Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Bak dewa mabuk, Menteri Koordinator Kemaritiman dan Sumber Daya Rizal Ramli menggebrak sana-sini, mengumbar komentar pedas, tapi sering tidak tepat sasaran. Ia boleh saja mengkritik kebijakan pemerintah atau rekannya di kabinet. Tapi, bila diungkapkan terbuka, hal itu akan membikin publik bingung dan menerbitkan kesan bahwa kabinet tidak kompak.
Rizal rajin menebar kecaman sejak menggantikan Indroyono Soesilo pada Agustus lalu. Ia mengkritik pembelian pesawat PT Garuda Indonesia, menyebut pengadaan listrik 35 ribu megawatt sebagai proyek mustahil, dan mengecam harga listrik prabayar. Lalu yang paling gaduh adalah silang pendapatnya dengan Direktur Utama Pelabuhan Indonesia (Pelindo) II R.J. Lino. Tanpa pemberitahuan, Menteri Rizal mendatangi kawasan Pelindo, dan secara demonstratif mengebor beton penghalang jalur kereta api ke pelabuhan.
Pak Menteri berargumen, tindakan dan komentar panasnya merupakan penanda keterbukaan informasi yang disukai investor. Dalih ini mengada-ada karena yang ia lakukan sebenarnya kegaduhan, bahkan kekacauan. Ada jurang lebar antara keterbukaan dan kekacauan. Sudah tentu kekacauan informasi akan membuat publik, terutama investor, mencium situasi yang tidak solid di pemerintahan.
Persepsi negatif itu jelas mudarat kendati kecaman itu bertujuan baik, misalnya menghemat anggaran. Tujuan ini pula yang menjadi alasan Rizal saat menyerang Pertamina, yang akan membangun gudang penyimpan minyak di seluruh Indonesia senilai US 2,4 miliar atau sekitar Rp 34,4 triliun. Gudang ini dibangun atas permintaan Presiden Joko Widodo, yang menginginkan daya tampung persediaan minyak naik dari 19 hari menjadi 30 hari. Namun, menurut Rizal, seharusnya yang membangun tempat penyimpanan adalah pemasok minyak, bukan Pertamina.
Begitu juga kritik Rizal mengenai proyek listrik 35 ribu megawatt. Proyek ini memang kelewat ambisius. Pemerintah harus lebih realistis, apalagi hingga kini belum dicoba terobosan lain dengan biaya yang terjangkau untuk mengatasi kekurangan listrik. Potensi pemborosan serupa juga terjadi pada kasus PT Garuda dalam pembelian pesawat berbadan besar.
Bukan berarti kritik Rizal selalu valid. Kecamannya mengenai pulsa listrik prabayar, misalnya, tampak meleset. Ia secara simplistik menyamakan rupiah yang dibayar dengan daya listrik yang didapat konsumen. Padahal, dalam sistem prabayar, pelanggan diuntungkan bisa membeli pulsa pecahan kecil dengan konsekuensi ada biaya administrasi tambahan. Belakangan, Menteri Rizal meminta maaf dan mengoreksi pernyataannya.
Kecaman Rizal selama ini seperti badai yang bisa menerjang siapa saja. Mungkinkah Pak Menteri belum sepenuhnya sadar bahwa dia bukan lagi aktivis yang berdiri di luar gelanggang? Kini ia di dalam barisan pemerintahan. Tidak sepatutnya ia menembak sejawat sendiri. Jalur kereta api yang terhalang area pelabuhan, misalnya, semestinya bisa dirundingkan secara elegan. Seorang menteri jelas bukan orang awam yang tanpa otoritas, dan sebaiknya wewenang itu digunakan dengan lebih strategis.
Rizal perlu diingatkan bahwa perombakan kabinet yang mengantarnya pada kursi menteri bertujuan membuat pemerintah lebih kokoh, kompak, dan efisien. Di tengah perekonomian yang lesu, ia seharusnya tidak membuat kegaduhan yang bisa menebarkan sentimen negatif bagi dunia bisnis sekaligus merepotkan Presiden Jokowi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo