Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Juan Kruz Diaz de Garaio Esnaola tampil hanya dengan kancut hitam. Dia dan pasangannya menggeliat di temaram sorot lampu. Tubuh mereka laksana pria kembar siam.
Seorang pria berjas ikut menyusul dan berusaha memisahkan keduanya. Sedangkan di belakang mereka, seorang perempuan muncul dengan rambut terikat tali panjang yang ditarik seorang pria di ujung papan latar.
Inilah awal koreografi Zweiland yang diciptakan koreografer kondang Jerman, Sasha Waltz. Di panggung kita melihat ada sebuah dinding panjang, dan tumpukan papan bekas. Sepertinya tumpukan itu rongsokan yang semata-mata menjadi "hiasan" panggung. Ternyata itu properti andalan Sasha. Papan itu bisa dibongkar pasang. Sepanjang pertunjukan papan-papan itu menjelma sebagai tempat berdiri untuk mengecat dinding, tempat ganti, antrean tiket, atau tempat berteduh.
Dengan properti ini, sang koreografer merangkai cerita. Lihatlah ketika seorang laki-laki memasang papan demi papan, mendirikan bangunan mirip pondok. Sepasang laki-laki dan perempuan selayaknya pasangan kekasih pun muncul menari bersama. Mereka berguling, saling bergelayut intim, bersandar di pondok kecil yang baru berdiri. Sedangkan agak ke belakang, sepasang lelaki bernyanyi sambil menyandar di dinding. Lalu mereka bergerak kaku dan bermain jas di kursi.
Sasha menampilkan gambaran kehidupan warga Jerman sehari-hari dalam rangkaian gerak ritmis. Rangkaian gerak tarinya hidup menyatu dengan cerita yang mengalir. Penonton disuguhi kejutan demi kejutan. Lapis demi lapis kehidupan. Adegan kadang realis betul. Seperti benar-benar mengecat dinding dengan warna biru. Atau mengusung, naik, dan bergelayutan di tangga.
Bermacam adegan karya koreografer yang belajar di Amsterdam dan New York ini rata-rata mudah dicerna. Para penonton tergelak ketika adegan seorang perempuan seksi secara agresif mengungkapkan kesukaannya kepada seorang lelaki pekerja. Dia memburu dan menyeruduk si laki-laki dan mengungkapkan berulang kali, "I like it so much..., so... so... so much," sampai membuat si laki-laki ketakutan.
Penonton juga dibuat tertawa ketika empat lelaki berlomba memasang baju sambil berlari. Yang kalah rela menyediakan diri jadi tumpuan pemenang. Tawa juga menggema ketika beberapa pemain berperan sebagai boneka yang dilempar bola di arena permainan koin. "Game over..., game over," ujar mereka.
Untuk menghidupkan adegan, Esnaola sebagai pengarah musik memainkan akordeon, pemain lain memainkan cello atau memutar piringan hitam di sela-sela adegan. "Ini metafora dari kehidupan sehari-hari di Jerman," ujar Esnaola.
Inspirasinya dari reunifikasi Jerman. Setiap penari mempunyai karakter dan cerita yang kuat, tapi sepanjang cerita selalu muncul cerita pasangan. "Banyak duet, berpisah, lalu bersatu lagi," ujar penari kelahiran Basque, Spanyol, ini.
Pergelaran ditutup dengan adegan mengesankan. Semua penari masuk, berputar-putar seperti penari sufi, dan berkumpul di satu meja. Esnaola masih memainkan akordeonnya. Tiba-tiba seorang lelaki botak bercambang memakai rok mini dan seolah-olah memiliki sayap memanjat dinding dari belakang. Malaikat botak itu membawa gembor, ceret besar penyiram air. Ia menuangkan air seolah-olah menuang air hujan dari langit. Para penari berteduh di bawah rumah dan bernyanyi bersama. Lalu si malaikat turun dan bersimpuh. Fantastis.
Dian Yuliastuti
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo