Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Film

Suatu ikhtiar, tanpa john wayne

Sutradara: michael cimino pemain: robert de niro resensi oleh: goenawan mohamad (fl)

8 September 1979 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

THE DEER HUNTER Sutradara: Michael Cimino SEKELOMPOK orang duduk khidmat di sekitar meja. Dengan suara lirih tapi ikhlas mereka menyanyi God Bless America. Sebuah rasa syukur tentang sebuah tanahair -- itulah adegan penutup The Deer Hunter. Dalam film yang bercerita tentang sejllmlah pemuda Arnerika yang berperang di Vietnam, akhir seperti itu bisa membikin kita ingin mendehem, setengah tidak percaya bahwa film ini tidak dibikin oleh semacam PFN-nya Washington. Atau kita teringat tentang John Wayne ang baru saja mati--meskipun ia sempat memberikan piala Oscar buat The Deer Hunter sebagai film terbaik 1978. Superpatriot John Wayne tiap pagi berterimakasih kepada Gusti Allah karena ia dilahirkan sebagai orang Amerika, dan karenanya ia membuat film superpatriotik berbau propaganda seperti The Alamo dan The Green Berets. Kini tidakkah sutradara Michael Cimino hanya kelanjutan John Wayne dengan nada yang lebih rendah? Bagi seorang Indonesia, tentu tak ada salahnya patriotisme. Ada sesuatu yang indah dan berharga di situ--baik selama ataupun setelah bulan Agustus. Karena itu juga ada sesutu yang indah dalam The Deer Hunter. Tetapi keindahannya tetap dalam kategori kecengengan yang halus. Terasa bahwa ia akhirnya hanya semacam penghibur bagi luka hati orang Amerika setelah perang terpahit dalam sejarah mereka itu. Film ini tidak berpangkal pada satu tokoh. Ini adalah cerita yang bisa dilupakan nama-nama perannya sejumlah kawan erat, para buruh pabrik baja keturunan Ukrainia dari Clairton, kota kecil di negeri bagian Philadelphia, yang mengisi hidup dengan kegembiraan sederhana: minum bir, berburu kijang, berdansa sampai sempoyongan, berantem, tak begitu dekat dengan cewek saking intimnya mereka satu sama lain, dan tak dirundung rasa bersalah secara bertele-tele dalam menikmati hasil kerja mereka yang bersahaja. "Non-pribumi" Juga mereka tak bertele-tele dalam melihat perang di Vietnam. Keturunan imigran ini, seraya mempertahankan adat "non-pribumi" mereka di tengah Amerika yang luas, adalah sejumlah patriot kecil. Mereka ikut ke Vietnam dcngan antusiasme secukupnya. Adakah para patriot kecil itu abai dalam soal moral? Tidak. Tapi moral, bagi pemuda buruh dari kota kecil ini, tak ada sangkut-pautnya dengan perkara hak Amerika untuk berperang, satu soal yang bagi mereka pasti terasa dibikin-bikin. Moral, bagi mereka ini, adalah setiakawan. Brutalnya perang, kejamnya orang-orang yang telah dikorek perikemanusiaannya oleh lalulintas peluru, oleh bangkai dan kekuasaan, hanyalah latarbelakang. Latar itu justru memberikan aksentuasi pada pentingnya setiakawan yang mendasar. Maka hantu yang paling mengerikan bukanlah perang itu sendiri, melainkan sebuah permainan judi yang paling laknat: rulet Rusia. Dalam permainan ini kita tahu, sebuah pistol enam peluru dikosongkan slindernya, lalu diisi dengan cuma sebutir pelor. Seseorang harus menempelkan ujung laras pistol ini ke pelipisnya sendiri, dan menarik picu. Satu dari enam kemungkinan si pistol bisa meledak Satu dari enam kemungkinan orang itu akan berlobang di kepalanya. Demikianlah yang terjadi ketika para prajurit Amerika itu tertangkap pasukan Vietkong, dan sepasang demi sepasang harus memainkan rulet Rusia untuk dirinya. Artinya, sepasang demi sepasang mereka harus menyadari: bila pistol tak meledak di pelipis saya, ia mungkin sekali akan meledak di pelipis kawan saya. Keselamatan seseorang akan makin mendekatkan kematian bagi kawannya. Tak ada yang lebih melantakkan solidaritas ketimbang nasib seperti itu. The Deer Hunter toh akhirnya berkisah bahwa Michael (Robert de Niro) berhasil melawan nasib dan kemestian ini--dan terus melawannya. Ia mengatasi kelemahan manusia, kelemahannya sendiri dan sahabat-sahabatnya. Syahdan, seorang sahabatnya -- dalam guncangan jiwa yang parah --meneruskan diri jadi barang taruhan perjudian maut itu di dunia dekaden bawah tanah Saigon. Michael mencoba menariknya kembali. Tapi ia berhadapan dengan kenyataan: maut akhirnya adalah milik masing-masing. Kegembiraan pada saat kita terlepas daripadanya bisa juga jadi semacam candu bagi masing-masing. Sahabat itu mai di seberang mejanya, dengan pelipis berlobang dan berasap--sementara di sekitar para petaruh berteriak-teriak terus, mengacung-acungkan uang terus. Seperti nimpi buruk. Menyepelekan Sejarah Perang Vietnam dalam film ini akhirnya juga sebuah mimpi buruk. Orang-orang Clairton itu pulang dengan seorang mati dan seorang lagi kehilangan kaki. Semua dipulihkan kembali oleh Michael, oleh persahabatan dan patriotisme sederhana. Semacam Komedi Manusia karya William Saroyan, novel tentang keluarga yang ditinggal mati seorang anak dalam Perang Dunia ke-I? Tidak. Saroyan berbicara dengan mengharukan kepada setiap orang. The Deer Hunter agaknya cuma efektif berbicara kepada khalayak Arnerika. Kita yang berada di tahun 1979 di Indonesia (dan hanya memperhatikan perang di Vietnam dengan jarak emosional), tak cukup dibikin terharu. Juga tak cukup dibikin marah. Jane Fonda, wanita bersuara lantang itu, yang atas nama moral memihak Vietnam Utara dan mengecam negerinya sendiri, mengutuk The Deer Hunter sebagai cerita perang yang "rasialis", suatu versi Departemen Pertahanan Amerika. Pekikan Fonda termasuk hal-hal yang sebagai orang Indonesia tak teramat kita fahami. Tapi juga tak begitu kita fahami pemikiran sutradara Cimino, untuk tidak menampilkan permainan rulet Rusia bukan sebagai sesuatu yang simbolis, melainkan historis. Ia dengan demikian menyepelekan sejarah yang sebenarnya bahwa perang Vietnam bukanlah cuma kekejaman sepihak. Tapi barangkali film ini hanya suatu ikhtiar, ketika orang Amerika ingin mengenang Perang Vietnam tanpa suara John Wayne, atau Jane Fonda. Rupanya di luar film macam Superman dan Star Wars, film-film Amerika -- bersama guncangnya zaman studio besar serta meluasnya flm TV--kian ditujukan buat berbicara pada khalayak yang lebih spesifik. Dan The Deer Hunter adalah contoh suatu dialog yang bukan milik kita. Goenawan Mohamad

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus