Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Buku

Tak mau membuka luka lama

Wawancara tempo dengan jenderal yoga sugomo,65,bekas kepala bakin tentang isi dan tanggapan buku memori jenderal yoga. setelah pensiun ia memimpin yayasan dharma bhakti.

21 Juli 1990 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

JENDERAL Yoga Sugomo, 65 tahun, kelihatan tetap dandy. Bekas Kepala Bakin yang pensiun tahun lalu itu, Sabtu pagi kemarin, ditemui oleh Leila S. Chudori dari TEMPO di kantor Bakin yang lama, di Jalan Senopati, Jakarta Selatan. Dengan safari lengan pendek warna krem dan sepatu boots, bapak 10 anak dan 14 cucu ini tampak lebih muda. Ada arloji keemasan di tangannya, cincin bermata besar di jarinya. Ada vulpen berhiaskan pernik-pernik berkejap-kejap di saku kiri, sementara dua bolpoin lainnya -- juga berwarna emas -- terselip di kantung kecil lengan kiri. Setelah pensiun, ia memimpin Yayasan Dharma Bhakti, yang mengurusi berbagai bisnis. Berikut cuplikan wawancaranya: Kenapa buku Memori Jenderal Yoga tidak ditulis dengan gaya "saya" sebagai orang pertama? Saya risi dengan gaya itu. Kok, seperti menonjolkan diri. Bagaimana jika fakta dalam memoar ini bertentangan dengan memoar tokoh lain? Memori itu kan subjektif, tapi bisa memperkaya sejarah. Setiap orang punya pengalaman dan semua itu bisa menjadi dokumentasi dalam perpustakaan yang baik. Kalau ada pertentangan versi antara beberapa orang, ya sah-sah saja. Ada yang menyatakan pernyataan saya bahwa Idham Chalid pernah dijadikan calon wapres, itu salah. "Kok, menurut Sudomo, Pak Idham bukan satu-satunya calon," katanya. Lho, kan Sudomo tidak tahu apa yang dikatakan Pak Harto kepada saya? Sesudah sidang kabinet, Pak Harto memanggil saya. "Ga, kamu saya jadikan Kas Kopkamtib," kata Pak Harto. "Lho, Bakin-nya gimana, Pak?" tanya saya. "Bakinnya dirangkap," jawab Pak Harto. "Lho, Daryatmo?" tanya saya lagi. "Daryatmo saya jadikan Ketua DPR/MPR menggantikan Adam Malik," kata Pak Harto lagi. "Dan Pak Adam Malik?" tanya saya lagi. "Adam Malik saya jadikan Wakil Presiden menggantikan Idham Chalid yang tidak mau." Nah, ini kan pembicaraan Pak Harto dengan saya. Lha, Pak Domo kan nggak tahu. Dalam bab tentang "Malari", Anda menyimpulkan salah satu kelompok yang mengambil manfaat gerakan mahasiswa itu adalah simpatisan PSI. Bagaimana bisa berkesimpulan begitu? Dan Mochtar Lubis kan bukan PSI? Memang sulit menentukan seseorang itu anggota suatu parpol. Tapi kita tahu siapa simpatisan partai tertentu. Dulu kan kita ngertinya pimpinan PSI saja. Nah, tentunya kita bisa mengklasifikasikan orang yang pemikirannya sama. Nah, riset intelijen yang membuat kami yakin PSI ada di belakang Malari. Tentu saja operasi intelijen tak bisa diungkapkan. Mengenai isu rivalitas antara Ali Moertopo dan Soemitro? Ali Moertopo, sebagai salah seorang wakil saya, bertanggung jawab dalam penggalangan, menggalang lahirnya potensi Golkar dalam situasi yang sedang kacau. Ia bisa menggunakan segala cara untuk melengkapi dan mencapai misinya. Sementara itu, Soemitro harus mengambil tindakan-tindakan untuk meminimalkan situasi kacau itu. Nah, tentu terjadi konflik. Ajang tugas mereka sangat keruh, sementara mereka terikat pada misi masing-masing, kadang-kadang terjadi konflik dalam pelaksanaan di bawah. Siapa itu Rahmadi yang Anda katakan juga terlibat dalam Malari? Saat ini saya tidak mau mengungkapkan latar belakang Rahmadi. Dalam setiap pengungkapan saya selalu mempertimbangkan, apakah lebih baik membuka luka lama atau tidak. Karena akibatnya bisa menyakitkan bagi orang lain. Dalam kesaksiannya di pengadilan, Aini Chalid -- salah seorang demonstran mahasiswa yang ditangkap -- mengatakan bahwa Rahmadi adalah "orangnya Ali Moertopo". Dalam operasi intelijen, tak jarang kita menggunakan bekas musuh. Waktu pecahnya G30S-PKI, saya masih di Kostrad, untuk menghadapi PKI saya mengerahkan massa dengan menggunakan orang-orang bekas DI. Nah, ada orang yang kita gunakan sebagai alat, dan ia tidak menyadarinya. Dia menganggap dirinya anak buah kita. Padahal, definisi anak buah itu kan harus organis, masuk ke dalam organisasi. Tapi yang namanya "alat" itu kan lain. Nah, kalau ada orang yang ditugasi Ali Moertopo untuk ini-itu, lalu mengaku sebagai anak buah, itu bukan salah Ali Moertopo. Orang ini kan ndak sadar bahwa ia adalah "alat". Pendapat Anda tentang Ali Moertopo? Kami berjuang bersama sejak dulu. Dia punya kemauan dan keberanian yang amat keras. Dalam banyak hal dia bisa menginjak kaki orang dan dia tak peduli. Ketika jadi deputi saya, dia kan banyak omong hingga orang sering tanya pada saya, "Yang jadi Ka Bakin itu Pak Yoga atau dia?" Tapi saya tidak terpancing, sebab saya tahu sampai mana dia akan melangkah. Saya sudah tahu Ali sejak dia kapten. Dalam memoar Anda, ada cerita mengenai hilangnya sebuah dokumen negara di pesawat terbang ketika Anda transit di Singapura. Akibatnya Anda mendapat teguran administratif, lalu dipindahkan dari jabatan Kepala G-1 Hankam. Anda sudah tahu siapa yang melapor dan memfitnah bahwa Anda menghilangkannya di kamar botel? Saya sudah divonis duluan. Ya, saya kecewa karena Presiden bahkan tak bersedia mendengarkan penjelasan saya. Sudah ada informasi kepada beliau bahwa hilangnya dokumen itu karena saya tidur di hotel dengan seorang wanita di Singapura. Saya bisa memberikan bukti dengan tiket bahwa saya tidak stop di Singapura. Bahwa dokumen itu memang hilang ketika saya transit, itu salah saya. Saya katakan pada Soemitro dan Panggabean bahwa saya bersedia diturunkan pangkat, dipecat, ditunda kenaikan pangkat. Saya tidak tahu 100% siapa yang memfitnah saya dan saya tak mau mencari-cari karena toh saya sudah telanjur dihukum. Tapi saya punya feeling siapa orangnya. Sampai akhir buku, Anda tidak menyebutkan kenapa Anda pensiun. Sebagai tentara, saya harus pensiun pada usia 55 tahun. Dan kemudian diperpanjang sampai usia 56 tahun. Sesudah itu saya kembali ke Bakin. Bakin bukanlah sebuah institusi militer. Saya ditempatkan di Bakin sampai usia limit. Artinya, setiap tahun kontrak kerja saya diperpanjang. Satu hal yang saya tekankan, jika seseorang ingin pensiun, sebaiknya dilakukan ketika masih dalam posisi dan keadaan yang baik. Janganlah pensiun ketika kita sedang jelek-jeleknya. Lebih baik lagi kalau kita pensiun ketika sedang di puncak....

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus