SETELAH berpulang ke alam baka, apabita Tuhan Yang Mahakuasa
memberikan kesempatan, apakah anda masih ingin dilahirkan
sebagai manusia? Bagi saya sendiri, hidup yang sekali ini sudah
cukup rasanya. Tidak usah ditambah lagi. Tetapi kalau diturunkan
lagi ke dunia dan lalu saya disuruh memilih apakah mau jadi
laki-laki atau perempuan, maka tidak mudah bagi saya mengambil
keputusan.
Namun satu hal sudah jelas: saya tidak ingin dilahirkan sebagai
wadam. Mereka diperlakukan secara tidak adil di kolong langit
ini. Manusia tapal batas. Serba salah, serba timpang, serba
dianggap aneh. Seolah tidak ada norma yang sepadan untuk mereka.
Dan manusia seperti Ali Sadikin sedikit sekali di dunia ini,
yang mau mencoba memberi tempat kepada para wadam.
Kiranya kalau mau berkarier dalam hidup lebih baik memilih jadi
laki-laki saja. Bukankah para pemimpin dan elite hampir semuanya
laki-laki? Kedudukan sebagai anggota MPR, DPR, pamong pada
setiap tingkat administrasi, jenderal, dosen di universitas,
anggota senat dan anggota penyantun, boleh dibilang diborong
oleh laki-laki. Laki-laki yang mengambil pelbagai keputusan
penting bagi masyarakat, baik keputusan yang jitu maupun yang
meleset.
Namun, pada hakekatnya, apakah laki-laki lebih utuh daripada
perempuan? Apakah pula kekuasaan identik dengan keutuhan? Apakah
malah tidak sebaliknya, laki-laki justru merupakan makhluk yang
rapuh? Kerapuhan mereka menuntut kompensasi, bernama kejantanan
dan kepemimpinan.
Telah saya lihat di desa saya dan desa lain, perempuan lebih
awet. Umur laki-laki lebih pendek. Kalau usia sudah melewati 60
tahun, lebih banyak perempuan yang tersisa. Malaikatulmaut,
setahu apa, lebih gemar merenggut nyawa laki-laki, yang katanya
lebih jantan itu. Ilmu demografi menguatkan pengamatan ini. Di
Indonesia harapan hidup untuk laki-laki sekitar 45 tahun dan
perempuan 50 tahun. Di Perancis 68 tahun bagi laki-laki dan 75
tahun bagi perempuan.
Konon kabarnya, kerapuhan laki-laki juga berlaku pada taraf awal
kehidupan, pada taraf benih. Sperma dengan kromosom Y, calon
laki-laki, lebih banyak tingkahnya tapi lebih pendek umurnya,
dibanding dengan kromosom X, calon perempuan.
Perempuan, menurut para ahli, lebih tahan menghadapi pelbagai
goncangan di dalam kehidupan. Jika dipakai "teori ambang
pintu",pada taraf kegoncangan dan tekanan tertentu jiwa
laki-laki sudah mulai gawat sedangkan jiwa perempuan masih
terkendalikan. Kalau dipakai istilah yang populer sekarang,
ketahanan mental perempuan lebih tinggi.
Keutuhan perempuan mengandung beberapa implikasi. Satu di
antaranya, kesempatan yang lebih besar bagi mereka menikmati
hari tua. Begitu banyak ibu dan nenek yang sempat mengecap
kenikmatan hidup melihat anak dan cucu sudah "jadi" dan mapan.
Pengalaman tersebut tidak sempat dikenyam suami mereka yang
duluan pulang ke rahmatullah.
Maka tidak mengherankan kalau sarjana seperti Robert Briffault
menulis buku The Mothers sampai tiga jilid (1927).Melalui
bukti-bukti historis Briffault berargumentasi bahwa hasil kerja
dan penemuan-penemuan perempuan pada awal peradaban menbuat
kehidupan laki-laki menjadi terjamin, dalam suatu tata
masyarakat di mana perempuan memegang kekuasaan. Kemudian dengan
segala akalnya laki-laki mengambil alih kekuasaan itu. Ada
proses komersialisasi di situ, lalu perempuan tunduk pada
laki-laki sampai sekarang. Tiga puluh lima tahun kemudian muncul
buku Ainslie Montagu berjudul The natural superiority of women
(1962). Di dalamnya dipaparkan perihal keunggulan wanita secara
alamiah, dibandingkan dengan laki-laki.
Simone de Beauvoir berpendapat lain dengan Briffault. Katanya,
masyarakat senantiasa dalam cengkeraman lakilaki. Tidak pernah
digenggam perempuan. Apa boleh buat, perempuan terpaksa tunduk
pada takdir biologisnya. Mereka terikat pada menstruasi, pada
kehamilan dan pada kewajiban merawat anak. Status perempuan,
menurut dia, senantiasa tercantol pada laki-laki. Perempuan.
makhluk nomor dua ini, terjaring dalam posisi yang rendah,
kehilangan identitas.
Lalu tokoh-tokoh Simone de Beauvoir, Germaine Greer, Xavier
Hollander dan lain-lain menghimbaukan seruan emansipasi wanita
sejagad. Bebas dari obyek kegiatan seks, dari berbagai
peraturan, adat, tradisi yang membelenggu. Duduk sama rendah,
tegak sama tinggi. Tubuh perempuan adalah milik perempuan.
Kandungan perempuan beserta isinya adalah milik perempuan.
Titik.
Setelah menimbang dan mengkaji, kalau saya kembali saya memilih
yang unggul: lahir sebagai anak perempuan. Terus terang saja,
jauh di dalam lubuk hati saya, terkadang menyelinap rasa iri
terhadap isteri. Iri karena, dari segi rasa dan hati, dia lebih
dekat dengan anak-anak kami. Sebagian karena saya kaku terhadap
anak-anak. Dan juga, saya terlalu terpukau oleh revolusi
industri dan sering terlupa hakekat kehidupan yang singkat ini.
Sering pada waktu sarapan pagi, ketika pikiran dan udara begitu
segar, saya berkata dalam hati: inilah anak-anak kami,
manusia-manusia baru, dibesarkan dalam rahim ibunya, sebelum
melihat dunia. Mereka lelah mendapat seribu satu macam layanan
dan kehangatan dari ibunya. Mereka begitu dekat. Ibunya pun
telah mendapat seribu satu imbalan berupa getaran-getaran jiwa,
yang tidak saya dapat. Pengalaman mengandung calon bayi dalam
rahim melahirkan manusia-manusia ke dunia, merawat mereka dan
lain-lain.
Kalau saya dilahirkan sebagai perempuan, bagaimanakah tanggapan
saya tentang Panca Dharma Wanita dari PKK yang berisi: 1. Wanita
sebagai penerus keturunan bangsa 2. wanita sebagai isteri, 3.
wanita sebagai ibu dan pendidik anak 4. wanita sebagai pengurus
rumah tangga 5 . wanita sebagai warga negara?
Kiranya terlalu awal untuk diperbincangkan sekarang.
Tenang-tenang saja dulu. Tetapi mudah dibayangkan bagaimana
tanggapan Simone de Beauvoir, teman intim Sartre itu, terhadap
Panca Dharma Wanita. Setelah membuka-buka kamus, dia akan
berucap: "Huh, ini dia, filsafat swarga nunut neraka katut,
tercantol dalam suka, terseret dalam duka."
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini