia khawatir wajahnya dikenali Korea Utara karena keluarganya masih tinggal di sana. Jika wajahnya dikenali, keluarganya di Korea Utara pasti dihukum," kata Michelle Park Sonen dari Citizens Alliance for North Korean Human Rights, yang membawa karya-karya Sun Mu dalam pameran ini. Seandainya harus tampil di galeri, kata Park Sonen, Sun Mu akan memakai topi yang menutup seluruh wajahnya. Sun Mu sendiri merupakan nama alias yang berasal dari dua kata dalam bahasa Korea yang bermakna "hilangnya batas".

Sun Mu, 33 tahun, tadinya adalah seniman yang bertugas mempropagandakan rezim Kim. Tatkala bencana kelaparan melanda negerinya pada 1998, Sun Mu pergi ke Cina secara ilegal untuk meminjam uang dari kerabatnya. Namun dia terlambat kembali dan melewatkan pemilihan umum di Korea Utara. Absennya Sun Mu dalam pemilu dan penyeberangan ilegal itu membuatnya dapat dihukum. Sun Mu terpaksa meninggalkan keluarganya. Pada 2002, dia tiba di Korea Selatan. Keterampilan Sun Mu yang dulu digunakan untuk memuliakan pemimpin Korea Utara dalam poster dan spanduk kini digunakan untuk mengkritik orang yang dulu dia anggap seperti dewa.

Pada karya berjudul Look at Us, Sun Mu melukis tiga pria yang susah payah mendorong dan menarik gerobak di atas rerumputan merah. Di langit merah jambu, ada tulisan Korea yang berarti "Mari kita tanggung penderitaan kita dengan senyuman!". Lukisan satire ini, menurut laporan The Verge, pernah dipamerkan di Cina. Namun, beberapa menit sebelum pembukaan pameran, polisi Cina menghalangi pengunjung yang hendak memasuki galeri dan memindahkan lukisan ini. Hubungan diplomatik Cina dan Korea Utara terbilang dekat, meski saat Kim Jong-un berkuasa sedikit mengendur.

Pada lukisan lain, masih dengan warna merah yang dominan, Sun Mu menggambarkan seorang pria muda menggunakan iPod, dengan earphone yang saling menjalin bertulisan "open". Lukisan ini merupakan kritik Sun Mu terhadap negaranya yang represif dan tertutup itu. Ada juga lukisan burung pink yang hendak terbang tinggi. Namun tertancap panah berwarna bendera merah dan biru tua—warna bendera Korea Utara--tiap kali burung-burung ini berpindah dari langit merah ke langit kuning.

Kritik paling keras mungkin tampak pada lukisan cat akrilik Gaze, yang menggambarkan sepasang mata yang tajam dan bengis melirik dari balik latar merah. Sun Mu sendiri tidak hadir dalam pekan hak asasi Korea Utara. Menurut Park Sonen, "persoalan keamanan" menjadi problem sesaat sebelum kedatangannya.

Sun Mu memperoleh perhatian internasional setelah menggelar pameran perdananya pada 2007. Lukisannya yang paling terkenal adalah Happy Children, satu seri lukisan anak-anak Korea Utara mengenakan baju dan tersenyum layaknya robot. "Mereka mengajarkan cara tersenyum. Ada cara tertentu untuk membentuk mulut Anda," kata Sun Mu kepada The New York Times pada 2009. "Kami tidak menyadari bahwa senyum kami dibuat."

Amandra Mustika Megarani

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus