Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Yanuar Nugroho dan Diah S. Saminarsih
Jauh dari perhatian kita, di New York, 2 Agustus 2015 pukul 18.26, sebanyak 193 negara anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa mengadopsi secara aklamasi dokumen berjudul "Transforming Our World: The 2030 Agenda for Sustainable Development" atau "Mengalihrupakan Dunia Kita: Agenda Tahun 2030 untuk Pembangunan Berkelanjutan". Dokumen aspiratif paling bersejarah dalam perjalanan pembangunan dunia 15 tahun ke depan itu akan disahkan dalam sidang PBB, akhir September ini.
Jantung dokumen yang juga disebut Agenda Pembangunan Pasca-2015 ini adalah Sustainable Development Goals (SDGs) atau Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Ia akan segera menggantikan Millennium Development Goals (MDGs), yang sudah mengubah wajah dunia dalam 15 tahun terakhir dan akan kedaluwarsa akhir tahun ini.
Dunia membutuhkan agenda global ini. Sejak MDGs lahir, dunia semakin kompleks. Banyak kemajuan, tapi juga banyak masalah baru. Total produk domestik bruto dunia saat ini sekitar US$ 80 triliun, hampir dua kali lipat dari tahun 2000. Teknologi berkembang pesat mendorong inovasi dan pertumbuhan ekonomi. Orang miskin berkurang hampir setengahnya sejak 2000. Demokrasi dirasakan di banyak negara yang sebelumnya terjajah kesewenang-wenangan.
Namun, dari 7 miliar penghuni bumi saat ini, lebih dari 2 miliar masih hidup dengan kurang dari US$ 1,5 per hari. Enam juta anak balita mati tiap tahun karena sakit dan kurang gizi serta lebih dari 300 ribu perempuan per tahun mati saat mengandung atau melahirkan. Konsentrasi CO2 mencapai tingkat tertinggi dalam 800 ribu tahun terakhir dan bahan bakar fosil masih jadi 81 persen produksi energi dunia. Sedangkan 130 juta hektare hutan tropis ditebangi satu dasawarsa terakhir atas nama pembangunan dan 1,3 miliar ton makanan per tahun disia-siakan. US$ 30 triliun uang rakyat dunia raib dikorupsi.
Daftar ini masih panjang. Intinya, jika kita teruskan cara membangun seperti biasa, dunia akan makin terpuruk. Itulah argumen Agenda Pasca-2015. Dan satu-satunya cara membangun adalah secara berkelanjutan, yang memastikan tiga dimensi--ekonomi, sosial, dan lingkungan--terperhitungkan dalam pembangunan.
Ada lima aspek pembangunan berkelanjutan menurut agenda global ini. Pertama, aspek manusia, yang menegaskan bahwa upaya menghapus kemiskinan dan kelaparan adalah dengan memastikan semua orang hidup bermartabat dalam kesetaraan sebagai manusia dan warga negara. Aspek ini sering diabaikan karena upaya pengentasan angka kemiskinan semata-mata dipandang sebagai proyek dan manusianya sebagai obyek.
Kedua, aspek planet, yang memastikan bahwa membangun berarti melindungi bumi dari kerusakan. Cara memproduksi dan mengkonsumsi harus lebih berkelanjutan, sumber daya alam harus dikelola lebih lestari, serta perubahan iklim harus ditangani dengan serius. Bumi adalah pinjaman dari anak-cucu kita, bukan warisan buat mereka.
Ketiga, pembangunan bertujuan mencapai kesejahteraan yang harus bisa dinikmati semua orang secara berkelanjutan. Kemajuan teknologi dan pertumbuhan ekonomi yang menciptakan kesejahteraan ini harus sejalan dengan prinsip tersebut.
Keempat, sejarah menunjukkan bahwa tidak ada pembangunan tanpa perdamaian dan tidak ada perdamaian tanpa pembangunan. Masyarakat yang damai, adil, dan inklusif serta bebas dari ketakutan dan kekerasan harus diwujudkan dan dipastikan oleh negara.
Terakhir, pemerintah tak bisa membangun sendirian. Ia membutuhkan kemitraan lintas pemangku kepentingan: masyarakat sipil, bisnis, akademikus, media, dan mitra pembangunan lain. Ini diperlukan untuk menggerakkan sumber daya pembangunan dengan prinsip solidaritas: pembangunan adalah upaya menjangkau warga yang paling miskin dan tersisih.
Patut dicatat, keterkaitan aspek-aspek pembangunan berkelanjutan ini amat mendasar. Bagi Indonesia, kelima aspek ini kunci untuk memastikan kita membangun negeri lebih manusiawi dan berkelanjutan. Tapi bagaimana caranya?
Sementara MDGs hanya berisi 8 sasaran dan 60 target, kini SDGs punya 17 sasaran dan 169 target pembangunan yang harus diraih dunia. Bila dilihat dari waktu yang dibutuhkan hingga lahirnya Instruksi Presiden Nomor 3 Tahun 2010 tentang pembangunan yang berkeadilan, Indonesia membutuhkan sekitar 10 tahun untuk mengarusutamakan MDGs dalam pembangunan nasional. Kini kita tak bisa selambat itu. Tapi apa yang dipertaruhkan dan apa yang harus dilakukan?
Pertama, meskipun sejalan dengan Nawacita, tetap dibutuhkan kerangka regulasi untuk memastikan integrasi SDGs dalam agenda pembangunan nasional. Mengingat rentang agenda ini 15 tahun, payung hukum yang memadai di sini adalah peraturan pemerintah. Ia akan menjadi referensi utama bagi birokrasi untuk melakukan implementasi, dari substansi hingga kecukupan anggaran.
Selanjutnya, perlu arsitektur tata kelembagaan di tingkat nasional untuk memastikan SDGs diimplementasikan di kementerian, lembaga, dan pemerintah daerah. Dibutuhkan sekretariat nasional SDGs, yang idealnya berada di Bappenas, sebagai clearing house para pemangku kepentingan pembangunan nasional. Sekretariat nasional perlu untuk mengorkestrasi implementasi dan merekapitulasi capaian SDGs di tingkat nasional. Selain itu, dibutuhkan sekretariat nasional SDGs di kementerian-kementerian kunci yang secara khusus menangani isu-isu pokok, seperti kesehatan, pendidikan, kemiskinan, infrastruktur dan industri, tata kelola institusi publik, serta lingkungan.
Kedua hal ini jadi prioritas karena agenda global harus diintegrasikan ke dalam agenda nasional. Jika dilihat sebagai entitas terpisah, implikasinya akan kompleks dan menimbulkan masalah redundansi yang tak perlu: dari perencanaan, penganggaran, implementasi, hingga monitoring dan evaluasinya.
Idealnya payung hukum ini sudah disahkan pada 1 Januari 2016, bertepatan dengan berakhirnya MDGs dan mulai berlakunya SDGs. Saat itu juga sekretariat nasional SDGs di Bappenas, meneruskan fungsi sekretariat nasional MDGs yang kedaluwarsa tahun ini, mulai bekerja. Satu kementerian kunci, yakni Kementerian Kesehatan, bahkan saat ini sudah memiliki sekretariat nasional Pasca-2015 untuk isu pembangunan terkait dengan kesehatan. Sekretariat nasional sektor kesehatan didirikan untuk menyiapkan integrasi dan implementasi SDGs di tingkat pusat dan daerah.
Kesiapan implementasi ini penting karena di sinilah pertaruhannya: SDGs adalah agenda global untuk diterjemahkan di tingkat nasional, dari pusat hingga desa. Sekretariat nasional di kementerian-kementerian kunci adalah jantung implementasi, dari penentuan sasaran-target-indikator pembangunan, eksekusi dan monitoring, sampai komunikasi dan kemitraan lintas aktor-lintas sektor pembangunan.
Hal terakhir tapi penting adalah pelibatan publik: masyarakat sipil, akademikus, dan sektor privat. Implementasi SDGs harus menjadi "laboratorium hidup" untuk bertukar pikiran, pengalaman, dan gagasan di antara semua pemangku kepentingan pembangunan.
Upaya menasionalkan agenda global ini harus berhasil karena apa yang lahir dari negosiasi antarpemerintah hanya bisa terwujud melalui kerja sama antarkomunitas.
Yanuar Nugroho kini Deputi II Kepala Staf Kepresidenan dan Diah S. Saminarsih adalah Asisten Utusan Khusus Presiden untuk MDGs
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo