Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Tak Pergi dari Randai dan Rantau

Festival Kelola menampilkan Nan Jombang. Akan berkeliling Amerika Serikat tahun depan.

21 September 2015 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Dengan gerak perlahan, penari laki-laki itu menegakkan kaki ke atas dengan tumpuan kepala dan lengan di pinggir meja. Sejurus kemudian dia mendaratkan kaki di meja, melenting dan melompat. Terdengar dengus napas kelegaan dan kekaguman di antara penonton melihat adegan yang cukup riskan di panggung itu.

Penari lain kemudian ikut berlompatan dan memutar kaki di udara bertumpu di pinggir meja. Tepukan tangan, riuh dentingan piring, dan tepukan di meja berirama cepat memompa adrenalin para penari yang bergerak lincah, rancak. Mereka mengawali dengan koreografi yang lambat di atas meja, tapi semakin cepat seiring dengan entakan atau tepukan di meja, denting piring dan kursi.

Koreografi ini, seperti koreografi asal Minang lain, menonjolkan gerak silat Minang dengan kuda-kuda rendah dalam gerakannya dan dielaborasi menjadi gerak kontemporer. Mereka bermain dalam tempo cepat dan lambat. Ada pula seperti gerak tari India dan tari sufi yang berputar-putar.

Nan Jombang, kelompok tari asal Padang, mempertontonkan koreografi lawas pada 2009, Rantau Berbisik, karya Ery Mefri di Auditorium Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia serta Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri Jakarta, 14-15 September 2015. Nomor ini merupakan koreografi yang berhasil meraih hibah Kelola dari Yayasan Kelola. Pentas Rantau Berbisik merupakan bagian dari rangkaian Festival Kelola.

Ery menuturkan Rantau Berbisik boleh disebut sebagai sekuel dari koreografi sebelumnya, Rantau. Merantau menjadi tradisi turun-temurun masyarakat Minangkabau yang dinilai membanggakan. "Jungkir baliknya para perantau digambarkan dengan para penari berjumpalitan di meja saji."

Koreografi Rantau Berbisik dinilai lebih berat daripada Rantau. Sebab, selain dasar tradisinya kuat, penuh gerakan yang menguras tenaga, konsentrasi, kelenturan dan kelentukan badan, juga kekuatan otot perut. Gerakan yang cukup riskan dilakukan di meja saji, seperti handstand dan kopstand, kayang, serta melompat lalu menggendong salah satu penari yang menegakkan kaki ke atas.

Tak seperti Rantau yang hanya menceritakan bagaimana kehidupan para perantau tanah Minang, kini dia ingin berkisah tentang persepsi yang selalu salah terhadap para perantau. Perantau selalu dipandang sebagai orang yang sukses, bahagia, pulang selalu membawa hasil, tak peduli apa yang dilakukan di perantauan.

"Kalau sudah pulang pasti keluarga atau masyarakat sekitarnya minta hasil jerih payah. Padahal di perantauan susah payah harus kerja keras," ujar Ery. Kali ini Ery dengan koreografinya juga mengeksplorasi perasaan ibu yang ditinggal merantau. Kesedihan ditampilkan dalam lantunan pilu yang menyayat hati dan ekspresi mimik kesedihan salah satu penarinya. Di Minangkabau, dengan sistem matrilineal, perempuan menjadi kunci untuk semua urusan, termasuk urusan perut.

"Karena itu, sang penari menduduki, melangkahi, dan menari di meja saji sebagai simbolnya," ujar pria kelahiran Saningbakar, Singkarak, Solok, ini. Penggambaran sang ibu berupaya membujuk tapi tak berhasil dengan koreografi para penari yang berpelukan dan melakukan akrobatik di meja dan memanggul meja seberat 75 kilogram itu.

Di panggung di Auditorium FIB UI, kesan dramatis pementasan ini terlihat lebih menyentuh. Adapun di panggung terbuka FBS UNJ, terasa lebih hangat meski tanpa dukungan tata lampu dan suara yang memadai. Seperti koreografi sebelumnya, Ery tak memakai musik pengiring, tapi tetap menonjolkan aneka bunyi yang diperoleh dari dendang; lolongan; tepukan tangan; tepukan di badan, paha, dan meja; dentingan logam di piring; piring bertemu dengan piring; bahkan gebrakan di celana lebar. Ery bertolak dari teater tradisional Randai, yang menggabungkan musik, tari, dan teater.

Koreografi ini merupakan eksplorasi koreografi yang berbasis tarian tradisional Piring Darandai. Randai inilah yang sedang dielaborasi lagi oleh Ery untuk dibawa tur ke Amerika Serikat, bekerja sama dengan Duke University, pada 2016-2017. "Rasanya belum habis Randai digali," katanya.

Dian Yuliastuti

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus