Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sosok

Sunario, si kalajengking tua

Profil dan perjuangan bekas menteri luar negeri (dalam kabinet ali sastroamidjojo), prof. sunario. dalam usia 80 thn tetap segar dan berapi-api. (tk)

11 September 1982 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KE mana pun pergi, ia lebih suka menggunakan kendaraan umum, seperti bis, bemo, bajaj, becak. Ia tidak suka mengendarai mobil pribadi, meskipun usianya sudah amat uzur. Bekas Menteri Luar Negeri dalam Kabinet Ali Sastroamidjojo ini sering terlibat dalam pembicaraan intim dengan sopir bajaj atau abang-abang becak. "Dengan begitu saya lebih dekat dengan kehidupan rakyat kecil," katanya. Kecenderungan yang mendorong Prof. Mr. Sunario, yang juga pernah menjadi Dubes di London itu adalah getaran suara hatinya sendiri -- setelah melihat keadaan sekarang yang dianggapnya jauh berbeda dengan zaman mudanya dulu. "Di masa perjuangan kemerdekaan dulu, kita, termasuk para pemimpin, pada melarat. Mengapa sekarang banyak orang yang suka hidup bermewah-mewah?" ujarnya pula. Orang tua itu -- ayah dari lima anak dan kakek dari 11 cucu -- masih tampak segar-bugar. Air muka yang cerah itu tampak selalu gembira. Rambutnya memang sudah putih semua, sementara giginya palsu seluruhnya. Namun ingatan, pendengaran dan penglihatannya masih tajam. Berbicara lancar, bahkan kadang dengan suara lantang. Ia tidak mengidap penyakit yang biasa menyerang orang-orang lanjut usia. "Itu semua karunia Tuhan belaka," katanya mantap. Dan karunia itu agaknya juga lantaran usahanya untuk selalu memelihara kesehatan. "Saya tidak pernah makan berlebihan," katanya. Meskipun hampir tidak pernah berolah-raga, bahkan tidak pula senam atau jalan kaki di pagi hari secara khusus, Sunario tetap sehat. Selain karena tidak merokok, agaknya juga karena ia selalu menjaga pikirannya. "Orang harus selalu berpikir, melatih otak dengan banyak membaca misalnya. Dan yang lebih penting, jangan hanya memikirkan diri sendiri. Orang harus punya cita-cita untuk kepentingan umum," katanya. Sabtu 28 Agustus lalu ulang-tahunnya yang ke-80 dirayakan di Gedung Kebangkitan Nasional, Jakarta. Tak kurang dari 200 undangan menghadirinya. "Saya sangat terharu. Dan tidak mengira begitu banyak kawan lama, juga bekas lawan politik, yang bersedia hadir. Biasanya ulang tahun saya diselenggarakan tidak semeriah seperti itu," katanya. Sampai akhir pekan lalu, beberapa karangan bunga, besar dan kecil, masih dipajang di ruang tamu dan ruang tengah rumahnya di Jalan Raden Saleh, Jakarta -- menyemarakkan rumah kuno yang sederhana itu. Di ruang rumah itu terpampang pula beberapa potret kenangan, antara lain potret Sunario bersama para peserta Kongres Pemuda (1928) dan salah satu sidang Konperensi Asia-Afrika (1955 di Bandung. Sunario memang salah seorang di antara para pemuda yang mempersiapkan Kongres Pemuda di Jakarta itu. Bahkan sebelumnya, bersama Mr. Sartono, ia membela para pemuda dan mahasiswa yang mula-mula dilarang pemerintah kolonial menyelenggarakan kongres serupa itu. Ia kemudian juga menjadi salah seorang pembicara dalam forum yang kemudian melahirkan Sumpah Pemuda itu. Di kongres inilah ia bertemu dengan Dien Pantouw yang kemudian dinikahinya. Dalam penyelenggaraan Konperensi Asia-Afrika di Bandung, peranan Sunario juga sangat menentukan. Sebelumnya, sebagai Menteri Luar Negeri, ia berbicara mengenai kebangkitan bangsa-bangsa di dunia ketiga. Konsep penyelenggaraan konperensi AA yang diajukan PM Ali Sastroamidjojo untuk dirundingkan dengan kepala-kepala pemerintahan India, Pakistan, Burma dan Ceylon (negara-negara ini bernama Indonesia kemudian dinyatakan sebagai pemrakarsa), konon juga disusun oleh Sunario. Dalam konperensi yang kemudian melahirkan Dasasila Bandung yang terkenal itulah Sunario berhasil membujuk PM Chou En-lai menandatangani dokumen perjanjian penghapusan status dwi kewarganegaraan -- yang sebelumnya hanya berlaku bagi sebagian Cina perantauan di Indonesia. Sebelum itu RRC mengklaim semua Cina perantauan adalah juga warga negaranya. Lahir di Madiun (Jawa Timur) pada 28 Agustus 1902, Sunario kecil mengalami sendiri pembentukan Boedi Oetomo dan Sarekat Islam cabang Madiun. Ia juga sempat mendengarkan pidato para penganjur kedua organisasi perjuangan tersebut yang umumnya mengobarkan perlawanan terhadap penjajah. Sempat mengenyam pendidikan di sekolah-sekolah Belanda (sejak taman kanak-kanak sampai sekolah lanjutan, Sunario tidak hanyut menjadi kebelanda-belandaan. "Sebaliknya saya malah menjadi kritis," ujarnya. Apalagi ketika ia belajar ilmu hukum di Jakarta, dan melihat ketidak-adilan terhadap bangsanya. Pikiran-pikirannya yang progresif semakin tumbuh ketika ia mengikuti kuliah hukum di Universitas Leiden, Negeri Belanda. Sunario bergabung dalam Perhimpoenan Indonesia bersama para mahasiswa Indonesia lainnya seperti Mohammad Hatta, Ali Sastroamidjojo. Seperti halnya mahasiswa Indonesia lainnya ketika itu, Sunario juga berani mengecam pemerintah kolonial terutama melalui tulisan-tulisan. Menggondol gelar meester in de rechten pada 15 Desember 1925, ketika berusia 23 tahun, pulang ke Indonesia Sunario bergabung dengan Mr. Iskaq Tjokrohadisurjo dan Mr. Sartono, membuka kantor advokat di Bandung. Pada waktu yang bersamaan ia juga menjadi salah seorang pimpinan kepanduan Nationale Padvinders Organisatie yang berdasi merah-putih. Sementara pemuda-pemuda lain mendirikan organisasi pemuda kedaerahan seperti Jong Java, Jong Soematra, Jong Celebes dan sebagainya, Sunario bersama Ir. Soekarno dan Mr. Sartono mendirikan Jong Indonesia yang lebih bersifatnasional. Sunario kemudian juga ikut membentuk Partai Nasional Indonesia bersama Ir. Soekarno, Ir. Anwari, Mr. Sartono, Mr. Budiarto, dr. Samsi, Sudjadi dan J. Tilaar. PNI yang dibentuk pada 4 Juli 1927 itu pertama kali dirundingkan di sebuah pavilyun Jalan Dewi Sartika, Bandung, tempat Sunario, Iskaq dan Sartono tinggal. Pavilyun itu sendiri masih utuh sampai sekarang. "Bangunan utamanya sekarang dipergunakan untuk Gereja Protestan," tutur Sunario. "Ketika itu kami berpropaganda di beberapa gedung bioskop di Bandung," tambahnya. Di Jakarta, beberapa waktu setelah Kongres Pemuda, Sunario berbicara di depan sebuah rapat umum membela empat mahasiswa Indonesia, yaitu Mohammad Hatta dkk, yang ditangkap di Negeri Belanda. Di situ berbicara pula H.O.S. Tjokroaminoto dengan suaranya yang mengguntur. Bersama tokoh pergerakan kawakan itu pula, Sunario dalam rapat umum lainnya, mengecam politik agraria pemerintah kolonial. Sempat menyebarkan gagasan nasionalisme di Medan dan Ujungpandang di kalangan kader-kader PNI, di zaman Jepang Sunario juga menjadi salah seorang penceramah pendidikan politik bagi para pemuda dan mahasiswa di Menteng 31 -- bersama antara lain Bung Karno Bung Hatta, Mr. Muhammad Yamin. Karena pernyataan dan tulisan-tulisannya yang pedas terhadap pemerintah kolonial itulah, secara bergurau oleh kawan-kawannya ia dijuluki Sunario Kolojengking. Mula-mula Sunario jengkel, akhirnya menjadi semacam kebanggaan. "Tapi kalajengking hanya menyengat kalau ditindas. Kalau tidak ditindas, biasanya baik," katanya tertawa. Julukan itu juga untuk membedakannya dari dua tokoh lain yang namanya sama (dengan ejaan lain), sama-sama bergelar meester dan kelak sama-sama jadi menteri meskipun dalam periode yang tidak sama. Yaitu Mr. Sunarjo Kolopaking yang kelak menjadi Menteri Keuangan dalam Kabinet Sjahrir I. Kolopaking bukanlah julukan, tetapi nama keluarga. Tokoh lainnya ialah Mr. Sunarjo yang kelak jadi Menteri Dalam Negeri dalam Kabinet Burhanuddin Harahap. Untuk membedakannya dari dua orang lainnya, secara bergurau Sunarjo yang terakhir ini dijuluki Sunarjo Kolomenjing. Julukan ini tidak ada hubungan sama sekali dengan orangnya, sebab kolomenjing berarti jakun. Karena pendiriannya yang teguh itu pula, Sunario pernah terlibat pertengkaran kecil dengan PM Amir Sjarifuddin ketika ia menjadi sekretaris politik Delegasi Indonesia dalam perundingan Renville di Yogya. "Bahkan terhadap Bung Karno saya juga berani mengkritik. Saya termasuk orang yang tidak setuju adanya konfrontasi terhadap Malaysia dulu," katanya. ITU tak berarti Sunario tidak suka pada Bung Karno. Sebagai seorang marhaenis, ia bahkan ikut menjadi salah seorang pendiri Lembaga Marhaenis -- setelah PNI dilebur dalam PDI. Sesungguhnya Sunario sedih menyaksikan kemerosotan PNI sebagai partai dari masa ke masa, "karena munculnya ambisi perseorangan." Ada kesan bahwa orang tua ini suka "melawan arus" karena ikut mendirikan Lembaga Marhaenis yang antara lain ingin melestarikan ajaran-ajaran Bung Karno. Apalagi ia juga ikut mendirikan Lembaga Kesadaran Berkonstitusi. Ia membantah melawan arus. "Saya hanya mencoba mengkritik. Dan mengkritik tidak berarti beroposisi," katanya lantang. Meskipun sudah lanjut usia, Sunario kini masih aktif menghadiri berbagai pertemuan. Dan dalam setiap diskusi ia selalu berbicara. Ia juga masih banyak membaca buku, satu kebiasaan yang agaknya sulit ditinggalkannya. Ia sendiri juga seorang penulis. Ada beberapa buku, terutama mengenai politik dan hukum, yang sudah ditulisnya. "Setiap hari banyak buku yang mesti saya baca. Belum lagi terhitung majalah dan surat-surat kabar. Saya juga masih mengikuti berita-berita televisi dan radio. Kalau tidak begitu bagaimana saya bisa memberi kuliah dengan baik," katanya. Sunario kini tetap memberi kuliah ilmu hukum di Universitas Jayabaya, Universitas Pancasila (Jakarta) dan Universitas Parahiyangan (Bandung). Ia berkata pelan: "Di masa tua ini tinggal satu keinginan saya, yaitu mendidik anak-anak muda hingga generasi yang akan datang menjadi lebih baik".

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus