ADA dua hal yang menarik dan kontroversial, dalam memoar Jenderal Yoga Sugomo: tudingan bahwa Bung Karno terlibat dalam G30S-PKI, bahkan dialah yang memerintahkan "menindak jenderal-jenderal yang tidak loyal". Selain itu, adanya "kelompok Rahmadi" di balik Peristiwa 15 Januari 1974 alias "Malari". Keterlibatan Bung Karno itu memang pernah dibeberkan dalam buku Siapa Menabur Angin Akan Menuai Badai. Tapi karena hal itu kali ini ditulis dalam memoar bekas Kepala Bakin, orang bisa lebih terperangah. Terutama setelah bulan lalu, dalam peringatan 20 tahun wafat Bung Karno di Blitar, terdengar imbauan agar pemerintah merehabilitasi nama presiden pertama RI tersebut. Dalam hal "Malari", selama ini orang hanya disodori cerita bahwa peristiwa itu digerakkan oleh mahasiswa. Ternyata, menurut Yoga, di belakangnya ada kelompok simpatisan bekas PSI, dan "kelompok Rahmadi", yang menjalin kontak dengan bekas DI/TII dan Masyumi. Analisa semacam ini sebenarnya bukan baru, tapi pembeberan adanya "kelompok Rahmadi" cukup menarik. Berikut kutipan tentang kedua hal tersebut: BUNG KARNO DAN G30S-PKI: Sulit untuk mengetahui kepastian apakah Untung melaporkan rencana-rencana persiapan gerakannya kepada Presiden. Tapi Kolonel (KKO) Bambang S. Widjanarko, seorang ajudan yang sangat dipercaya, memberikan kesaksian-kesaksian yang mengindikasikan hubungan itu. Bambang Widjanarko memberikan kesaksian di depan petugas pemeriksa mengenai berbagai peristiwa penting, baik yang berkaitan dengan masalah-masalah politik maupun yang menyangkut dana-dana komisi yang ia ambil dari luar negeri. Bambang mengemukakan kepada pemeriksa bahwa pada tanggal 4 Agustus 1965 Letnan Kolonel Untung datang bersama Brigjen. Sabur ke istana dan langsung masuk ke kamar Bung Karno. Letnan Kolonel Untung ditanya Bung Karno, apakah ia sanggup mengambil tindakan terhadap jenderal-jenderal yang tidak loyal. Untung menjawab sanggup. Bung Karno, menurut Bambang, juga memerintahkan langkah pengambilan tindakan terhadap para jenderal yang tidak loyal itu kepada Brigjen. Sabur, sebagai Danmen Cakrabirawa. Namun ternyata, menurut penilaiannya, Sabur sangat rapuh untuk mau mengambil risiko menyelamatkan Presiden pada saat-saat kritis. Sabur mengalihkan tugas tadi kepada Untung, bawahannya, yang diketahui telah menerima tugas yang sama pula dari PKI (halaman 172). Bambang mengaku tidak mengetahui laporan Untung kepada Presiden pada tanggal 26 dan 27 September mengenai kesiapannya melaksanakan tindakan terhadap jenderal-jenderal yang tidak loyal. Tapi ia tahu pasti bahwa pada tanggal 30 September 1965 jam 22.00 di Istora Senayan, Bung Karno dalam acara Musyawarah Nasional Teknik menerima surat dari Letnan Kolonel Untung. Bambang menerima surat itu dari Sogol atau Nitri, anggota DKP (Detasemen Kawal Pribadi), yang selanjutnya ia serahkan secara langsung kepada Bung Karno (halaman 173). Di Halim, Bung Karno menerima laporan dari Brigjen. Supardjo mengenai telah diselesaikannya tugas mengambil tindakan terhadap sejumlah jenderal yang tidak loyal. Tapi suatu hal yang menarik dan diungkapkan dalam kesaksian Bambang S. Widjanarko adalah bahwa dalam pidato sambutannya pada Munas Teknik di Istora Senayan malam sebelumnya, Bung Karno membacakan pupuh Bhagawat Gita. Bait-bait itu dikenal sebagai nasihat Prabu Kresna kepada Arjuna, yang tampak ragu menghadapi perang Bharata Yudha. Apakah malam itu Untung memberitahukan persiapan akhir gerakannya untuk menculik jenderal-jenderal Angkatan Darat, sehingga dengan pengutipan bait Bhagawat Gita seolah Bung Karno menyatakan agar Untung ataupun PKI tidak ragu-ragu dalam melaksanakan tugasnya, hal tersebut tidak ada yang tahu pasti. Sebab, surat Untung sendiri dirobek-robek oleh Bung Karno di Halim pada keesokan harinya (halaman 175). "MALARI" DAN RAHMADI: Salah satu kelompok yang mengambil manfaat dari gerakan mahasiswa adalah kelompok bekas simpatisan-simpatisan PSI (Partai Sosialis Indonesia), yang saat itu sudah terpecah menjadi beberapa keluarga besar, yang satu sama lain tidak ada persesuaian dalam prinsip perjuangan. Mereka menyadari, sebagai organisasi politik peran mereka sudah habis, karena kehilangan massa dan dicurigai pernah terlibat dalam gerakan pemberontakan PRRI (halaman 245-246). Beberapa oknum eks PSI telah memanfaatkan isu keresahan sosial untuk menghasut massa agar bergerak menuntut perbaikan. Kelompok muda "Kiri Baru" pada dasarnya bermaksud menerapkan sistem demokrasi Barat, tanpa mengindahkan situasi dan kondisi Indonesia. Mereka berpendapat, UUD 45 tidak menjamin pelaksanaan demokrasi. Mereka menentang pelaksanaan Dwifungsi ABRI (halaman 246-247). Garis mereka semakin kentara ketika sejumlah tokohnya mulai mendekati mahasiswa. Hariman Siregar pernah mengikuti pertemuan itu di Yogyakarta (11-13 Desember 1973). Di sana dibahas adanya perpecahan antara Aspri Presiden dan Panglima Kopkamtib, serta adanya sejumlah jenderal yang independen. Hariman juga menghadiri pertemuan di rumah Mochtar Lubis (30 Desember) yang membahas bentuk-bentuk gerakan untuk menjatuhkan Presiden Soeharto. Beberapa tokoh mudanya mencoba mempengaruhi mahasiswa lewat isu perombakan kabinet, rehabilitasi PSI, serta sinyalemen adanya jenderal korup (halaman 247). Selain kelompok itu, ada lagi pihak lain yang juga menarik manfaat dari perkembangan aksi-aksi mahasiswa. Kelompok Rahmadi adalah salah satunya. Rahmadi sendiri seorang pensiunan jaksa tentara. Ia aktif mengadakan pertemuan dengan kalangan militer, sipil, dan tokoh-tokoh bekas partai terlarang Masyumi (halaman 247). Selain mengadakan kontak dengan para ulama dan massa buruh serta mahasiswa, kelompok Rahmadi mencoba pula menghimpun kekuatan bersenjata. Mereka berusaha menghimpun kekuatan eks TNI dan DI/TII. Beberapa eksponen yang mereka hubungi antara lain Gozin, Aceng Kurnia, Adah Zaelani, dan Mahmud, yang merupakan kelompok bekas DI/TII di Cianjur dan Sukabumi (halaman 248).
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini