SUMATERA Barat seolah mengekspor sistem matrilinial ke negara
maju. Di Eropa, seperti yang dilihat Prof. Takdir Alisyahbana,
banyak anak lahir tanpa ayah hingga perlindungannya hanya bisa
diberikan kaum ibu.
Yang di Minangkabau dan yang di Eropa itu memang agak lain.
Namun keduanya berada dalam bermacam-macam krisis dunia kini --
ekonomi, agama, politik, seni dan moral. Keduanya mengalami
perubahan nilai dan sikap masyarakat masing-masing.
Sistem matrilinial gaya baru itu terjadi di Eropa sebagai akibat
emansipasi kaum ibu, kata Takdir. Guru besar ini melihat
kemungkinan Minangkabau menyumbang bagi bangsa mana pun yang
tiba-tiba menemukan diri dalam lingkungan masyarakat
"matrilinial" tadi.
Sistem matrilinial menjadi suatu topik dalam seminar di
Bukittinggi pekan lalu. Selain Takdir, hadir lebih 150 peserta,
termasuk yang dari Amerika Serikat, Kanada, Jerman Barat, Negeri
Belanda, Jepang, Australia, Malaysia dan Singapura.
Seminar Internasional Mengenai Kesusastraan, Kemasyarakatan dan
Kebudayaan Minangkabau agak berbeda dengan sifat tiga seminar
terdahulu (tahun 1968 tentang hukum adatnya, tahun 1969 tentang
Islam-nya dan tahun 1970 tentang sejarahnya). Yang dulu itu
suatu pendekatan nostalgia, "lebih bersifat membangkitkan harga
diri orang Minangkabau," kata Dr. Mochtar Naim, tokoh penggerak
seminar yang terakhir ini.
Tapi seminar pekan lalu itu, menurut laporan wartawan TEMPO
Muchlis Sulin, memang bertujuan mempertemukan para ahli dan
peneliti tentang berbagai aspek Minangkabau. Ini suatu usaha
mempercepat persiapan Universitas Andalas di Padang untuk
mendirikan Fakultas Sosial Budaya. Sedang Pemerintah Daerah
Sum-bar sendiri ikut berkepentingan dalam seminar ini yang
hasilnya diharapkan berfaedah untuk melanjutkan proses
pembangunan. Apalagi lebih 50 makalah umumnya mengemukakan soal
perubahan dalam tingkah laku dan cara berpikir orang Minang.
Tapi bagaimana matrilinial itu di Minangkabau sekarang? Mochtar
Naim mengatakan ia melihatnya sudah berubah, antara lain akibat
pengaruh komunikasi dan teknologi. Tokoh ibu tidak lagi seagung
yang dibayangkan selama ini, tambahnya.
Makin Melonggar
"Sosok ayah makin nyata," kata A. Kadir Usman SH, dalam kertas
kerjanya. Pengacara itu menyebutkan bahwa dalam Minangkabau kini
terutama di kota-kota dan di perantauan, lebih menentukan
ketimbang mamak dalam nostalgia lama. Ayah kini lebih leluasa
menentukan siapa menantunya, katanya.
Mochtar Naim sendiri mengakui terjadi perubahan begitu, meski
belum secara toral menyentuh jauh ke lubuk dalam Adat
Minangkabau. Di pedesaan, misalnya, dominasi masih di tangan
mamak atau kaum ibu, meski jelas sudah makin melonggar.
Berita lama tentang si bujang yang tidur di surau, juga tidak
lagi terlihat. Mereka kini sudah lebih banyak bergabung dengan
saudara yang perempuan di bawah naungan ayah. Ketika waktunya
tiba anak perempuan untuk menikah, mamak tidak lagi bisa
menolak. Ia lebih banyak mengangguk, bila sang ayah sudah
menjatuhkan "ya".
Demikian juga hal dengan warisan. Pihak kemanakan tidak banyak
lagi memprotes, jika mamaknya memberikan untuk anaknya sendiri.
Kenyataan begitu juga dilihat Dr. F. Von Benda-Beckman yang
berbicara soal warisan harta pencaharian dan pusaka, dengan
judul Ayam Gadang Toh Batalua. Dibandingkan 150 tahun yang
silam, ia menyimpulkan telah terjadi perubahan yang penting
dalam sistem masyarakat matrilinial Minanokabau. Ayam Gadang
ditafsirkannya sebagai harta pusaka yang dapat diberikan kepada
anak dengan sistem hibah. Padahal sebelumnya, warisan demikian
turun dari mamak ke keponakan, menurut garis Ibu.
P.E. de Josselin de Jong mengemukakan bahwa seorang laki-laki
sumando, bukan hanya sekedar pejantan bagi matriclan istrinya,
meski hanya pada malam hari ia tinggal di rumah gadang istrinya.
Ia dapat memperoleh kedudukan dengan kekuasaan tertentu dalam
matriclan istrinya sebagai wakil tungganai.
Banyak Mengalah
Meskipun status seorang laki-laki muda sebagian besar ditentukan
oleh mamaknya, tingkah lakunya sangat dipengaruhi oleh bapaknya.
Dan sudah umum pula seorang bapak membiayai sekolah anaknya.
Sedangkan tidak semua harta hasil cucur-keringatnya jatuh ke
tangan kemanakannya. Ada sebagian yang dihibahkannya kepada
anaknya sendiri. Ini dimungkinkan oleh Hukum Islam.
Jika terjadi perubahan menuju sistem patrilinial, itu jelas
disebabkan meluasnya cakrawala adat, hukum adat dan masuknya
berbagai unsur dari luar, misalnya agama Islam, hukum-hukum
Barat, kata A. Kadir Usman SH. Adat ternyata dinilai banyak
mengalah, terutama karena pengaruh agama Islam, dan itu lebih
nyata dilihat dari hukum fara'idh. Dengan cepat masyarakat adat
punya istilah lain untuk melindungi dirinya. Maka terkenallah
alam takambang jadi guru.
Yang lain menyebut adat dan syaraksanda manyanda (saling
bersandaran). Syarak mengato adat mamakai (Agama mengatakan adat
melaksanakan). Itu tidak bisa lain menunjukkan makin besarnya
pengaruh agama dalam kehidupan masyarakat adat Minangkabau.
Pengaruh dan perubahan begitu bahkan juga terlihat dari makin
enggannya banyak orang Minang mendirikan rumah gadang (rumah
adat). Sebab konstruksinva dinilai kurang melindungi rahasia
pribadi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini