SUPRABAWATI
Sutradara: S. Kardjono
Produksi: Krida Beksa Wirama (Jakarta) & Workshop Tari Yogya
IKJ
KERAJAAN Dwarawati geger. Rencana pernikahan Siti Sendari, anak
Prabu Kresna, dengan Angkawijaya, anak Arjuna, terganggu.
Pengganggunya tak lain Suprabawati -- raja putri Kerajaan
Simbarna yang cantik dan sakti.
Itulah awal cerita wayang orang ciptaan Sri Sultan Hamengku
Buwono VIII. Pekan lalu, 10 & 11 Juli, lakon itu dipentaskan
oleh gabungan Krida Beksa Wirama (BKW) Jakarta dan workshop Tari
Yogya dari Institut Keseniar Jakaru (IKJ).
Suprabawati memang bukan lakon yang berat. Sekedar kisah jatuh
cinunva itu ratu kepada Angkawijaya. Juga jatuh cintanya Raja
Dasalengkara, adik Supraba, kepada calon istri Angkawijaya.
Lewat penanganan S.Kardjono, 40 tahun, sutradaranya, lakon ini
menjadi lebih mengalir tanpa dramatik, karena model
pementasannya. Kardjono, ialah seorang penari gaya Yogya yang
baik itu, rupanya ingin melihat satu percampuran gaya wayang
orang tradisi Yogya, wayang kulit, wayang topeng dan ketoprak.
Yang tradisi Yogya, yang telah punya model dialog yang khas,
juga bloking yang tertentu, tak lagi dipakai seluruhnya.
Beberapa tokoh, antara lain Gatutkaca dan Bima, berdialog dengan
cara dialog wayang kulit atau wayang orang gaya Surakarta. Juga
ada beberapa tokoh yang menembang -- hal yang tak ada pada
wayang orang Yogya.
Kemudian adegan perang tanding, memang lebih terasa bagaikan
adegan perang ketoprak: lebih menekankan serunya perkelahian
sebagai ganti indahnya gerak.
Toh, perpaduan beragam gaya itu tak menghasilkan satu pementasan
dengan gaya utuh, yang bisa terasa baru. Dengan jelas bisa
dibedakan mana adegan yang masih menggunakan dialog wayang gaya
Yogya, mana yang bergaya wayang kulit. Terkesan kemudian bagai
menonton fragmen beberapa gaya wayang. Bahkan cara itu
menghilangkan suspens.
Memang ada sebab yang lain. Kardjono, sebagaimana ketika
mementaskan Ranggalawe dua tahun lalu memang tak mendekati
wayang orang dengan referensi teater modern. Ia tak mencoba
mencari esensi wayang orang gaya. Yogya. Dan menggabung esensi
berbagai gaya. Yang dilakukannya sekedar mencopot satu unsur
dari Yogya dari wayang kulit, dari ketoprak, lantas
menggabungkannya. Dan cerita pun tersampaikan.
Jadinya bukan sesuatu yang perlu direnungkan, bahwa Suprabawati
(Trusti Muljono) dan Gatutkaca (Kardjono) sampai bertanding. Dan
bahwa Gatutkaca, benteng Pandawa itu, akhirnya mundur dari laga
bukan karena kalah tapi karena sayang pada putri jelita.
Pementasan yang melibatkan sekitar 45 penari ini, sebagian besar
didukung perempuan. Lakon Suprabawati memang membutuhkan banyak
perempuan -- dan kebetulan anggota KBW dan workshop IKJ pun
sebagian besar mereka. Itulah pula mengapa dipilih lakon
tersebut.
Dan kelemahan utama pementasan justru di situ. Sebagian besar
mereka belum benar-benar menguasai seni gerak. Belum ada greget.
Kecuali Gatutkaca yang diperankan Kardjono sendiri, tentu. Atau
Bima, yang dibawakan penari kawakan dari Yogya, Wishnu Wardhana.
Walhasil, adegan-adegan yang sesungguhnya untuk memamerkan
kebolehan tari terasa menjalar dengan lambat amat membosankan.
Bagian-bagian itu, sepertinya diambil-alih dari wayang topeng,
menjadi buyar.
Inilah tontonan yang jadinya memerlukan kesabaran. Apalagi
Kardjono tak memasukkan punakawan -- yang dalam wayang kulit
berfungsi sebagai penyegar.
Bambang Bujono
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini