Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Mana yang lebih maut melakukan scat singing, Al Jarreau atau Bobby McFerrin? Susah menjawabnya. Di panggung berbeda di Java Jazz Festival 2012 minggu lalu, kita melihat keduanya mendemonstrasikan scat singing dengan gaya unik masing-masing.
Seorang vokalis jazz yang tangguh sering memiliki kemampuan spontan mengeluarkan bebunyian konsonan dan fonem tanpa makna yang enak didengar. Juga menirukan suara segala macam instrumen yang mengiringinya.
Al Jarreau dan Bobby McFerrin adalah jawara untuk itu. Malam itu Al Jarreau tak membawakan lagu Blue Rondo a la Turk, yang menampilkan kemampuan vokalnya mengucapkan rentetan silabel yang cepat mengiringi nada piano. Tapi penonton bisa menyaksikan bagaimana ia menirukan suara pukulan timpani dalam Take Five. Di usianya yang ke-72, dari mulutnya juga bisa muncul kalimat-kalimat yang seolah-olah menggaung.
Al Jarreau malam itu menyanyi dengan iringan George Duke Trio. Di panggung, ia berulang kali mengatakan bahwa pentasnya ini laksana nostalgia. Pada 1965, di sebuah kafe kecil di San Francisco, ia bermain dengan George Duke. Waktu itu ia lulusan jurusan psikologi dan bekerja di San Francisco sebagai konsultan sebuah tempat rehabilitasi. Kegiatan bermusiknya dengan George Duke mengubah jalan hidupnya. Sepenuhnya Al Jarreau kemudian mengabdi untuk musik.
Akan halnya McFerrin, ia tampil di panggung seorang diri. Ia tampil sederhana, hanya mengenakan kaus lusuh dan jins. Ia tak butuh band. Di dalam tubuhnya telah tersedia berbagai bebunyian, apa saja. Tinggi suaranya yang empat oktaf dikenal bisa mengeluarkan berbagai nuansa suara drum, flute, gitar, dan simbal.
McFerrin seorang yang haus akan penjelajahan. Ia suka "membenturkan" kekayaan bunyi yang ada dalam tubuhnya dengan berbagai alat instrumen tradisi, juga dengan bahasa-bahasa yang langka. Ingat album terakhirnya pada 2010: Vocabularies. Lirik lagu berjudul Messages, misalnya, penuh bercampur kata dari bahasa Latin, Sanskerta, Rusia, Zulu, Portugis, Mesir, Jepang, dan lain-lain.
Kita melihat bagaimana McFerrin membangun ritme dengan cara menepuk-nepuk dadanya. Tubuhnya menjadi perkusi. Dari tenggorokannya seakan-akan muncul dua lapis suara. Suara halus, tipis, yang mengucapkan kalimat-kalimat, dan lapis lain yang menirukan aneka bunyi instrumen. Dari mulutnya muncul varian desis, bisik, siul, dan berbagai macam onomatope. Mikrofon kadang diletakkan McFerrin di dagu untuk menghasilkan bunyi seperti degup. Senggakan napasnya menjadi bagian harmoni.
Masih terasa sampai sekarang bagaimana dia membawakan lagu The Beatles, Blackbird. Tiba-tiba dari mulutnya terdengar suara kepak sayap burung yang terbang keluar. Penonton terperangah. McFerrin secara spontan juga mengajak penonton berimprovisasi. Seorang penonton perempuan meraih mikrofon yang disodorkannya, kemudian melantunkan Ave Maria. McFerrin mengiringinya. Benar-benar membuat merinding. Terasa kudus.
Tapi yang menarik adalah di tiap malam McFerrin seolah-olah ingin menjajal kemampuan scat-nya dengan instrumen tradisi kita. Pada hari pertama, ia menghadirkan seperangkat gamelan Bali. Lalu jam session terjadi antara suaranya dan gamelan. Pada hari kedua, McFerrin menampilkan seorang penari topeng Indramayu. Penari topeng itu menari diiringi suara-suara yang keluar dari mulutnya. Lalu dilanjutkan "duel meet" antara suaranya dan kendang Sunda.
Java Jazz kedelapan, yang berlangsung di area Pekan Raya Jakarta, Kemayoran, tak syak bertaburan pemenang Grammy. Para "jazzer" dunia seolah-olah makin memiliki ikatan kimiawi yang kuat dengan Jakarta. "Kalau di tingkat Asia, sudah pasti Java Jazz festival terbesar. Di Jepang saja tak ada festival jazz sebesar ini," kata Franki Raden, komposer dan peneliti musik.
Franki melihat program Java Jazz kedelapan ini makin bagus. Penampilan Bobby McFerrin, menurut dia, merupakan sebuah keajaiban dunia musik, tidak hanya untuk jazz, tapi juga buat segala jenis musik. "Saya merasa sangat berbahagia sekali dapat hidup di abad yang sama dengan Bobby McFerrin dan menyaksikan konsernya secara langsung," ujarnya.
Para pencinta jazz juga beruntung bisa menyaksikan Herbie Hancock, 72 tahun. Dia satu-satunya pianis era early bebop yang masih eksis hingga sekarang. Hancock dikenal sebagai salah satu pionir yang memainkan piano elektrik. Ia malang-melintang meng-crossover-kan fusion, bebop, dan pop. Bahwa Indra Lesmana secara khusus di Java Jazz membuat acara "Tribute to Herbie Hancock" menandakan semenjak remaja ia dirasuki oleh pemusik itu. "Tidak ada pemain jazz di dunia yang tidak mengagumi Herbie Hancock. Mulai pianis jazz di Amerika hingga Rusia, semuanya mengagumi Herbie Hancock," kata Indra.
Dengarlah Cantaloupe Island, Chameleon, dan Rockit, yang dibawakan Hancock dengan instrumen utama keytar—keyboard yang ditenteng seperti gitar. Begitu energetik. Jauh lebih dinamik dibanding versi rekamannya. "Permainannya sangat adventured. Gagasan ritmenya sangat kaya. Dia juga sangat inovatif. Dia tidak pernah stay di satu genre. Penjelajahan musiknya sangat luas," Indra menambahkan.
Keperkasaan Hancock juga diakui di dunia jazz Latin. "Watermelon Man adalah lagu sangat terkenal dari Herbie Hancock yang dikomposisi ulang oleh Mongo Santamaria," kata seorang lelaki bercambang putih dan bertopi baret berumur 61 tahun. Ia adalah Poncho Sanchez. Sanchez dalam dunia jazz Latin dikenal sebagai jawara conga. Pada 2000, ia meraih Grammy Award untuk albumnya, Latin Soul. Mongo Santamaria yang dia sebut adalah perkusionis terkenal Kuba.
Tamu lain yang membuat penonton terbius adalah Pat Metheny. Pria dengan rambut sedikit pirang awut-awutan berumur 58 tahun ini dikenal sebagai gitaris jazz avant-garde dan free jazz. Ia pernah berkolaborasi dengan komposer minimalis Steve Reich dan David Bowie. Metheny juga dikenal mampu menyajikan easy listening jazz yang tidak njelimet dengan teknik permainan yang tidak cemen.
Menurut gitaris jazz kita, Tohpati, teknik permainan gitar Metheny sangat rapi dan presisi. Ia juga mempunyai pola permainan dan sound yang khas. Dengan demikian, bila Metheny bermain dengan siapa pun, semua penggemar jazz yang mendengar musiknya akan langsung tahu kalau itu permainan sang gitaris.
"Yang menarik, teknik picking (memegang pick gitarnya) sangat aneh dan berbeda. Dia tidak menggunakan bagian pick gitar yang runcing, tapi malah memakai bagian pick yang tumpul. Itu sangat susah, lo," kata Tohpati.
Dan Jakarta juga antusias menantikan seorang figur "bengal" Erykah Badu. Perempuan berusia 41 tahun ini dianggap ratu post-soul. Di panggung, ia mengenakan kostum bernuansa hitam, dipadu dengan celana ketat motif kembang, dan topi rajut berujung panjang hingga menutupi rambutnya.
Publik Jakarta tahu, Badu sebelum sampai di Jakarta ditolak tampil di Malaysia. Itu lantaran dalam sebuah fotonya ia bertato huruf Arab kata "Allah". Ia dianggap menghina Islam. Badu sendiri mengatakan tato itu dibuatnya setelah menonton film Alejandro Jodorowski, The Holy Mountain, yang berkisah tentang seorang wanita yang seluruh tubuhnya berajah huruf Ibrani.
Badu membuka konsernya dengan lagu Happy to See You Again. Ia dikenal mengembangkan hip-hop. Hip-hop is bigger than government adalah slogannya. Rata-rata komposisi Badu tak menampilkan lantunan orang yang meracau. Kalimat-kalimatnya kadang seperti bertutur pelan-pelan, dengan tekanan-tekanan tertentu, tapi dengan latar musik yang menggedor.
Seorang pengamat pernah menyatakan musik Badu adalah missing link antara funk jalanan pada 1970-an, bohemian hip-hop, dan jazz underground. Malam itu kita menikmati missing link tersebut.
Tapi kehangatan memang ada pada Stevie Wonder, 62 tahun. Pentasnya pantas menjadi penutup. Entah berapa ribu orang yang memadati Hall D2 Kemayoran malam itu. Lihatlah bagaimana ekspresi muka Stevie Wonder. Begitu sepenuh hati. Lihatlah bagaimana gaya ia menggerakkan kepala, menggoyangkan badannya ke kiri dan ke kanan saat mengikuti irama lagu—lucu dan mengharukan. Dia melantunkan How Sweet It Is; Don't You Worry 'Bout a Thing; Signed, Sealed, Delivered I'm Yours; juga Superstition. Kita melihat pergumulannya tak sekadar pergumulan musik.
Stevie Wonder sering mengatakan buta adalah berkah. Buta adalah rahmat Tuhan. Malam itu orang mungkin bisa merasakan bagaimana sosok Stevie seperti seorang yang diutus untuk menyembuhkan luka bersama. Saksikan bagaimana kegembiraan penonton meledak saat ia menyanyikan Overjoyed: "All true love needs is chance/and maybe with a chance you will find/You too like I/Overjoyed, over loved, over you.
Juga saat ia melantunkan I Just Called to Say I Love You. Terasa lagu populernya itu bukan semata-mata hiburan. Demikian pula tatkala lagu My Cherrie Amor dinyanyikan. Lagu ini ditulis kekasih Stevie Wonder saat penyanyi itu kuliah di Michigan School of the Blind. Lagu ini merajai tangga lagu Billboard pada 1969. Lagu yang personal ini menjadi sesuatu yang humanis.
Stevie Wonder berganti-ganti memainkan keytar dan keyboard. Tapi, tatkala ia meraih harmonika dari sakunya saat menyanyikan The Way You Make Me Feel, kita ingat bahwa karier pertamanya adalah karena harmonika. Saat berumur 12 tahun, ia dibawa ibunya kepada bos Motown Records, Berry Gordy, untuk mendemonstrasikan kepiawaiannya bermain piano. Gordy tak tertarik. Namun, begitu Stevie bermain harmonika, Gordy terkesima. Gordy kemudian memproduksi album pertama Stevie: The Jazz Soul of Little Stevie. Lalu Stevie pada umur 13 tahun mencetak hit: Fingertips.
Stevie dikenal sebagai seorang dermawan. Lewat yayasan Wonder Foundation, dia membantu korban kelaparan di Afrika, para penderita AIDS, dan korban badai Katrina. Pribadinya yang pemurah memancar hari itu di Jakarta. Meski ia buta, mata batinnya tentu bisa merasakan bahwa Jakarta menyambutnya dengan tulus.
Stevie, Al, Bob, selamat malam.
Seno Joko Suyono, Nurdin Kalim, Aguslia Hidayah
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo