Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
APA kata dunia” kalau melihat situasi ini? Bayangkanlah. Tengah malam yang lembap, Selasa pekan silam. Langit di pucuk gelap. Jakarta baru usai dibasuh hujan. Tapi Deddy Mizwar masih betah di ruang editing Demi Gisela Citra Sinema, rumah produksi miliknya di kawasan Pondok Kelapa, Jakarta Timur. Matanya sigap menyaksikan layar monitor yang menayangkan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sedang memberikan testimoni tentang sinetron Kiamat Sudah Dekat (KSD). ”Itu materi promosi KSD yang baru,” katanya kepada Tempo.
Selain komentar Presiden, tayangan berdurasi 25 detik itu juga menampilkan testimoni wartawan dan sejumlah warga tentang sinetron yang baru meraih lima Piala Vidia dalam perhelatan Festival Film Indonesia (FFI) 2005. Ditambah dengan dua Piala Vidia lagi dari sinetron Demi Masa yang juga diproduksinya, total tujuh piala disabet Demi Gisela Citra Sinema (DGCS) untuk kategori film cerita berseri terbaik. Sebuah prestasi cukup fenomenal untuk rumah produksi yang tahun depan genap berusia 10 tahun.
Di luar jendela, kristal embun semakin banyak berguguran, membuat udara kian dingin. Tapi Deddy, sutradara, aktor, sekaligus bos besar DGCS, masih juga belum berpikir pulang, kembali ke kehangatan rumah. Dengan totalitas kerja seperti itu, plus lebih dari 30 tahun dedikasi di dunia akting, bisa dimengerti mengapa SCTV mengganjarnya dengan Lifetime Achievement Award, serta seorang presiden yang berbangga hati menyatakan diri sebagai penggemarnya. Sebab, kalau tidak, publik justru akan bertanya, ”Apa kata dunia?”—meminjam ungkapan favorit Deddy dalam Naga Bonar (1987).
ADA sejumlah titik penting dalam perjalanan aktor kelahiran Jakarta pada 5 Maret 1955 ini. Darah seni mengalir dari ibunya, Sun’ah, yang pernah memimpin sanggar seni Betawi di lokasi tempat tinggal mereka di kawasan Kemayoran, Jakarta Pusat. Setelah menggaet ijazah Sekolah Asisten Apoteker pada 1974, Deddy sempat bekerja sebagai pegawai negeri Dinas Kesehatan DKI selama dua tahun. ”Selama menjadi pegawai negeri itu, saya terus bermain teater,” katanya. Salah satu prestasi emas ditorehkannya saat terpilih sebagai aktor terbaik dalam Festival Teater Jakarta 1975. Deddy bermain dalam lakon Lingkaran Putih yang disutradarai N. Riantiarno. Setahun kemudian, ia semakin yakin akting adalah panggilan jiwanya. Deddy mengucapkan selamat tinggal kepada Dinas Kesehatan.
Tahun itu juga Deddy membintangi film pertamanya, Cinta Abadi, yang disutradarai Wahyu Sihombing. Sadar ia tak bisa bersandar sepenuhnya pada bakat alam, Deddy melanjutkan kuliah di Akademi Pimpinan Perusahaan. Satu tahun dicoba, tidak cocok. Ia banting setir mendalami akting di Lembaga Pendidikan Kesenian Jakarta (1980-1982)—sebelum menjadi Institut Kesenian Jakarta.
Setelah membintangi Cinta Abadi, Deddy justru mengalami paceklik peran. ”Para broker film berpesan kepada produser agar jangan memakai saya dalam film mereka. Alasannya, nggak bawa hoki,” Deddy terbahak-bahak mengenang kembali masa itu. Saat itu broker film memang berkuasa terhadap produser. Merekalah yang berhak menentukan beredar-tidaknya sebuah film di sebuah wilayah atau provinsi. Puasa akting itu baru berakhir setelah sutradara Ami Priyono menawarinya bermain dalam Bukan Impian Semusim (1982).
Dua tahun kemudian ia muncul dalam film Sunan Kalijaga. Bagi Deddy, peran itu salah satu misteri besar dalam hidupnya. ”Sebagai anak Betawi, saya mengenal agama sejak kecil. Tapi, ketika ditawari bermain sebagai Sunan Kalijaga, saya sedang berada di puncak kejahiliahan. Saya tak pernah salat,” katanya mengakui. Maka, ketika film itu beredar, dan ia disambut masyarakat bak sunan yang sebenarnya, hatinya merintih, memberontak. ”Pernah pada satu kesempatan selesai bermain kartu, saya keluar ruangan dan orang-orang berebut mencium tangan saya. Astagfirullah. Saya seperti dijewer,” ujarnya.
Di layar perak, sampai saat itu Deddy masih bermain dalam peran serius, termasuk tokoh antagonis sebagai ayah tiri yang kejam dalam Arie Hanggara. Film ini dibuat berdasarkan kisah nyata, yang menceritakan seorang bocah bernama sama ditemukan tewas setelah dipukuli ayah tirinya. Lewat Arie Hanggara, Deddy meraih Piala Citra pertama sebagai aktor pria terbaik FFI 1986. Pada saat yang sama ia juga meraih Piala Citra sebagai aktor pembantu pria terbaik lewat Opera Jakarta karya Syumanjaya. ”Rasanya itulah pertama kalinya dalam sejarah film Indonesia, mungkin juga dunia, seorang aktor mendapat dua piala dalam kategori berbeda dalam festival yang sama,” tuturnya.
Sebuah peran baru dijalani Deddy dalam film Kejarlah Daku Kau Kutangkap (KDKK), film komedi situasi yang ditulis sastrawan Asrul Sani. Sampai saat itu film komedi selalu dimainkan oleh pelawak. Deddy kembali mendengar suara-suara yang mempertanyakan kemampuannya. Tapi sejarah membuktikan, KDKK menjadi salah satu film komedi terbaik dalam perfilman Indonesia. Bukan saja karena skenario Asrul yang cerdas dan jenaka, juga karena kemampuan Deddy dalam menafsirkan perannya sebagai reporter-fotografer urakan yang kebelet kawin tanpa persiapan matang.
Kerja sama dengan Asrul berlanjut lewat Naga Bonar (1987), kisah seorang pencopet asal Lubuk Pakam, Sumatera Utara, yang diangkat menjadi panglima perang lokal tak lama setelah Proklamasi Kemerdekaan, ketika Belanda melakukan aksi polisionil untuk mencekau Indonesia kembali.
Peran ini seakan-akan ditakdirkan untuk berjodoh hanya dengan Deddy. Metamorfosis seorang anak Betawi ke dalam karakter tokoh berbudaya Melayu Deli berlangsung begitu mulus. Deddy Mizwar dan Naga Bonar menjadi dua sisi dari koin yang sama. Pencapaian artistik ini tak luput dari pantauan kritikus film Clarke Fountain, yang menulis resensi Naga Bonar untuk harian bergengsi The New York Times pada 1989.
Kini, 19 tahun kemudian, Deddy berencana membesut Naga Bonar. Bukan pembuatan ulang (remake), tapi betul-betul kelanjutan cerita. Setting kisah di era 2000-an, dan mantan pencopet itu sudah berusia menjelang 60 tahun. ”Visi nasionalisme tetap menjadi fokus cerita, cuma ditambahkan problem komunikasi antargenerasi,” katanya memberikan petunjuk. Oh, rupanya kini Naga Bonar sudah memiliki seorang putra.
Perbedaan lain dengan film pertama, dulu Deddy hanya sebagai pemain, dan kursi sutradara diduduki MT Risyaf, tapi kini sang Naga Bonar sendiri yang duduk di kursi sutradara. Selain itu, sebuah film layar lebar lainnya sudah ada di saku Deddy untuk segera diproduksi, berjudul Sepatu Merah, yang dikembangkan dari ide cerita Garin Nugroho.
TUJUH Piala Vidia yang diraih rumah produksi Deddy juga mencerminkan komitmennya terhadap regenerasi. Dalam penulisan skenario sinetron-sinetronnya, Deddy mempercayakan kepada Musfar Yasin—penulis skenario terbaik lewat KSD serta peraih Piala Citra untuk Ketika—dan Wahyu H.S. (Demi Masa dan Lorong Waktu). Sinetron yang disebut terakhir bahkan sudah memasuki masa tayang ke-6. Kepada para penulis skenarionya ini Deddy memberikan satu rumus, ”Gunakan cara penggali sumur, yang berusaha mencari mata air, bukan memotret samudra sampai ke batas cakrawala tanpa menyelam,” katanya.
Bagi Deddy, penggalian ke dalam batin para tokoh, pergulatan nurani, pengelolaan konflik internal, dan perkembangan karakter, jauh lebih bermakna ketimbang sebuah cerita yang memasukkan banyak elemen dan sub-plot. Jangan keliru, kendati terkesan serius, Deddy punya rumus kedua yang membuat karyanya tak perlu ditonton dengan kening berkernyit meski mengusung banyak nilai religius. ”Melihat masalah itu harus dengan logika bocor alus,” katanya terkekeh-kekeh.
Maksudnya, cara pandang seorang penulis skenario harus keluar dari bingkai berpikir normatif yang kering. Out-of-the-box. Ia harus bisa menampilkan ironi-ironi yang menyegarkan dalam berbagai sisi kehidupan, sehingga penonton bisa tersenyum simpul sampai tertawa terbahak-bahak menertawai peristiwa yang sesungguhnya...menertawai diri sendiri!
Rumus-rumus ini sudah diterapkan Deddy sejak mendirikan DGCS bersama istrinya, Giselawaty Wiranegara. Sinetron yang dihasilkannya, dari Abu Mawas (kerja sama dengan in-house RCTI), Hikayat Pengembara, hingga Mat Angin, selalu menunjukkan hal itu. Itu sebabnya mengapa Deddy begitu galau dengan perkembangan bermacam tayangan ”religius” yang justru mengeksploitasi mistisisme dengan berbagai azab bumi. ”Tuhan digambarkan begitu kejam dan tak ada kasihnya sama sekali,” katanya.
Kini ia hadapi tayangan-tayangan itu dengan menyodorkan KSD, yang lebih karikatural, menyentuh, sering membuat penonton tertawa, karena merupakan pengalaman banyak orang. Dan penonton menyukainya. Untuk 2006, Deddy juga melakukan diversifikasi tema. Selain terus memproduksi sinetron sekelas KSD, ia juga akan membuat film televisi (FTV) yang kisahnya diangkat dari karya sastrawan nasional. ”Sekarang ini kesempatan terbaik untuk menjaga momentum kebangkitan film Indonesia. Keragaman tema akan memperkaya penonton,” katanya.
Jalan panjang Deddy seakan sebuah konfirmasi bahwa kemenangannya kali ini bukan sukses semusim. Karena, kalau tidak, apa kata dunia?
Akmal Nasery Basral
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo