KE mana pun pergi, ia lebih suka menggunakan kendaraan umum,
seperti bis, bemo, bajaj, becak. Ia tidak suka mengendarai mobil
pribadi, meskipun usianya sudah amat uzur. Bekas Menteri Luar
Negeri dalam Kabinet Ali Sastroamidjojo ini sering terlibat
dalam pembicaraan intim dengan sopir bajaj atau abang-abang
becak. "Dengan begitu saya lebih dekat dengan kehidupan rakyat
kecil," katanya.
Kecenderungan yang mendorong Prof. Mr. Sunario, yang juga pernah
menjadi Dubes di London itu adalah getaran suara hatinya sendiri
-- setelah melihat keadaan sekarang yang dianggapnya jauh
berbeda dengan zaman mudanya dulu. "Di masa perjuangan
kemerdekaan dulu, kita, termasuk para pemimpin, pada melarat.
Mengapa sekarang banyak orang yang suka hidup bermewah-mewah?"
ujarnya pula.
Orang tua itu -- ayah dari lima anak dan kakek dari 11 cucu --
masih tampak segar-bugar. Air muka yang cerah itu tampak selalu
gembira. Rambutnya memang sudah putih semua, sementara giginya
palsu seluruhnya. Namun ingatan, pendengaran dan penglihatannya
masih tajam. Berbicara lancar, bahkan kadang dengan suara
lantang.
Ia tidak mengidap penyakit yang biasa menyerang orang-orang
lanjut usia. "Itu semua karunia Tuhan belaka," katanya mantap.
Dan karunia itu agaknya juga lantaran usahanya untuk selalu
memelihara kesehatan. "Saya tidak pernah makan berlebihan,"
katanya.
Meskipun hampir tidak pernah berolah-raga, bahkan tidak pula
senam atau jalan kaki di pagi hari secara khusus, Sunario tetap
sehat. Selain karena tidak merokok, agaknya juga karena ia
selalu menjaga pikirannya. "Orang harus selalu berpikir, melatih
otak dengan banyak membaca misalnya. Dan yang lebih penting,
jangan hanya memikirkan diri sendiri. Orang harus punya
cita-cita untuk kepentingan umum," katanya.
Sabtu 28 Agustus lalu ulang-tahunnya yang ke-80 dirayakan di
Gedung Kebangkitan Nasional, Jakarta. Tak kurang dari 200
undangan menghadirinya. "Saya sangat terharu. Dan tidak mengira
begitu banyak kawan lama, juga bekas lawan politik, yang
bersedia hadir. Biasanya ulang tahun saya diselenggarakan tidak
semeriah seperti itu," katanya.
Sampai akhir pekan lalu, beberapa karangan bunga, besar dan
kecil, masih dipajang di ruang tamu dan ruang tengah rumahnya di
Jalan Raden Saleh, Jakarta -- menyemarakkan rumah kuno yang
sederhana itu. Di ruang rumah itu terpampang pula beberapa
potret kenangan, antara lain potret Sunario bersama para peserta
Kongres Pemuda (1928) dan salah satu sidang Konperensi
Asia-Afrika (1955 di Bandung.
Sunario memang salah seorang di antara para pemuda yang
mempersiapkan Kongres Pemuda di Jakarta itu. Bahkan sebelumnya,
bersama Mr. Sartono, ia membela para pemuda dan mahasiswa yang
mula-mula dilarang pemerintah kolonial menyelenggarakan kongres
serupa itu. Ia kemudian juga menjadi salah seorang pembicara
dalam forum yang kemudian melahirkan Sumpah Pemuda itu. Di
kongres inilah ia bertemu dengan Dien Pantouw yang kemudian
dinikahinya.
Dalam penyelenggaraan Konperensi Asia-Afrika di Bandung, peranan
Sunario juga sangat menentukan. Sebelumnya, sebagai Menteri Luar
Negeri, ia berbicara mengenai kebangkitan bangsa-bangsa di dunia
ketiga.
Konsep penyelenggaraan konperensi AA yang diajukan PM Ali
Sastroamidjojo untuk dirundingkan dengan kepala-kepala
pemerintahan India, Pakistan, Burma dan Ceylon (negara-negara
ini bernama Indonesia kemudian dinyatakan sebagai pemrakarsa),
konon juga disusun oleh Sunario.
Dalam konperensi yang kemudian melahirkan Dasasila Bandung yang
terkenal itulah Sunario berhasil membujuk PM Chou En-lai
menandatangani dokumen perjanjian penghapusan status dwi
kewarganegaraan -- yang sebelumnya hanya berlaku bagi sebagian
Cina perantauan di Indonesia. Sebelum itu RRC mengklaim semua
Cina perantauan adalah juga warga negaranya.
Lahir di Madiun (Jawa Timur) pada 28 Agustus 1902, Sunario kecil
mengalami sendiri pembentukan Boedi Oetomo dan Sarekat Islam
cabang Madiun. Ia juga sempat mendengarkan pidato para
penganjur kedua organisasi perjuangan tersebut yang umumnya
mengobarkan perlawanan terhadap penjajah.
Sempat mengenyam pendidikan di sekolah-sekolah Belanda (sejak
taman kanak-kanak sampai sekolah lanjutan, Sunario tidak hanyut
menjadi kebelanda-belandaan. "Sebaliknya saya malah menjadi
kritis," ujarnya. Apalagi ketika ia belajar ilmu hukum di
Jakarta, dan melihat ketidak-adilan terhadap bangsanya.
Pikiran-pikirannya yang progresif semakin tumbuh ketika ia
mengikuti kuliah hukum di Universitas Leiden, Negeri Belanda.
Sunario bergabung dalam Perhimpoenan Indonesia bersama para
mahasiswa Indonesia lainnya seperti Mohammad Hatta, Ali
Sastroamidjojo. Seperti halnya mahasiswa Indonesia lainnya
ketika itu, Sunario juga berani mengecam pemerintah kolonial
terutama melalui tulisan-tulisan.
Menggondol gelar meester in de rechten pada 15 Desember 1925,
ketika berusia 23 tahun, pulang ke Indonesia Sunario bergabung
dengan Mr. Iskaq Tjokrohadisurjo dan Mr. Sartono, membuka kantor
advokat di Bandung. Pada waktu yang bersamaan ia juga menjadi
salah seorang pimpinan kepanduan Nationale Padvinders
Organisatie yang berdasi merah-putih.
Sementara pemuda-pemuda lain mendirikan organisasi pemuda
kedaerahan seperti Jong Java, Jong Soematra, Jong Celebes dan
sebagainya, Sunario bersama Ir. Soekarno dan Mr. Sartono
mendirikan Jong Indonesia yang lebih bersifatnasional. Sunario
kemudian juga ikut membentuk Partai Nasional Indonesia bersama
Ir. Soekarno, Ir. Anwari, Mr. Sartono, Mr. Budiarto, dr. Samsi,
Sudjadi dan J. Tilaar.
PNI yang dibentuk pada 4 Juli 1927 itu pertama kali dirundingkan
di sebuah pavilyun Jalan Dewi Sartika, Bandung, tempat Sunario,
Iskaq dan Sartono tinggal. Pavilyun itu sendiri masih utuh
sampai sekarang. "Bangunan utamanya sekarang dipergunakan untuk
Gereja Protestan," tutur Sunario. "Ketika itu kami berpropaganda
di beberapa gedung bioskop di Bandung," tambahnya.
Di Jakarta, beberapa waktu setelah Kongres Pemuda, Sunario
berbicara di depan sebuah rapat umum membela empat mahasiswa
Indonesia, yaitu Mohammad Hatta dkk, yang ditangkap di Negeri
Belanda. Di situ berbicara pula H.O.S. Tjokroaminoto dengan
suaranya yang mengguntur. Bersama tokoh pergerakan kawakan itu
pula, Sunario dalam rapat umum lainnya, mengecam politik agraria
pemerintah kolonial.
Sempat menyebarkan gagasan nasionalisme di Medan dan
Ujungpandang di kalangan kader-kader PNI, di zaman Jepang
Sunario juga menjadi salah seorang penceramah pendidikan politik
bagi para pemuda dan mahasiswa di Menteng 31 -- bersama antara
lain Bung Karno Bung Hatta, Mr. Muhammad Yamin.
Karena pernyataan dan tulisan-tulisannya yang pedas terhadap
pemerintah kolonial itulah, secara bergurau oleh kawan-kawannya
ia dijuluki Sunario Kolojengking. Mula-mula Sunario jengkel,
akhirnya menjadi semacam kebanggaan. "Tapi kalajengking hanya
menyengat kalau ditindas. Kalau tidak ditindas, biasanya baik,"
katanya tertawa.
Julukan itu juga untuk membedakannya dari dua tokoh lain yang
namanya sama (dengan ejaan lain), sama-sama bergelar meester dan
kelak sama-sama jadi menteri meskipun dalam periode yang tidak
sama. Yaitu Mr. Sunarjo Kolopaking yang kelak menjadi Menteri
Keuangan dalam Kabinet Sjahrir I. Kolopaking bukanlah julukan,
tetapi nama keluarga.
Tokoh lainnya ialah Mr. Sunarjo yang kelak jadi Menteri Dalam
Negeri dalam Kabinet Burhanuddin Harahap. Untuk membedakannya
dari dua orang lainnya, secara bergurau Sunarjo yang terakhir
ini dijuluki Sunarjo Kolomenjing. Julukan ini tidak ada hubungan
sama sekali dengan orangnya, sebab kolomenjing berarti jakun.
Karena pendiriannya yang teguh itu pula, Sunario pernah terlibat
pertengkaran kecil dengan PM Amir Sjarifuddin ketika ia menjadi
sekretaris politik Delegasi Indonesia dalam perundingan Renville
di Yogya. "Bahkan terhadap Bung Karno saya juga berani
mengkritik. Saya termasuk orang yang tidak setuju adanya
konfrontasi terhadap Malaysia dulu," katanya.
ITU tak berarti Sunario tidak suka pada Bung Karno. Sebagai
seorang marhaenis, ia bahkan ikut menjadi salah seorang pendiri
Lembaga Marhaenis -- setelah PNI dilebur dalam PDI. Sesungguhnya
Sunario sedih menyaksikan kemerosotan PNI sebagai partai dari
masa ke masa, "karena munculnya ambisi perseorangan."
Ada kesan bahwa orang tua ini suka "melawan arus" karena ikut
mendirikan Lembaga Marhaenis yang antara lain ingin melestarikan
ajaran-ajaran Bung Karno. Apalagi ia juga ikut mendirikan
Lembaga Kesadaran Berkonstitusi. Ia membantah melawan arus.
"Saya hanya mencoba mengkritik. Dan mengkritik tidak berarti
beroposisi," katanya lantang.
Meskipun sudah lanjut usia, Sunario kini masih aktif menghadiri
berbagai pertemuan. Dan dalam setiap diskusi ia selalu
berbicara. Ia juga masih banyak membaca buku, satu kebiasaan
yang agaknya sulit ditinggalkannya. Ia sendiri juga seorang
penulis. Ada beberapa buku, terutama mengenai politik dan hukum,
yang sudah ditulisnya.
"Setiap hari banyak buku yang mesti saya baca. Belum lagi
terhitung majalah dan surat-surat kabar. Saya juga masih
mengikuti berita-berita televisi dan radio. Kalau tidak begitu
bagaimana saya bisa memberi kuliah dengan baik," katanya.
Sunario kini tetap memberi kuliah ilmu hukum di Universitas
Jayabaya, Universitas Pancasila (Jakarta) dan Universitas
Parahiyangan (Bandung). Ia berkata pelan: "Di masa tua ini
tinggal satu keinginan saya, yaitu mendidik anak-anak muda
hingga generasi yang akan datang menjadi lebih baik".
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini