Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Tafsir ’Liar’ Drawing

Galeri Biasa, yang berlokasi di Seminyak, Bali, sampai akhir Oktober ini memamerkan drawing yang lain daripada lain. Ada karya Heri Dono, Eddi Hara, dan banyak lagi.

30 Oktober 2006 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Datanglah ke Galeri Biasa, di bilangan Seminyak, Bali. Di halaman belakangnya yang asri, terdapat sebuah instalasi bambu yang menarik. Batang bambu disusun belit-berbelit ”ruwet”. Sepintas imajinya seperti sebuah sarang burung raksasa. Atau seekor serangga. Bila malam tiba, dengan penerangan lampu dari bawah, ”sosok” itu semakin terkesan misterius. Mengundang untuk diperhatikan tidak hanya sekali.

Instalasi itu adalah karya Joko Avianto berjudul Feeding The Bird. Instalasi itu semakin mengundang tanya karena dipamerkan dalam sebuah perhelatan bertajuk drawing. Pameran ini memang diikhtiarkan untuk menampung perupa yang ingin bermain-main dengan drawing. Selama ini pengertian drawing adalah gambar di atas kertas menggunakan potlot atau bolpoin. Pameran ini memberikan kesempatan membebaskan dari batasan itu.

”Seperti menikmati gambar yang divisualisasi,” komentar kritikus Hendro Wiyanto melihat instalasi Avianto. Memang, bila kita ingat gambar-gambar almarhum Roedjito yang sering mirip gumpalan-gumpalan rambut, instalasi itu seperti memanifestasikannya. Pameran ini sendiri diikuti sekitar 30 perupa. Ide awalnya bertolak dari pameran drawing di rumah Ugo Untoro di Yogya, yang menampilkan coret-moret yang biasanya disimpan para perupa dan sering dianggap bukan karya utama mereka.

Maka dari itulah kita bisa menikmati coretan apa saja di sembarang kertas dari Heri Dono, Eddi Hara yang suka kartun, sampai Made Budhiana. Atau Bob Sick yang secara spontan menggambari kertas dengan spidol lalu menempelkannya di dinding. Sekilas bak gambar anak-anak TK. Tapi, bila dicermati, menyodorkan persoalan kecemasan pada alam pikiran orang dewasa.

Kita juga biasa menikmati kebiasaan mencorat-coret para perupa kita di buku-buku gambar. Bolak-baliklah ”kitab” Tomy Tanggara. Akan kita temui gambar-gambar deformasi manusia yang unik. Atau komik Ucup, anggota Taring Padi, yang berisi dialog-dialog penyadaran petani. Atau Samuel Indratma, yang menampilkan buku-buku yang bila dibuka bisa menampilkan bentuk-bentuk muka tertentu.

Ada yang mewujudkan gambar dalam bentuk bordiran seperti Eko Nugroho yang membuat emblem. Atau Alim Bachtiar yang menggambar aneka peri dengan bolpoin sebesar kartu truf sebanyak 93 buah. Lalu itu diberi pelipit dasaran batik dan dibingkai dengan frame kayu lusuh. Jadilah seperti cendera mata dari zaman lawas.

Yang agak lain adalah karya Theresia Agustina. Ia menampilkan rak kaca (flexiglass). Di tiap lapisan kaca itu ada ilustrasinya. Sorot lampu dari bawah membuat efek bayangan tertentu pada ilustrasi itu. Di sini ia berusaha memperluas pengertian drawing. Tapi dalam hal ide harus diakui S. Teddy yang selalu mampu menyajikan kesegaran. Ia menampilkan ruang ganti baju yang bisa dimasuki pengunjung. Di sekujur bidang ruang itu ditorehkannya aneka gerak torso-torso telanjang. Made Wianta, perupa senior, juga tergolong masih saja gagasannya bergerak. Karyanya Siluet Silet yang menancapkan komposisi silet-silet pada helai-helai kain blacu itu lumayan.

Tapi secara keseluruhan bila pameran ini berupaya membebaskan drawing sebebas-bebasnya, mungkin belum sepenuhnya memberikan kejutan. Yang berhasil, pameran ini mampu menyajikan panorama bahwa drawing ternyata sesungguhnya merupakan ekspresi ”dunia dalam” para perupa kita yang sering memunculkan imaji aneh tak terduga.

Ada kesan bahwa denyut seni rupa kontemporer kita dewasa ini lebih sering diteriakkan dari galeri di Yogya, Jakarta, atau Bandung dibanding di Bali. Dengan pameran ini, Galeri Biasa memposisikan diri menjadi tempat alternatif lain.

Seno Joko Suyono

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus