Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Sudah Berakhir Sebelum Akhir

Ambisi untuk mendorong bienal lokal memiliki bobot “internasional” tampaknya diterjemahkan terlampau banal.

19 Desember 2005 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kurasi Biennale Yogya VIII bertajuk ”Di Sini dan Kini’ (4-22 Desember 2005) mencoba mengaitkan tradisi bienal itu—sejak 1988—dengan tilas budaya setempat untuk menjangkarkan kesadaran akan heritage (pusaka). Tercatat 12 tempat di Yogya yang dianggap pusaka budaya dihadirkan kembali sebagai bagian dari kesadaran pada masa kini.

Bienal lokal umumnya memang lahir dan digagas seraya menyadari posisinya yang unik untuk merepresentasikan konteks identitas seni, budaya, dan politik setempat. Tapi, pada saat yang sama, peristiwa semacam itu juga kerap tergoda menjadi bagian dari ”industri budaya” bienal sejagat. Kritik publik terhadap bienal lokal yang menghamburkan dana sangat besar telah menempatkan bienal dalam dilema antara kelangkaan infrastruktur kehidupan nyata dan gagasan ideal seni.

Dan yang mengherankan di Yogya adalah tilas kesejarahan—gedung atau benteng warisan masa silam—tampak berfungsi sebagai site turistik. Karya yang dihadirkan di tilas-tilas itu hampir semuanya tak memiliki kegayutan apa-apa dengan makna kesejarahan yang dapat dilacak kembali. Beberapa seniman meresponsnya dengan membungkus-bungkus lampu secara eksotik, memasang karya video yang berpendar atau instalasi di dalam koridor yang suram berdinding kusam.

Misalnya karya Tiarma Sirait, The Bride in Waiting, yang dihadirkan di gedung STMN I, Jetis, Yogya. Obyek anyaman sosok serupa lonceng ini cuma hadir sebagai obyek artistik yang ”kapan saja di mana saja”. Karya instalasi-teks Farhansiki, No White Flag, di tilas gedung Yogya Study Centre, Kota Baru, menghadirkan kutipan surat seorang tawanan Belanda oleh tentara Jepang pada 1942, yang ditujukan kepada Gubernur Jenderal Starkenborgh. Teks itu menyentuh, lengkap dalam bahasa Belanda, ”bahwa Anda tak akan meninggalkan kami, memberi kami kekuatan dalam derita ini”. Surat salah seorang dari 120 ribu tawanan Belanda ini merupakan dokumen runtuhnya kekuasaan Hindia Belanda di Indonesia. Siluet kepala berwarna biru yang keras kepala menolak bendera-bendera putih tanda penyerahan diri itu ditampilkan di jendela-jendela tinggi bangunan art deco. Tapi kegayutannya dengan site memang tak ada.

Eko Prawoto, arsitek, salah seorang kurator bienal, menjelaskan gagasan ”Di Sini dan Kini” sebagai upaya ”menarik publik untuk menengok situs, belajar dari para seniman tentang ”other possibilities dealing with the heritage”. Sayang, menurut dia, belum ada ide seniman yang progresif.

Gagasan menjelajahi kembali makna tilas dihadirkan oleh karya Nadiah Bamadhaj di benteng Kandhang Menjangan, yang merupakan salah satu poros kota-Gunung Merapi pada masa silam. Nadiah menempelkan beberapa foto lama yang ditemukan kembali di Balai Budaya Sinduharjo dan menampilkan kembali obyek benteng Kandhang Menjagan dalam tiap foto hitam putihnya yang berukuran kartu pos. Foto-foto kecil itu seakan menjelma sebagai pilar-pilar ingatan di ambang keruntuhan benteng secara maknawi maupun fisiknya. Masa silam tak sepenuhnya lenyap dalam perbincangan di masa kini. Tilas ingin dimaknai kembali sebagai arkeologi masa depan.

Sayang, ambisi untuk mendorong bienal lokal memiliki bobot ”internasional” tampak diterjemahkan terlampau banal. Artinya, diikuti oleh sejumlah perupa dari negara lain, dan mengundang kurator ”tamu”.

Beberapa seniman dari luar yang misalnya menampilkan karya fotografi atau citra visual melalui alat buatan sendiri mungkin cukup diundang dalam rangka workshop untuk para mahasiswa fotografi ketimbang muncul dalam bienal ”seni visual kontemporer”. Pemilihan tanpa pengamatan terhadap karya dan nama seniman ”internasional” yang relevan untuk sebuah bienal cuma menunjukkan rasa minder berlebihan dan keputusan yang tidak matang dari para kuratornya. Padahal, mungkin lebih penting memberikan stempel ”internasional” lewat tanda hadirnya sponsor ”internasional” dalam sebuah acara lokal yang didukung oleh seniman lokal maupun ”internasional” yang bermutu. Bukankah sering kali penaja ”internasional” lebih tajam penciuman dalam menilai sebuah mutu bienal dibanding kehadiran para perupa atau kurator ”internasional” yang sulit menolak honorarium atau sekadar memuaskan agenda jalan-jalan?

Karya-karya yang dipamerkan di ruang pameran Taman Budaya adalah campuran antara selera modernis yang terlampau standar kalau bukan kolot. Seni lukis, patung, dan karya cukilan kayu atau obyek-obyek rakitan menunjukkan wawasan konservatif para kurator dalam menghadirkan corak atau paradigma gaya: dekoratif, surealis, atau pop politik yang terlampau umum dan tidak mendalam. Atau kegenitan memaknai medium fotografi untuk menampilkan tubuh seniman secara berlebih-lebihan ketimbang mengenali medium reproduksinya dalam kedalaman warna dan kecerdasan isinya.

Absennya sejumlah nama perupa terkemuka di Yogya dapat dimengerti sebagai dua hal yang mungkin. Biasanya mereka adalah perupa ”langganan” yang dapat menjadi kendala bagi munculnya nama baru di lingkup semacam itu. Kritik semacam itu bisa masuk akal. Yang kedua adalah upaya meremajakan bienal yang memang perlu dilakukan. Sayang, peluang semacam itu pada bienal Yogya kali ini justru menjadi bumerang.

Mutu bienal lokal akhirnya memang ditentukan oleh bukan cuma wawasan kuratornya yang tampak parah dalam Bienal Yogya VIII, tapi oleh politik birokrasi yang disandang atau diakomodasi oleh semua yang bekerja di baliknya. Sepanjang sejarah bienal di Yogyakarta, benalu birokrasi semacam itu adalah hambatan utama yang muncul di balik kesantunan dan sikap feodal yang menghamba sekaligus menindas. Persis di depan hidung seorang kuratornya, salah satu ruang pameran bienal di gedung pascasarjana ISI, Yogyakarta, tak bisa dibuka karena ”kunci dibawa oleh entah siapa”. Sang kurator pun kemudian menggelar hasil hobi barunya, berupa sketsa-sketsa nudis di ruang kerjanya di hadapan para tetamu.

Rupanya, bagi Yogya tetap dibutuhkan sebuah peristiwa seni rupa yang sejatinya ”binal”, sebagai tandingan terhadap tradisi resmi ”biennale” seperti beberapa tahun silam. Bagi saya, Biennale Yogyakarta VIII adalah tilas kematian peristiwa bienal itu sendiri.

Hendro Wiyanto, kurator

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus