Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Mata bor itu telah melubangi tepian Alun-alun Utara dan beberapa lokasi di Jalan Malioboro sejak akhir November lalu. Ada sembilan titik di Jalan Malioboro dan tujuh di Alun-alun Utara yang akan dibor demi pembangunan areal parkir bawah tanah halaman Keraton Yogyakarta.
Rencana ini langsung mengundang kontroversi. Seniman dan budayawan Yogyakarta mewujudkan protes mereka dalam pameran Biennal Jogja VIII 2005 bertema ”Di Sini dan Kini”. Intinya, mereka khawatir, pusaka budaya Yogya lambat laun akan hilang. Pesan perlawanan yang melibatkan 118 perupa, 13 di antaranya dari mancanegara, ini disebar di 14 kawasan cagar budaya. Para seniman ini ingin agar perubahan fungsi pusaka Yogyakarta tidak terus-menerus dilakukan.
Dari 14 situs bersejarah yang dipakai memajang karya seni, beberapa sudah berubah fungsi. Rumah-rumah orang Kalang yang dibangun sejak masa pemerintahan Sultan Agung sudah ada yang menjadi restoran dan toko kerajinan perak. Sejarahnya, orang Kalang yang ahli pertukangan sebelumnya hidup berkelompok di pinggir hutan. Berkat keahlian mereka, orang-orang Kalang dipanggil Sultan dan diberi tempat dekat kerajaan—pada waktu itu ibu kota Mataram ada di Kotagede. Mereka menjadi kaya. Rumah mereka besar-besar dengan gaya arsitektur unik, kaya akan ornamen.
Seniwati Yani Mariani Sastranegara memajang karyanya di salah satu rumah Kalang, yang menjadi galeri dan restoran Omah Dhuwur. Yani membentangkan lembaran-lembaran kain putih di antara bangunan tinggi satu dengan lainnya yang berjarak cukup jauh. Karya berjudul Clarity itu menggambarkan kejernihan alam dengan hiasan bunga bermekaran. Ada pula lukisan karya Wayan Sudarna Putra dan lukisan Wayang Beber-nya Nurti Wijayanti.
Protes juga digelar di Benteng Vredeburg yang kini berubah menjadi tempat pameran, pergelaran budaya dan museum. Peninggalan Belanda yang oleh masyarakat setempat disebut loji itu selesai dibangun Sultan Hamengku Buwono I pada 1787. Semula, tempat ini diberi nama Benteng Rustenburg, rumah peristirahatan. Arsitekturnya bergaya campuran Jawa dan Eropa. Kini perupa Joko Dwi Avianto, I.G.N. Hening Swasono, dan Wayan Sujana memajang karya mereka di tengah-tengah kawasan itu.
Sedangkan kediaman Pejabat Keuangan Pura Pakualaman, Mr. Wijnchenk, di Bintaran juga digunakan memajang wayang karya Sigit Sukasman. Rumah besar bergaya Jawa-Eropa yang pernah menjadi tempat kediaman Panglima Besar Jenderal Sudirman kini menjadi Museum Sasmitaloka Jenderal Sudirman.
Kawasan lain yang menjadi tempat pameran, namun belum berubah fungsi, di antaranya Masjid Gedhe Mataram di Kotagede, Gereja St. Yusup di Bintaran, SMU III di Kotabaru yang bekas AMS B untuk bumiputera pada zaman penjajahan Belanda, SMKN II Jetis yang pada 1920-an digunakan sebagai Princess Julian School dan Perusahaan Cerutu Taru Martani Baciro.
Dengan langsung menghadirkan karya seni di situs-situs pusaka budaya, kurator Mikke Susanto berharap, meskipun sangat eksperimental, Biennal kali ini bisa menjadi milik masyarakat seutuhnya. Jika biasanya masyarakat ditarik ke satu tempat, sekarang sebaliknya. ”Kami yang mendekati masyarakat agar mereka bisa aktif ikut dalam proses dan berinteraksi dengan seniman,” katanya.
Lalu apa komentar Direktur Jogja Heritage Society (JHS), Titi Handayani, tentang situs-situs pusaka budaya berubah fungsi, yang menjadi tema Biennal kali ini? Menurut dia, pelestarian pusaka budaya bukan romantisisme masa lalu atau sekadar mengawetkannya. ”Pelestarian peninggalan yang bernilai mesti dinamis sesuai dinamika zaman, tapi juga harus selektif,” katanya.
Jadi, jika banyak peninggalan di Yogya yang kini berubah fungsi, menurut Titi, tidak menjadi masalah, asal tidak mengubah tata ruang. Sekalipun itu dikomersialkan, karena bisa menutup biaya pemeliharaannya. Sebaliknya, ruang bagi seniman dan masyarakat yang juga ingin memperingatkan agar perubahan fungsi tidak kebablasan, juga tak perlu dipersempit, apalagi ditutup.
L.N. Idayanie (Yogyakarta)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo